- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Mengenang MH Thamrin, Kian Pilu Melihat PSSI Kini
TS
albertus2008
Mengenang MH Thamrin, Kian Pilu Melihat PSSI Kini
JAKARTA, KOMPAS.com — Stadion Petojo, lapangan tua yang berada di tengah Kota Jakarta, menjadi saksi bisu kecintaan Mohammad Hoesni Thamrin terhadap sepak bola Indonesia. Semasa hidupnya, politikus Volksraad itu merupakan salah satu pahlawan nasional yang menaruh perhatian besar terhadap olahraga tersebut. Sepak bola bagi Thamrin bukan olahraga semata, melainkan sarana untuk menumbuhkan persatuan dan nasionalisme bangsa.
Tidak ada yang memungkiri sepak bola adalah salah satu alat perjuangan paling efektif di awal kemerdekaan Indonesia. Sejumlah tokoh pergerakan nasional mulai dari Soekarno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, hingga Tan Malaka adalah pencandu bola yang paham bahwa olahraga tersebut juga menjadi sebuah wahana perjuangan untuk mengangkat harkat martabat Nusantara.
Demikian halnya dengan Thamrin. Lebih dari setengah abad yang lalu, ia telah menjadi tiang kukuh dalam memperjuangkan nasib rakyatnya. Lewat sepak bola, ia ingin menunjukan, bangsa terjajah bukan berarti tidak mempunyai keunggulan maupun kemampuan. Baginya, Nusantara bukanlah kelas kambing yang tidak unggul, melainkan sebuah bangsa besar yang bisa berbicara banyak pada dunia.
Lahir di Sawah Besar, Jakarta, 16 Februari 1894, sejak kecil Thamrin adalah potret seorang anak Betawi jempolan. Ayahnya, Thamrin Mohammad Thabrie, pernah menjabat sebagai Wedana Batavia, yaitu jabatan kedua tertinggi untuk golongan bumiputera. Sementara ibunya, Nurhamah, adalah seorang Betawi asli. Hidup berkecukupan tidak lantas membuat Thamrin lupa daratan.
Setelah tamat dari salah satu sekolah menengah milik Belanda, Koningen Wihelmina III, Thamrin melanjutkan kariernya dengan bekerja magang di sebuah kantor Residen Batavia sebelum melanjutkannya ke perusahaan pelayaran Belanda, KPM. Pada usia 25 tahun, ia kemudian menjadi anggota Gemeenteraad (Dewan Kota) Batavia sejak 1919 hingga 1941 dan berbarengan menjadi anggota Volksraad (1927-1941).
Di tengah perjalanannya, Thamrin sering bergaul dengan kaum intelektual yang kritis terhadap pemerintah kolonial. Pada mulanya, ia adalah sosok yang berprofil rendah, tetapi semangat dan idenya diperhitungkan karena pemikiran dan kepintarannya berdebat dengan Belanda. Thamrin tak lupa akan tujuan utama, yaitu mempersatukan Nusantara yang sudah terpecah belah karena taktik Devide et Impera milik belanda, salah satunya lewat sepak bola.
Sumpah
Kelahiran Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, semakin memantapkan rasa nasionalisme para pemuda Nusantara. Di tengah-tengah kemiskinan dan kesengsaraan yang semakin menjadi, ketika kolonialisme Belanda mengerogoti kesejahteraan pribumi, rakyat Indonesia berjuang untuk membentuk sebuah perlawanan terhadap pemerintah kolonial.
Pada masa itu, sepak bola kemudian bertransformasi menjadi counter culture terhadap perkembangan masyarakat terhadap kolonialisme bangsa Eropa. Ketika Boedi Oetomo berdiri pada 1908, para tokoh politik mendukung berdirinya klub-klub sepak bola Tanah Air. Bagi mereka, sepak bola juga dapat dijadikan sebagai latihan pola pikir dalam mematangkan strategi perjuangan.
Walhasil, pihak Belanda melihat hal itu sebagai fenomena yang membahayakan. Mereka bahkan sempat membuat pengastaan sepak bola di bawah organisasi Nederlandsche-Indische Voetbal Bond (NIVB) pada 1919. Akan tetapi, hal itu sia-sia karena tidak dapat mencegah penyebaran semangat Sumpah Pemuda yang juga menggelora lewat sepak bola.
Demikian halnya dengan Thamrin yang sadar bahwa sepak bola adalah suara rakyat untuk mempersatukan Nusantara. Ketika Ir Soeratin Sosrosoegondo berserta pengurus-pengurus klub pribumi berencana untuk membentuk Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (sekarang PSSI), Thamrin juga turut menyumbangkan gagasan penting dalam sejarah panjang sepak bola Indonesia.
Dalam Ensiklopedi Pahlawan Indonesia dari Masa ke Masa disebutkan, pada 1932, Thamrin pernah menyumbangkan dana sebesar 2000 gulden untuk mendirikan lapangan sepak bola di daerah Petojo, Jakarta Pusat. Lapangan yang akhirnya dijadikan markas Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ), yang merupakan cikal bakal Persija Jakarta.
Sumbangan Thamrin itu memberikan semangat tersendiri bagi penduduk pribumi yang untuk kali pertama mempunyai sarana menyalurkan hobinya bermain sepak bola. Lapangan itu kemudian menjadi tempat pelaksanaan Kejuaraan Nasional II PSSI. Di pertandingan puncak yang mempertemukan VIJ melawan PSIM, Thamrin secara khusus meminta Soekarno untuk melakukan tendangan pertama pertanda dibukanya pertandingan tersebut.
Setelah itu, pribumi pun bisa bergembira karena sepak bola kemudian mengubah keputusasaan menjadi gelora semangat persatuan Indonesia. Sembari menuju gerbang kemerdekaan, Nusantara pun perlahan mulai unjuk gigi melalui sepak bola di Asia maupun dunia. Dari kesempatan mengikuti Piala Dunia 1938 di Perancis hingga julukan "Macan Asia" adalah bukti nyata kehebatan tim "Garuda".
Persatuan
Melihat sepenggal kisah sejarah ini, rasanya wajar jika di setiap benak kita bertanya bagaimana kondisi sepak bola Indonesia saat ini. Sepak bola yang sejatinya dijadikan spirit persatuan bangsa itu telah berubah fungsi menjadi ajang pertaruhan gengsi dan politik praktis para pengurus sepak bola yang tak tahu diri. Tidak ada kebersamaan membangun sepak bola dengan hati. Yang ada hanyalah pameran basi dari pengurus yang lebih menyerupai politisi.
Kata "Persatuan" dalam nama PSSI pun seakan hanya menjadi slogan belaka. Faktanya, sepak bola Indonesia telah mengalami perpecahan luar biasa. Perseteruan PSSI dan KPSI yang tak kunjung usai hingga saat ini menjadikan sepak bola Indonesia semakin tidak jelas arahnya. Sepak bola sudah terlalu banyak disusupi intrik dan klaim saling benar. Soal prestasi? Nir gelar!
Lihat saja bagaimana publik seantero bumi tertawa melihat lelucon yang diperagakan sejumlah pengurus sepak bola itu dengan memasukan intrik perpecahan hingga tubuh tim nasional. Tak tanggung-tanggung, kini 240 juta masyarakat Indonesia dipampangkan pada kenyataan bahwa negara ini punya dua timnas, yang tidak pernah terjadi di belahan bumi mana pun.
Jangankan berbicara soal persatuan, untuk duduk bersama saja, sejumlah pengurus itu lebih mementingkan ego kelompoknya masing-masing. Padahal, mereka harusnya sadar bahwa tugas mereka adalah pamong olahraga sejati, bukan politisi, atau juga bukan para loyalis politik sepak bola yang sudah terjerat dalam pusaran kepentingan pengusaha A atau B.
Tujuan
Jika kita bangsa besar, sangat pantas para pengurus yang bertikai itu mencontoh apa yang sudah dilakukan Thamrin beserta tokoh pergerakan nasional lainnya dengan semangatnya membangun sepak bola Indonesia. Meski tidak banyak berkecimpung secara langsung, Thamrin sadar, bagaimana menjadi seorang pencinta sepak bola sejati. Sumbangan Thamrin untuk membangun lapangan Petojo adalah contoh nyata mengenai tujuannya mempersatukan Nusantara lewat sepak bola. Dia tidak punya motivasi apa pun dalam membangun lapangan itu, kecuali untuk memajukan sepak bola dan mengangkat harkat serta martabat bangsa.
Sejatinya, sepak bola rasanya tidak akan pernah menjadi sesuatu yang absurd sepanjang tujuan pengelolaan dari para pengurusnya masuk akal. Namun, jangan pernah berharap dapat menghasilkan kesebelasan mumpuni dan berprestasi kalau politisasi dan perpecahan masih terus merasuki sepak bola di tanah Ibu Pertiwi.
Memang dalam sejak zaman pergerakan nasional itu sepak bola mengalami politisasi, tetapi itu dalam artian demi mengejar tujuan-tujuan mulia kebangsaan, bukan materi ataupun kekuasaan semata seperti saat ini. Masyarakat sudah bosan dengan ribuan alasan ataupun pembelaan klasik. Yang diimpikan masyarakat saat ini adalah persatuan dan kebesaran hati dari sejumlah pengurus itu untuk mencari secercah prestasi, titik!
Kini, sudah 71 tahun Mohammad Hoesni Thamrin meninggalkan kita. Sudah 84 tahun juga gelora semangat Sumpah Pemuda mengiringi perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia. Semoga kebesaran hati seorang pahlawan sekaligus pecinta bola seperti Thamrin dengan semangat persatuannya itu dapat mengilhami para pengurus yang terus mengobarkan mimpi anak bangsa mendapatkan prestasi sepak bola. Jika pengurus sekarang terlalu bebal untuk belajar sejarah dan meneladani tokoh-tokoh masa lalu, semoga segera muncul generasi baru yang lebih profesional mengelola sepak bola dengan dilandasi nasionalisme yang tinggi, bukan kepentingan sempit yang justru akan menjerumuskan sepak bola.
SUMBER
semenjak politik mulai masuk ke sepak bola era nurdin cs..,timnas ina makin 'hancur', mengharapkan APBD..yg bs di 'curi' oleh para poli tikus bola yg ngaku2 sbg ahli dibidang sepak bola macam mana pula..hehehe..
Tidak ada yang memungkiri sepak bola adalah salah satu alat perjuangan paling efektif di awal kemerdekaan Indonesia. Sejumlah tokoh pergerakan nasional mulai dari Soekarno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, hingga Tan Malaka adalah pencandu bola yang paham bahwa olahraga tersebut juga menjadi sebuah wahana perjuangan untuk mengangkat harkat martabat Nusantara.
Demikian halnya dengan Thamrin. Lebih dari setengah abad yang lalu, ia telah menjadi tiang kukuh dalam memperjuangkan nasib rakyatnya. Lewat sepak bola, ia ingin menunjukan, bangsa terjajah bukan berarti tidak mempunyai keunggulan maupun kemampuan. Baginya, Nusantara bukanlah kelas kambing yang tidak unggul, melainkan sebuah bangsa besar yang bisa berbicara banyak pada dunia.
Lahir di Sawah Besar, Jakarta, 16 Februari 1894, sejak kecil Thamrin adalah potret seorang anak Betawi jempolan. Ayahnya, Thamrin Mohammad Thabrie, pernah menjabat sebagai Wedana Batavia, yaitu jabatan kedua tertinggi untuk golongan bumiputera. Sementara ibunya, Nurhamah, adalah seorang Betawi asli. Hidup berkecukupan tidak lantas membuat Thamrin lupa daratan.
Setelah tamat dari salah satu sekolah menengah milik Belanda, Koningen Wihelmina III, Thamrin melanjutkan kariernya dengan bekerja magang di sebuah kantor Residen Batavia sebelum melanjutkannya ke perusahaan pelayaran Belanda, KPM. Pada usia 25 tahun, ia kemudian menjadi anggota Gemeenteraad (Dewan Kota) Batavia sejak 1919 hingga 1941 dan berbarengan menjadi anggota Volksraad (1927-1941).
Di tengah perjalanannya, Thamrin sering bergaul dengan kaum intelektual yang kritis terhadap pemerintah kolonial. Pada mulanya, ia adalah sosok yang berprofil rendah, tetapi semangat dan idenya diperhitungkan karena pemikiran dan kepintarannya berdebat dengan Belanda. Thamrin tak lupa akan tujuan utama, yaitu mempersatukan Nusantara yang sudah terpecah belah karena taktik Devide et Impera milik belanda, salah satunya lewat sepak bola.
Sumpah
Kelahiran Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, semakin memantapkan rasa nasionalisme para pemuda Nusantara. Di tengah-tengah kemiskinan dan kesengsaraan yang semakin menjadi, ketika kolonialisme Belanda mengerogoti kesejahteraan pribumi, rakyat Indonesia berjuang untuk membentuk sebuah perlawanan terhadap pemerintah kolonial.
Pada masa itu, sepak bola kemudian bertransformasi menjadi counter culture terhadap perkembangan masyarakat terhadap kolonialisme bangsa Eropa. Ketika Boedi Oetomo berdiri pada 1908, para tokoh politik mendukung berdirinya klub-klub sepak bola Tanah Air. Bagi mereka, sepak bola juga dapat dijadikan sebagai latihan pola pikir dalam mematangkan strategi perjuangan.
Walhasil, pihak Belanda melihat hal itu sebagai fenomena yang membahayakan. Mereka bahkan sempat membuat pengastaan sepak bola di bawah organisasi Nederlandsche-Indische Voetbal Bond (NIVB) pada 1919. Akan tetapi, hal itu sia-sia karena tidak dapat mencegah penyebaran semangat Sumpah Pemuda yang juga menggelora lewat sepak bola.
Demikian halnya dengan Thamrin yang sadar bahwa sepak bola adalah suara rakyat untuk mempersatukan Nusantara. Ketika Ir Soeratin Sosrosoegondo berserta pengurus-pengurus klub pribumi berencana untuk membentuk Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (sekarang PSSI), Thamrin juga turut menyumbangkan gagasan penting dalam sejarah panjang sepak bola Indonesia.
Dalam Ensiklopedi Pahlawan Indonesia dari Masa ke Masa disebutkan, pada 1932, Thamrin pernah menyumbangkan dana sebesar 2000 gulden untuk mendirikan lapangan sepak bola di daerah Petojo, Jakarta Pusat. Lapangan yang akhirnya dijadikan markas Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ), yang merupakan cikal bakal Persija Jakarta.
Sumbangan Thamrin itu memberikan semangat tersendiri bagi penduduk pribumi yang untuk kali pertama mempunyai sarana menyalurkan hobinya bermain sepak bola. Lapangan itu kemudian menjadi tempat pelaksanaan Kejuaraan Nasional II PSSI. Di pertandingan puncak yang mempertemukan VIJ melawan PSIM, Thamrin secara khusus meminta Soekarno untuk melakukan tendangan pertama pertanda dibukanya pertandingan tersebut.
Setelah itu, pribumi pun bisa bergembira karena sepak bola kemudian mengubah keputusasaan menjadi gelora semangat persatuan Indonesia. Sembari menuju gerbang kemerdekaan, Nusantara pun perlahan mulai unjuk gigi melalui sepak bola di Asia maupun dunia. Dari kesempatan mengikuti Piala Dunia 1938 di Perancis hingga julukan "Macan Asia" adalah bukti nyata kehebatan tim "Garuda".
Persatuan
Melihat sepenggal kisah sejarah ini, rasanya wajar jika di setiap benak kita bertanya bagaimana kondisi sepak bola Indonesia saat ini. Sepak bola yang sejatinya dijadikan spirit persatuan bangsa itu telah berubah fungsi menjadi ajang pertaruhan gengsi dan politik praktis para pengurus sepak bola yang tak tahu diri. Tidak ada kebersamaan membangun sepak bola dengan hati. Yang ada hanyalah pameran basi dari pengurus yang lebih menyerupai politisi.
Kata "Persatuan" dalam nama PSSI pun seakan hanya menjadi slogan belaka. Faktanya, sepak bola Indonesia telah mengalami perpecahan luar biasa. Perseteruan PSSI dan KPSI yang tak kunjung usai hingga saat ini menjadikan sepak bola Indonesia semakin tidak jelas arahnya. Sepak bola sudah terlalu banyak disusupi intrik dan klaim saling benar. Soal prestasi? Nir gelar!
Lihat saja bagaimana publik seantero bumi tertawa melihat lelucon yang diperagakan sejumlah pengurus sepak bola itu dengan memasukan intrik perpecahan hingga tubuh tim nasional. Tak tanggung-tanggung, kini 240 juta masyarakat Indonesia dipampangkan pada kenyataan bahwa negara ini punya dua timnas, yang tidak pernah terjadi di belahan bumi mana pun.
Jangankan berbicara soal persatuan, untuk duduk bersama saja, sejumlah pengurus itu lebih mementingkan ego kelompoknya masing-masing. Padahal, mereka harusnya sadar bahwa tugas mereka adalah pamong olahraga sejati, bukan politisi, atau juga bukan para loyalis politik sepak bola yang sudah terjerat dalam pusaran kepentingan pengusaha A atau B.
Tujuan
Jika kita bangsa besar, sangat pantas para pengurus yang bertikai itu mencontoh apa yang sudah dilakukan Thamrin beserta tokoh pergerakan nasional lainnya dengan semangatnya membangun sepak bola Indonesia. Meski tidak banyak berkecimpung secara langsung, Thamrin sadar, bagaimana menjadi seorang pencinta sepak bola sejati. Sumbangan Thamrin untuk membangun lapangan Petojo adalah contoh nyata mengenai tujuannya mempersatukan Nusantara lewat sepak bola. Dia tidak punya motivasi apa pun dalam membangun lapangan itu, kecuali untuk memajukan sepak bola dan mengangkat harkat serta martabat bangsa.
Sejatinya, sepak bola rasanya tidak akan pernah menjadi sesuatu yang absurd sepanjang tujuan pengelolaan dari para pengurusnya masuk akal. Namun, jangan pernah berharap dapat menghasilkan kesebelasan mumpuni dan berprestasi kalau politisasi dan perpecahan masih terus merasuki sepak bola di tanah Ibu Pertiwi.
Memang dalam sejak zaman pergerakan nasional itu sepak bola mengalami politisasi, tetapi itu dalam artian demi mengejar tujuan-tujuan mulia kebangsaan, bukan materi ataupun kekuasaan semata seperti saat ini. Masyarakat sudah bosan dengan ribuan alasan ataupun pembelaan klasik. Yang diimpikan masyarakat saat ini adalah persatuan dan kebesaran hati dari sejumlah pengurus itu untuk mencari secercah prestasi, titik!
Kini, sudah 71 tahun Mohammad Hoesni Thamrin meninggalkan kita. Sudah 84 tahun juga gelora semangat Sumpah Pemuda mengiringi perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia. Semoga kebesaran hati seorang pahlawan sekaligus pecinta bola seperti Thamrin dengan semangat persatuannya itu dapat mengilhami para pengurus yang terus mengobarkan mimpi anak bangsa mendapatkan prestasi sepak bola. Jika pengurus sekarang terlalu bebal untuk belajar sejarah dan meneladani tokoh-tokoh masa lalu, semoga segera muncul generasi baru yang lebih profesional mengelola sepak bola dengan dilandasi nasionalisme yang tinggi, bukan kepentingan sempit yang justru akan menjerumuskan sepak bola.
SUMBER
semenjak politik mulai masuk ke sepak bola era nurdin cs..,timnas ina makin 'hancur', mengharapkan APBD..yg bs di 'curi' oleh para poli tikus bola yg ngaku2 sbg ahli dibidang sepak bola macam mana pula..hehehe..
0
851
0
Komentar yang asik ya
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan