- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
"Elizabeth Karen" Sinden dari Amerika
TS
mcobratti
"Elizabeth Karen" Sinden dari Amerika
Quote:
Quote:
Nama Karen Elizabeth Sekararum sudah tak asing di antara deretan penggiat seni Jawa Timur. Berangkat dari padepokan seni Mangun Dharma Malang, dia meretas konsistensi dan berjuang menghidupkan lagi seni tradisional yang mulai terpinggirkan.
Hobi menari dan nyinden kini telah menjadi sebuah identitas yang tak terpisahkan dari sosok perempuan kelahiran Chicago, Amerika Serikat, itu. Istri dalang Ki Soleh Adi Pramono tersebut kini lekat dengan identitas sinden bule. Satu-satunya di Jatim, mungkin di Indonesia.
"Saya mengawalinya sebagai penikmat seni tradisional Jawa. Eeh, suwe-suwe kok kepincut, ya sekalian saja nyemplung," tuturnya sambil tersipu.
Ibu dari Sonya Condro Lukitosari dan Kyan Andaru Kartikaningsih itu mengatakan, budaya tradisional Indonesia, khususnya Jawa Timur, adalah seni budaya yang sangat langka. Sayang, kata dia, generasi muda Jawa cenderung mengabaikannya. "Saya sangat mengaguminya. Terus terang, saya eman jika seni adiluhung itu hilang percuma," ujarnya.
Elizabeth mengaku akan kecewa jika seni budaya tradisional sering diposisikan di tempat kedua setelah kebudayaan modern. "Setiap mendengar gending Jawa, saya merasa ayem. Anehnya, anak-anak muda sekarang cenderung anti terhadap irama warisan nenek moyangnya," katanya.
"Tidak ada yang melarang jika orang suka musik rock atau dangdut. Tapi, jangan lupakan seni tradisional sendiri," sambung wanita bermata biru tersebut.
Hobi menari dan nyinden kini telah menjadi sebuah identitas yang tak terpisahkan dari sosok perempuan kelahiran Chicago, Amerika Serikat, itu. Istri dalang Ki Soleh Adi Pramono tersebut kini lekat dengan identitas sinden bule. Satu-satunya di Jatim, mungkin di Indonesia.
"Saya mengawalinya sebagai penikmat seni tradisional Jawa. Eeh, suwe-suwe kok kepincut, ya sekalian saja nyemplung," tuturnya sambil tersipu.
Ibu dari Sonya Condro Lukitosari dan Kyan Andaru Kartikaningsih itu mengatakan, budaya tradisional Indonesia, khususnya Jawa Timur, adalah seni budaya yang sangat langka. Sayang, kata dia, generasi muda Jawa cenderung mengabaikannya. "Saya sangat mengaguminya. Terus terang, saya eman jika seni adiluhung itu hilang percuma," ujarnya.
Elizabeth mengaku akan kecewa jika seni budaya tradisional sering diposisikan di tempat kedua setelah kebudayaan modern. "Setiap mendengar gending Jawa, saya merasa ayem. Anehnya, anak-anak muda sekarang cenderung anti terhadap irama warisan nenek moyangnya," katanya.
"Tidak ada yang melarang jika orang suka musik rock atau dangdut. Tapi, jangan lupakan seni tradisional sendiri," sambung wanita bermata biru tersebut.
Quote:
Nasib Padepokan Mangun Dharma Terancam
Quote:
Karena permasalahan yang menimpa pemiliknya, nasib Padepokan Mangun Dharmo tengah di ujung tanduk. Pengembangan seni tradisi di kawasan Tumpang, khususnya Dusun Kemulan terancam mandeg. Ki Soleh Adi Pramono sebagai sang pemimpin Padepokan pun sudah menepi ke Desa Wates Kecamatan Pujon.
Mendung benar-benar menyelimuti Padepokan Mangun Dharmo di Dusun Kemulan Desa Tulus Besar Kecamatan Tumpang. Paseban agung yang biasanya dipakai pertunjukan seni budaya kini mulai berlumut. Pertanda amat jarang difungsikan sebagaimana tujuan pembangunannya.
Sementara gamelan yang berharga ratusan juta, lebih banyak menganggur daripada dipergunakan. Supaya warna tidak pudar, sang penjaga Padepokan memasangi kain warna biru tua untuk menghindari debu. Meski tak dipakai latihan, biasanya gamelan itu dibawa kemana Ki Soleh Adi Pramono saat dapat tanggapan.
Malang Post berusaha menemui Karen Elizabeth Sekar Arum untuk mempertanyakan kelanjutan Padepokan itu. Pagi kemarin, saat ditelepon, kata sang penunggu rumah, Karen sedang berbelanja ke Kota Malang. Wanita disaluran telepon itu meminta Malang Post menelepon kembali sore hari saja. Ibu sedang ke Kota kelihatannya mengantar putrinya belanja, ujarnya.
Sekitar pukul 06.30 WIB malam, saluran telepon di Padepokan Mangun Dharmo kembali dihubungi. Di ujung saluran terdengar suara gadis cilik dengan logat bahasa Indonesia terbata-bata. Suara centil itu hampir mirip nada bicara artis Cinta Laura.
Siapha, oh dari Malang Post, sebentyar, Mami..mami ada telepon dari Malang Post, teriak suara yang sepertinya dimiliki gadis cilik.
Tak berapa lama, suara wanita yang amat merdu terdengar di ujung saluran telepon.
Dalam bahasa jawa halus, suara yang ternyata milik Karen Elizabeth SekarArum itu meminta maaf. Dia tak bisa berkomentar soal Padepokan Mangun Dharmo, dia tampak angkat tangan.
Padepokan lagi krisis, saya tidak bisa lagi, tolong ya, maaf saya lelah, mau mandi dulu, kata Karen kepada Malang Post langsung menutup saluran.
Meski singkat, pernyataan Karen itu menunjukkan betapa seriusnya masalah yang tengah dihadapi pemilik Padepokan. Asal tahu saja, sejak berdiri, Mangun Dharmo memberikan tujuh pelajaran seni tradisi. Antara lain ilmu pedalangan, seni tari, karawitan, mocopat, kerajinan topeng, wayang kulit dan batik.
Pelajaran batik diberikan Karen Elizabeth, saya pegang pedalangan, kerajinan wayang kulit dan kerajinan topeng. Sementara ini wayang kami pindah ke Turen dan Blitar, aku Ki Soleh Adi Pramono.
Prahara tampaknya memang menimpa siapa saja, tak pandang bulu, tak kenal batas. Soleh mengaku, sejak dulu manajemen Mangun Dharmo telah diatur oleh Karen Elizabeth. Padepokan itu kini telah dimiliki secara kolektif oleh warga Kemulan dan Tumpang.
Dulu membangun padepokan itu dikerjakan secara gugur gunung oleh warga per RT. Bagaimanapun juga Padepokan ini harus tetap ada, tukas Soleh sambil menerawang. (bagus ary wicaksono/malangpost)
Mendung benar-benar menyelimuti Padepokan Mangun Dharmo di Dusun Kemulan Desa Tulus Besar Kecamatan Tumpang. Paseban agung yang biasanya dipakai pertunjukan seni budaya kini mulai berlumut. Pertanda amat jarang difungsikan sebagaimana tujuan pembangunannya.
Sementara gamelan yang berharga ratusan juta, lebih banyak menganggur daripada dipergunakan. Supaya warna tidak pudar, sang penjaga Padepokan memasangi kain warna biru tua untuk menghindari debu. Meski tak dipakai latihan, biasanya gamelan itu dibawa kemana Ki Soleh Adi Pramono saat dapat tanggapan.
Malang Post berusaha menemui Karen Elizabeth Sekar Arum untuk mempertanyakan kelanjutan Padepokan itu. Pagi kemarin, saat ditelepon, kata sang penunggu rumah, Karen sedang berbelanja ke Kota Malang. Wanita disaluran telepon itu meminta Malang Post menelepon kembali sore hari saja. Ibu sedang ke Kota kelihatannya mengantar putrinya belanja, ujarnya.
Sekitar pukul 06.30 WIB malam, saluran telepon di Padepokan Mangun Dharmo kembali dihubungi. Di ujung saluran terdengar suara gadis cilik dengan logat bahasa Indonesia terbata-bata. Suara centil itu hampir mirip nada bicara artis Cinta Laura.
Siapha, oh dari Malang Post, sebentyar, Mami..mami ada telepon dari Malang Post, teriak suara yang sepertinya dimiliki gadis cilik.
Tak berapa lama, suara wanita yang amat merdu terdengar di ujung saluran telepon.
Dalam bahasa jawa halus, suara yang ternyata milik Karen Elizabeth SekarArum itu meminta maaf. Dia tak bisa berkomentar soal Padepokan Mangun Dharmo, dia tampak angkat tangan.
Padepokan lagi krisis, saya tidak bisa lagi, tolong ya, maaf saya lelah, mau mandi dulu, kata Karen kepada Malang Post langsung menutup saluran.
Meski singkat, pernyataan Karen itu menunjukkan betapa seriusnya masalah yang tengah dihadapi pemilik Padepokan. Asal tahu saja, sejak berdiri, Mangun Dharmo memberikan tujuh pelajaran seni tradisi. Antara lain ilmu pedalangan, seni tari, karawitan, mocopat, kerajinan topeng, wayang kulit dan batik.
Pelajaran batik diberikan Karen Elizabeth, saya pegang pedalangan, kerajinan wayang kulit dan kerajinan topeng. Sementara ini wayang kami pindah ke Turen dan Blitar, aku Ki Soleh Adi Pramono.
Prahara tampaknya memang menimpa siapa saja, tak pandang bulu, tak kenal batas. Soleh mengaku, sejak dulu manajemen Mangun Dharmo telah diatur oleh Karen Elizabeth. Padepokan itu kini telah dimiliki secara kolektif oleh warga Kemulan dan Tumpang.
Dulu membangun padepokan itu dikerjakan secara gugur gunung oleh warga per RT. Bagaimanapun juga Padepokan ini harus tetap ada, tukas Soleh sambil menerawang. (bagus ary wicaksono/malangpost)
Spoiler for Sinden:
Spoiler for Manis:
Spoiler for Cakep:
Spoiler for 1:
Spoiler for 2:
Spoiler for 3:
Spoiler for 4:
Spoiler for 5:
Spoiler for 6:
Spoiler for 7:
Spoiler for 8:
Spoiler for 9:
Spoiler for 10:
Spoiler for 11:
Spoiler for 12:
Spoiler for 13:
Spoiler for Mirip Komeng:
Spoiler for video:
Sumber
Sumber
Lanjut di bawah
0
3.5K
Kutip
16
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan