- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Adakah yang Mampu Mempersatukan Sumut ?
TS
isbiyanto
Adakah yang Mampu Mempersatukan Sumut ?
Sumatra Utara, Logisnews.com – Hitungan mundur terus bergulir bagai detak jam, begitupulalah detak para jantung kandidiat Calon Gubsu. Para calon yang mencoba peruntungan untuk maju memimpin Sumut pasti mulai menghitung peluang.
Sumut yang multi etnis adalah sebuah tantangan untuk dipersatukan, untuk memimpin di dalam propinsi ini bagai mendaki karang terjal, di lerengnya penuh rengkahan dan tonjolan tajam yang sulit didaki dan ditaklukkan. Daerah yang dari dahulu sudah terbagi dua ini (Sumatera Timur yang maju, dan Tapanuli yang masih ketinggalan) perlu penanganan khusus.
Perbedaan mencolok antara Sumatera Timur dengan Tapanuli ini bagai disekat tembok tebal, sulit di bereskan. Kultur masyarakat Batak yang tegas dan sulit bekerjasama menjadi faktor dominan terus tertinggalnya daerah Tapanuli ini. Belum lupa kita bagaimana bentuk pemaksaan kehendak yang dipertunjukkan sebagian gelintir orang yang ingin memisahkan Tapanuli dari Sumut, yang menyebabkan meninggalnya Abdul Azis Angkat, ketua DPRD Sumut, 3 Februari lalu.
Sumut yang terdiri dari unsur sebelas etnis, dibagi dengan dua etnis terbesar Melayu dan Batak. Batak sendiri terdiri pula dari banyak sub-etnis, yaitu: Toba, Samosir, Silindung, Humbang, Angkola, Pesisir, Mandailing, Pakantan, Dairi, Pakpak, Simalungun dan Karo. Masing-masing sub etnis ini mengkristal pula dan bahkan bukan hal aneh sebagian diantaranya merasa bukan etnis Batak.
Ternyata sesudah lebih 60 tahun Indonesia merdeka dan 10 tahun reformasi, sub-sub etnis Batak itu bukannya makin memudar dan melemah melainkan justru semakin mengeras dan mengkristal. Bukannya kian saling memahami dan kerjasama, tetapi malah kian saling mencurigai dan menegasi.
Orang-orang Batak Toba semakin tidak suka kepada orang Mandailing (juga Angkola?), begitu juga sebaliknya. Apalagi agama yang dianut kedua puak ini berbeda. Mandailing di Selatan menganut Islam sementara Toba di Utara beragama Kristen. Komplit sudah alasan untuk bermusuhan atau berpisah setengah baik-baik.
Namun persoalan bukan hanya itu. Di bawah permukaan juga sudah lama ada ketegangan antara orang Batak Toba dengan Batak Simalungun dan Karo yang sungguh-sungguh mirip api dalam sekam. Beberapa tahun terakhir ini sub etnis Simalungun tampak sangat gencar ingin menunjukkan identitas dirinya yang khas dan berbeda dari Batak Toba. Orang-orang Karo sudah lebih dulu melakukannya dan sebagian malah sudah enggan menyebut dirinya sebagai Batak Karo namun cukup Karo saja.
Hasilnya apa? Alih-alih membentuk satu propinsi baru maka yang muncul justru ide membentuk tiga atau malah empat-lima propinsi baru: Tapanuli Barat, Tapanuli (Utara) dan Sumatera Tenggara (Mandailing Natal), dan Sumatera Timur (?) serta Nias (?).
Pada masa penjajahan Belanda, distrik Mandailing yang mayoritas beragama Islam sebenarnya tak mau bersekutu dalam Keresidenan Batak, yang meskipun berasal dari satu etnis hanya berbeda agama saja. Karena alasan agama pula, mereka konon enggan termasuk dalam sub-etnis Batak jauh mengingkari pembawaan lahirnya. Mandailing malah lebih suka bergabung dalam Keresidenan Padang. Untuk menghindari percekcokan itu, dipilihlah nama Tapanuli berasal dari kata Tapian Na Uli, nama teluk di pantai Sibolga sebagai titik temu.
Protap belum terbentuk, semangat perlawanan menguat dengan munculnya wacana tandingan berupa pembentukan Provinsi baru selain Protap, yakni Provinsi Tapanuli Barat (Protabar). Deklarasi yang dibacakan pada 29 Oktober 2008 di Pinang Sori, Tapteng itu sekaligus menolak pembentukan Protap.
Daerah yang masuk Protabar itu terdiri atas Kabupaten Nias, Nisel, Tapteng, Kota Sibolga, Kota Padangsidimpuan, Kabupaten Madina, Padanglawas Utara (Paluta), Padanglawas (Palas), Tapsel, dan Pakpak Bharat. Kemudian hari, bahkan Nias juga menyatakan tak mendukung lagi Wilayah Protap dengan luas sekitar 2 juta hektar dan jumlah penduduk 2,4 juta jiwa itu belum akan berhenti dari tarik-menarik politik.
Pada 22 Desember 2008 malah muncul perlawanan lagi. Sejumlah tokoh dan pejabat eksekutif di wilayah Tapanuli bagian selatan (Tabagsel) mendeklarasikan pembentukan Provinsi Sumatera Tenggara (Sumtra) di Sipirok. Deklarasi itu digagas lima kepala daerah Tabagsel, yakni, Tapsel, Mandailing Natal (Madna), Kota Padangsidimpuan, Padanglawas, dan Padanglawas Utara (Paluta).
Sengaja saya angkat peristiwa itu mengingatkan kembali para kandidat bagaimana rumitnya persoalan di Sumut, ditambahi persoalan yang terpendam tadi menjadikan para calon harus berada di jalur netral, karena para calon jauh-jauh hari akan dibenturkan pada pertanyaan dia dari mana dan etnis apa.
Di Sumut berbuat saja bisa dianggap pura-pura, apalagi hanya sekedar bicara pasti tidak bakal mendapat sokongan, jadi perlu direnungkan dari kini yang ingin jadi calon Gubsu, janganlah memperparah keretakan yang ada agar propinsi ini bisa melesat maju karena potensi alam dan SDM nya melimpah. Selamat jadi Calon Gubsu.[]Syafriwal Marbun
Sumut yang multi etnis adalah sebuah tantangan untuk dipersatukan, untuk memimpin di dalam propinsi ini bagai mendaki karang terjal, di lerengnya penuh rengkahan dan tonjolan tajam yang sulit didaki dan ditaklukkan. Daerah yang dari dahulu sudah terbagi dua ini (Sumatera Timur yang maju, dan Tapanuli yang masih ketinggalan) perlu penanganan khusus.
Perbedaan mencolok antara Sumatera Timur dengan Tapanuli ini bagai disekat tembok tebal, sulit di bereskan. Kultur masyarakat Batak yang tegas dan sulit bekerjasama menjadi faktor dominan terus tertinggalnya daerah Tapanuli ini. Belum lupa kita bagaimana bentuk pemaksaan kehendak yang dipertunjukkan sebagian gelintir orang yang ingin memisahkan Tapanuli dari Sumut, yang menyebabkan meninggalnya Abdul Azis Angkat, ketua DPRD Sumut, 3 Februari lalu.
Sumut yang terdiri dari unsur sebelas etnis, dibagi dengan dua etnis terbesar Melayu dan Batak. Batak sendiri terdiri pula dari banyak sub-etnis, yaitu: Toba, Samosir, Silindung, Humbang, Angkola, Pesisir, Mandailing, Pakantan, Dairi, Pakpak, Simalungun dan Karo. Masing-masing sub etnis ini mengkristal pula dan bahkan bukan hal aneh sebagian diantaranya merasa bukan etnis Batak.
Ternyata sesudah lebih 60 tahun Indonesia merdeka dan 10 tahun reformasi, sub-sub etnis Batak itu bukannya makin memudar dan melemah melainkan justru semakin mengeras dan mengkristal. Bukannya kian saling memahami dan kerjasama, tetapi malah kian saling mencurigai dan menegasi.
Orang-orang Batak Toba semakin tidak suka kepada orang Mandailing (juga Angkola?), begitu juga sebaliknya. Apalagi agama yang dianut kedua puak ini berbeda. Mandailing di Selatan menganut Islam sementara Toba di Utara beragama Kristen. Komplit sudah alasan untuk bermusuhan atau berpisah setengah baik-baik.
Namun persoalan bukan hanya itu. Di bawah permukaan juga sudah lama ada ketegangan antara orang Batak Toba dengan Batak Simalungun dan Karo yang sungguh-sungguh mirip api dalam sekam. Beberapa tahun terakhir ini sub etnis Simalungun tampak sangat gencar ingin menunjukkan identitas dirinya yang khas dan berbeda dari Batak Toba. Orang-orang Karo sudah lebih dulu melakukannya dan sebagian malah sudah enggan menyebut dirinya sebagai Batak Karo namun cukup Karo saja.
Hasilnya apa? Alih-alih membentuk satu propinsi baru maka yang muncul justru ide membentuk tiga atau malah empat-lima propinsi baru: Tapanuli Barat, Tapanuli (Utara) dan Sumatera Tenggara (Mandailing Natal), dan Sumatera Timur (?) serta Nias (?).
Pada masa penjajahan Belanda, distrik Mandailing yang mayoritas beragama Islam sebenarnya tak mau bersekutu dalam Keresidenan Batak, yang meskipun berasal dari satu etnis hanya berbeda agama saja. Karena alasan agama pula, mereka konon enggan termasuk dalam sub-etnis Batak jauh mengingkari pembawaan lahirnya. Mandailing malah lebih suka bergabung dalam Keresidenan Padang. Untuk menghindari percekcokan itu, dipilihlah nama Tapanuli berasal dari kata Tapian Na Uli, nama teluk di pantai Sibolga sebagai titik temu.
Protap belum terbentuk, semangat perlawanan menguat dengan munculnya wacana tandingan berupa pembentukan Provinsi baru selain Protap, yakni Provinsi Tapanuli Barat (Protabar). Deklarasi yang dibacakan pada 29 Oktober 2008 di Pinang Sori, Tapteng itu sekaligus menolak pembentukan Protap.
Daerah yang masuk Protabar itu terdiri atas Kabupaten Nias, Nisel, Tapteng, Kota Sibolga, Kota Padangsidimpuan, Kabupaten Madina, Padanglawas Utara (Paluta), Padanglawas (Palas), Tapsel, dan Pakpak Bharat. Kemudian hari, bahkan Nias juga menyatakan tak mendukung lagi Wilayah Protap dengan luas sekitar 2 juta hektar dan jumlah penduduk 2,4 juta jiwa itu belum akan berhenti dari tarik-menarik politik.
Pada 22 Desember 2008 malah muncul perlawanan lagi. Sejumlah tokoh dan pejabat eksekutif di wilayah Tapanuli bagian selatan (Tabagsel) mendeklarasikan pembentukan Provinsi Sumatera Tenggara (Sumtra) di Sipirok. Deklarasi itu digagas lima kepala daerah Tabagsel, yakni, Tapsel, Mandailing Natal (Madna), Kota Padangsidimpuan, Padanglawas, dan Padanglawas Utara (Paluta).
Sengaja saya angkat peristiwa itu mengingatkan kembali para kandidat bagaimana rumitnya persoalan di Sumut, ditambahi persoalan yang terpendam tadi menjadikan para calon harus berada di jalur netral, karena para calon jauh-jauh hari akan dibenturkan pada pertanyaan dia dari mana dan etnis apa.
Di Sumut berbuat saja bisa dianggap pura-pura, apalagi hanya sekedar bicara pasti tidak bakal mendapat sokongan, jadi perlu direnungkan dari kini yang ingin jadi calon Gubsu, janganlah memperparah keretakan yang ada agar propinsi ini bisa melesat maju karena potensi alam dan SDM nya melimpah. Selamat jadi Calon Gubsu.[]Syafriwal Marbun
0
2.5K
5
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan