JAKARTA, KOMPAS.com - Panas di Kampung Baru, Muara Angke, Kelurahan Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, terasa lebih menyengat. Hal ini disebabkan karena kampung yang
ditinggali oleh 285 kepala keluargaatau sekitar 507 jiwa ini berada persis di pinggir pantai.
Kampung Baru bisa dikatakan sebagai kawasan kumuh.
Gubuk-gubuk semi permanen terbuat dari bambu, triplek dan beratapkan asbes menjadi tempat tinggal warga yang kebanyakan merupakan warga pendatang.
Andi (32) sudah tinggal di kawasan ini selama 10 tahun. Dengan membayar Rp 150.000 per bulan dia mengontrak gubuk ukuran 2x2 persegi bersama ayahnya, Supendi (56).
"Kerjaan saya hanya buruh angkut di tempat pelelangan ikan, kadang kalo lagi banyak ikannya bisa dapat Rp 50.000 sampai Rp 60.000, kalo lagi sepi mah paling Rp 30.000, itu juga habis buat makan sehari sama rokok," kata pria tiga anak
asal Cianjur ini, Senin (29/10/2012).
Selama 10 tahun tinggal di Kampung Baru, Andi sudah akrab dengan banjir pasang air laut, bocor saat hujan, masuk angin, hingga gejala tipes. Dia mengakui jika kondisi tempat yang dia tinggali sekarang memang tidak layak.
"Tapi mau gimana lagi, enggak ada pilihan lain," kata Andi.
Pilihan itu pun terasa semakin sempit ketika Kampung Baru akan digusur. Beberapa hari sebelumnya, sekitar 50 gubuk telah dibongkar. Sejumlah warga yang gubuknya dibongkar memilih untuk tinggal di tenda.
Johar (59) mengaku pusing dengan kondisi ini.
Pria asal Lebak Banten ini berharap agar tempat tinggalnya selama mengadu nasib di Jakarta tidak digusur.
"Kalo bisa jangan digusur, carikan solusinya. Saya sebenernya kemarin masih di Lebak, karena istri saya sakit, ada pembengkakan jantung. Eh, malamnya saya dapat kabar kalo Kampung Baru mau digusur, saya langsung balik paginya dan ini baru saja sampai. Pusing, istri sakit, tempat tinggal mau digusur," kata Johar.
Pria yang sehari-harinya menjual nasi goreng ini sudah lima tahun tinggal di Kampung Baru. Biasanya dia berjualan jam tujuh malam, balik jam empat pagi. Dengan adanya rencana penggusuran ini, Johar bingung mau ke mana.
"Kalo saya kerjanya enggak jualan nasi goreng, saya bisa aja tidur di masjid. Ini saya jualan nasi goreng, gerobak saya taruh di mana? Belum kalo hujan. Saya hanya ingin tidak ada penggusuran, semoga Pak Jokowi bisa temukan solusi yang tepat," harap Johar.
Menyusul rencana penggusuran inilah warga Kampung Baru kemudian berunjuk rasa. Mereka pun berencana mengembalikan uang ganti rugi sebesar Rp 750.000 yang diberikan ke setiap kepala keluarga.
Sebagian besar adalah pendatang dan ilegal. Setiap tahun, setiap bulan, dan setiap hari banyak orang yang datang ke Jakarta untuk mengadu nasib dengan bermodalkan dengkul. Kalau begini, yang susah pemerintah DKI dan warga Jakarta. Di satu sisi kasihan juga orang-orang seperti ini, biar bagaimanapun mereka warga Indonesia yang butuh dibantu dan dibina, secara pendidikan rendah dan lapangan pekerjaan pun sedikit.
Ini jadi PR pemerintah pusat untuk meratakan pembangunan daerah, agar pusat ekonomi tidak berada di satu atau beberapa kota saja.