Sebuah cerita tentang pabrik piringan hitam sekaligus perusahaan rekaman tertua milik pemerintah Republik Indonesia.
Lokananta adalah perusahaan rekaman musik (label) pertama di Indonesia yang didirikan pada tahun 1956 dan berlokasi di Solo, Jawa Tengah. Sejak berdirinya, Lokananta mempunyai dua tugas besar, yaitu produksi dan duplikasi piringan hitam dan kemudian cassette audio. Mulai tahun 1958, piringan hitam mulai dicoba untuk dipasarkan kepada umum melalui RRI dan diberi label Lokananta yang kurang lebih berarti "Gamelan di Kahyangan yang berbunyi tanpa penabuh".
Semenjak tahun 1983 Lokananta juga pernah mempunyai unit produksi penggadaan film dalam format pita magnetik (Betamax dan VHS).
Melihat potensi penjualan piringan hitam maka melalui PP Nomor 215 Tahun 1961 status Lokananta menjadi Perusahaan Negara. Lokananta sekarang menjadi salah satu cabang dari Perum Percetakan Negara RI. Sebagai Perum Percetakan Negara RI cabang Surakarta kegiatannya antara lain :
1. Recording 2. Music Studio 3. Broadcasting 4. Percetakan dan Penerbitan
Lokananta sampai sekarang masih mempunyai koleksi ribuan lagu-lagu daerah dari seluruh Indonesia (Ethnic/World Music/foklor) dan lagu-lagu pop lama termasuk diantaranya lagu-lagu keroncong. Lokananta telah melahirkan beberapa penyanyi ternama di Indonesia.
Koleksinya antara antara lain terdiri musik gamelan Jawa, Bali, Sunda, Sumatera Utara (batak) dan musik daerah lainnya serta lagu lagu folklore ataupun lagu rakyat yang tidak diketahui penciptanya. Rekaman gending karawitan gubahan dalang kesohor Ki Narto Sabdo, dan karawitan Jawa Surakarta dan Yogya merupakan sebagian dari koleksi yang ada di Lokananta. Tersimpan juga master lagu berisi lagu-lagu dari penyanyi legendaris seperti Gesang, Waldjinah, Titiek Puspa, Bing Slamet, dan Sam Saimun. Lokananta mempunyai koleksi lebih dari 5.000 lagu rekaman daerah. Terdapat pula rekaman pidato-pidato kenegaraan Presiden Soekarno.
Salah Satu karya musik produksi Lokananta adalah merekam lagu Rasasayange bersama dengan lagu daerah lainnya dalam satu piringan hitam. Piringan hitam ini kemudian dibagikan kepada kontingen Asian Games pada tanggal 15 Agustus 1962. Lagu Rasa sayange yang merupakan lagu foklore dari Maluku yang telah menjadi musik rakyat Indonesia.
Quote:
Spoiler for lokananta hari ini 29-10-2012 ultah gan:
Jika diibaratkan, Lokananta mirip bank sentral dalam industri musik Indonesia. Tidak ada koleksi lagu daerah di Indonesia ini yang lebih lengkap dari Lokananta. Sayangnya tidak banyak dokumentasi dan pengarsipan yang jelas tentang album yang sudah dikeluarkan oleh Lokananta dalam setengah abad terakhir. Apalagi melakukan pendataan ulang terhadap ribuan koleksi lagu yang dimiliki Lokananta bukanlah perkara mudah. Diakui atau tidak, sejak awal hingga saat ini Lokananta tidak memiliki standar pengarsipan yang jelas. Banyak sekali dokumen dan perjanjian dengan artis yang saat ini tidak bisa ditemukan lagi.
Beruntung ada seorang peneliti yang peduli. Phillip Yampolsky dalam disertasinya yang berjudul Lokananta: A Discography of The national Recording Company of Indonesia 1957-1985 merunut dengan baik semua koleksi Lokananta. Ia melakukan penelitiannya pada tahun 1980-1982 sebagai disertasi untuk University of Wisconsin. Buku Phillip inilah yang sekarang menjadi kitab suci untuk menelusuri seluruh arsip rekaman yang dimiliki oleh Lokananta.
Dari penelitian Phillip, jenis keroncong, pop dan lagu Melayu mendominasi koleksi Lokananta. Selain itu koleksi lainnya meliputi genre lagu perjuangan, lagu gereja, klenengan, langgam Jawa, degung Sunda, tarling Banyumasan, gandrung Banyuwangi, pop Madura, lagu Batak, hadrah, gambus, hingga siaran propaganda milik Pemerintah RI.
Lokananta juga berperan menyimpan kepingan sejarah perjalanan bangsa ini. Lagu "Indonesia Raya" dalam tiga stanza telah tersimpan lama, jauh sebelum Roy Suryo membuat heboh dengan berbicara di depan infotainment jika dia menemukannya di Leiden. Rekaman pidato Bung Karno pada beberapa acara penting juga bisa ditemukan disini, salah satunya pada Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung.
Aden Bahri, anak dari Saiful Bahri, pencipta lagu "Terang Bulan", merasakan betul bagaimana peninggalan ayahnya tadi masih disimpan dengan baik oleh Lokananta. “Awalnya yang bilang Bens Leo waktu kita ngumpul, saya lalu ingat semua lagu di RRI ada back-up-nya di Lokananta”, kata Aden.
Meski demikian, koleksi-koleksi tadi beserta puluhan ribu koleksi lainnya yang jumlahnya hampir mencapai lima ribu lagu dan 40 ribu keping piringan hitam, kondisinya masih mengenaskan. Keping vinyl yang sensitif pada suhu daerah tropis hanya disimpan dalam ruangan dengan sirkulasi udara yang minim.
“Ya cuma buka tutup jendela aja. Pas jam kantor kita buka, pas nanti waktu pulang ditutup lagi”, ujar Titik dengan senyum getir. Untuk mengusir bau apek ini Titik hanya mengandalkan pengetahuan tradisionalnya untuk perawatan darurat. “Saya biasanya mencampur bubuk kopi dan kamper untuk mengusir bau,” kata Titik.
Bandingkan dengan saudaranya, film. Sejak tahun 1975, film Indonesia memiliki Sinematek Indonesia (SI) yang menyimpan dokumentasi perfilman Indonesia, mulai dari materi film, skenario, poster film hingga surat undangan preview film. Untuk menyimpan koleksi film, terdapat ruang penyimpanan khusus yang mempunyai tingkat kelembapan tertentu untuk menjaga film tetap awet.
Bukannya mau menakuti tapi jika terus dibiarkan, lambat laun harta karun musik Indonesia tadi akhirnya habis oleh jamur dan lenyap dimakan zaman. Lokananta kemudian mengambil langkah penyelamatan dengan mendigitalisasi seluruh koleksi piringan hitam ke bentuk audio CD. Baru dua tahun ini hal tersebut berjalan.
Meski telambat tapi langkah ini adalah solusi yang paling mungkin. “Ketika saya masuk, proses digitalisasi ini baru dilakukan”, kata Bemby Ananto dari bagian re-mastering. Lokananta memang kekurangan sumberdaya manusia untuk melakukan hal-hal yang menyangkut teknis. Saat ini sudah hampir 80 persen dari lima ribu koleksi lagu yang dialihkan ke bentuk digital.
Butuh usaha dan kerja keras dalam melakukan proses transfer ini. Sambil bersandar dan diselingi sayup-sayup langgam Jawa hasil transfer , Bemby bercerita bahwa dia sering lembur untuk urusan transfer digital ini. “Setiap hari saya dengerin langgam Jawa dan lagu daerah, awalnya saya ndak suka, tapi karena terbiasa akhirnya suka sendiri,” kata Bemby.
Dulunya ia adalah seorang mekanik. Bahkan sebelum di Lokananta, Bemby sempat bekerja di Jepang selama beberapa tahun. Saat kontrak kerja habis dan Bemby akhirnya pulang kampung, seorang teman menawarkan padanya untuk kerja di Lokanata. Tanpa pikir panjang Bemby menerima saja tawaran temannya.
“Dulu saya nggak bisa sama sekali software rekam digital seperti ini. Akhirnya saya belajar sendiri, otodidak,” kata Bemby. Ia mengaku Lokananta adalah tempat kerja yang ia inginkan, meski masih sering alfa untuk masalah kesejahteraan karyawan. “Saya mau kerja sampai Lokananta bisa kembali besar,” kata pria asli Solo ini.
Menurut Bemby, rekaman lawas produksi Lokananta ternyata juga tidak sepi peminat, meski yang sering datang adalah mereka yang masuk kategori old school. “Sering ada bapak-bapak yang minta ditransferkan satu piringan hitam ke dalam CD dengan format MP3,” kata Bemby yang juga bertugas mengubah album dalam piringan hitam ke dalam bentuk digital.
“Beberapa bahkan jadi kolektor. Ada seorang dari Semarang yang sering datang, setiap kali datang dia minta ditransfer lima vinyl sekaligus,” kata Bemby. Satu lagu dihargai 25 ribu rupiah. Jika ada delapan track dalam satu vinyl, maka biaya transfernya adalah 200 ribu rupiah.
------
Artikel ini pernah dimuat di majalah Rolling Stone Indonesia edisi Mei 2010 dan kembali dimuat di RollingStone.co.id dalam rangka menyambut ulang tahun Lokananta ke-56 yang jatuh pada 29 Oktober mendatang.
ulang tahun semoga dengan makin majunya teknologi, masih bisa terus eksis