- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
KISAH TUKANG BECAK NAIK HAJI...


TS
alwymuhammad
KISAH TUKANG BECAK NAIK HAJI...


25 Tahun Menabung, Tukang Becak Naik Haji
Quote:
Warga Rw 02 Rt 02 Kelurahan Pabean Pekalongan Utara, Tholib (53) alias Carub yang berprofesi tukang becak, berhasil mengumpulkan uang selama 25 tahun, hingga mencapai Rp 42 juta lebih untuk berangkat ke Tanah Suci.
NIAT sepasang suami istri, Carub dan Castin untuk berangkat suci bakal kesampaian, pasalnya pria yang keseharianya menjadi tukang becak dan biasa mangkal di Stasiun Kereta Api Kota Pekalongan itu akan berangkat haji, Sabtu (30/10) besok.
Selama menjadi tukang becak dari tahun 1980-an hingga sekarang, Carub mengaku setiap hari mangkal di beberapa tempat untuk untuk menunggu pelanggannya.
Sementara setiap hari ia berangkat pukul 07.00 sampai menjelang sholat Dzuhur ia pulang kerumah untuk menunaikan sholat.
Sekitar pukul 13.00 ia berangkat kembali sampai mendapatkan uang untuk mencukupi kenutuhan keluarga dan menabung, namun kalau belum mendapatkan uang, ia rela pulang sampai pagi hari dan tidur di becak.
Pria yang dikaruniai 6 orang anak dan semua lulus Madrasah Diniyah itu, setiap hari menabung yang disesuaikan dengan penghasilan dari mendorong becak.
Kalau satu hari ia biasanya menyisihkan setengahnya, apabila mendapat uang Rp 20 ribu maka yang ditabungkan Rp 5 ribu hingga Rp 10 ribu, dan sisanya untuk kebutuhan keluarga. Saat mendapatkan uang sedikit, ia rela makan seadanya.
Ia menabung disebuah kotak, setelah terkumpul hingga Rp 1 juta atau lebih, ia menabungkan di bank, dan sekitar sudah terkumpul hingga Rp 21 juta ia baru mendaftarkan untuk naik haji pada tahun 2008 dan untuk mencapai Rp 42 juta ia mengikuti arisan bersama tetangga, satu minggu Rp 50 ribu dan mendapat jutaan.
“Saya mengumpulkan uang sudah ada 25 tahunan lebih disebuah kotak, hasil menjadi tukang becak, setiap hari kadang Rp 5 ribu, hingga Rp 20 ribu, dan itu semua awalnya saya berkhayal untuk naik haji. Namun dengan menyisihkan uang itu setiap hari akhirnya kami bisa berangkat ke Tanah Suci untuk memenuhi rukun ke 5 sebagai umat Islam, sekaligus napak tilas Kanjeng Nabi Muhammad,” ungkapnya.
Rencananya, saat akan berangkat akan dikawal oleh petugas Kepolisian dan diiring oleh ratusan tukang becak dan terbangan dari rumah sampai ke pelataran Pemkot.
NIAT sepasang suami istri, Carub dan Castin untuk berangkat suci bakal kesampaian, pasalnya pria yang keseharianya menjadi tukang becak dan biasa mangkal di Stasiun Kereta Api Kota Pekalongan itu akan berangkat haji, Sabtu (30/10) besok.
Selama menjadi tukang becak dari tahun 1980-an hingga sekarang, Carub mengaku setiap hari mangkal di beberapa tempat untuk untuk menunggu pelanggannya.
Sementara setiap hari ia berangkat pukul 07.00 sampai menjelang sholat Dzuhur ia pulang kerumah untuk menunaikan sholat.
Sekitar pukul 13.00 ia berangkat kembali sampai mendapatkan uang untuk mencukupi kenutuhan keluarga dan menabung, namun kalau belum mendapatkan uang, ia rela pulang sampai pagi hari dan tidur di becak.
Pria yang dikaruniai 6 orang anak dan semua lulus Madrasah Diniyah itu, setiap hari menabung yang disesuaikan dengan penghasilan dari mendorong becak.
Kalau satu hari ia biasanya menyisihkan setengahnya, apabila mendapat uang Rp 20 ribu maka yang ditabungkan Rp 5 ribu hingga Rp 10 ribu, dan sisanya untuk kebutuhan keluarga. Saat mendapatkan uang sedikit, ia rela makan seadanya.
Ia menabung disebuah kotak, setelah terkumpul hingga Rp 1 juta atau lebih, ia menabungkan di bank, dan sekitar sudah terkumpul hingga Rp 21 juta ia baru mendaftarkan untuk naik haji pada tahun 2008 dan untuk mencapai Rp 42 juta ia mengikuti arisan bersama tetangga, satu minggu Rp 50 ribu dan mendapat jutaan.
“Saya mengumpulkan uang sudah ada 25 tahunan lebih disebuah kotak, hasil menjadi tukang becak, setiap hari kadang Rp 5 ribu, hingga Rp 20 ribu, dan itu semua awalnya saya berkhayal untuk naik haji. Namun dengan menyisihkan uang itu setiap hari akhirnya kami bisa berangkat ke Tanah Suci untuk memenuhi rukun ke 5 sebagai umat Islam, sekaligus napak tilas Kanjeng Nabi Muhammad,” ungkapnya.
Rencananya, saat akan berangkat akan dikawal oleh petugas Kepolisian dan diiring oleh ratusan tukang becak dan terbangan dari rumah sampai ke pelataran Pemkot.
32 Tahun demi Naik Haji
Quote:
Tidak semua sosok penarik becak berada dibawah garis kemiskinan dan kumuh. Haji Wahid (56),penarik becak, yang biasanya mangkal di kawasan Gunung Pereng Kec. Cihideung, Tasikmalaya, adalah sosok lain dari seorang penarik becak. Selain santun, Wahid ulet dan rajin menabung. Buah dari semua itu, ia bersama istrinya Hj. Siti Hujaenah, bisa menunaikan ibadah haji pada tahun 2004.”Saya bersyukur, karena dari hasil cucuran keringat ini, bisa naik haji dan menyekolahkan anak,” kata Hawid saat ditemui di Terminal Bus Tasikmalaya, Jumat (5/5).
Pada tahun 1972 Wahid memulai bekerja sebagai penarik becak di Gunung Pereng. Ia mendapatkan becaknya dari hasil kredit yang dibayarkannya setiap hari. “Waktu iu saya mencicil Rp 150,00/hari. Cicilan itu, saya bayar selama kurang lebih setahun,” kata warga Jl. Paseh Kota Tasikmalaya ini.
Lunas membayar becak, ayah tiga anak ini mulai menabung untuk membeli tanah buat tempat tinggalnya. Berkat kerja keras siang dan malam menarik becak, serta kedisiplinannya dalam menggunakan uang, ia mampu membeli tanah dan membangun rumah. “Sebagian dari hasil menarik becak, saya tabungkan untuk berbagai keperluan,” katanya.
Lalu ia kembali mengambil cicilan becak, dengan harapan bisa disewakan kepada rekan lainnya. Ternyata cara itu cukup menambah penghasilan bagi Wahid. Dari satu becak, lalu sampai akhirnya tahun ini, ia bisa memiliki 40 becak. “Di antaranya, 25 becak milik saya disewakan dengan tarif Rp 4.000,00/hari. Sisanya, saya kreditkan kepada orang lain,” ujarnya.
Ia juga berhasil menyekolahkan ketiga anaknya dengan baik. Anak pertama, Wawan lulusan Diploma 2, adiknya Eva jebolan SLTA. Si bungsu Dedi, masih sekolah di SMA.
Setelah merasa tabungan yang dikumpulkannya selama 30 tahun jumlahnya cukup, pada tahun 2003 ia mendaftarkan diri untuk berangkat haji beserta istrinya. Pada tahun 2004, Wahid bisa pergi ke tanah suci untuk menunaikan rukun Islam kelima. Perasannya, benar-benar bahagia karena sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan ia bisa pergi ke tanah suci.
Hingga kini sekarang Wahid yang rajin ibadah ini, tetap mengayuh becak. Sehari ia kadang mendapatkan Rp 10.000,00 hingga Rp 20.000,00. Tapi kadang dia juga sama sekali kosong. Tapi semua itu, dijalani dengan kesabaran, keuletan, dan kerja keras.
Pada tahun 1972 Wahid memulai bekerja sebagai penarik becak di Gunung Pereng. Ia mendapatkan becaknya dari hasil kredit yang dibayarkannya setiap hari. “Waktu iu saya mencicil Rp 150,00/hari. Cicilan itu, saya bayar selama kurang lebih setahun,” kata warga Jl. Paseh Kota Tasikmalaya ini.
Lunas membayar becak, ayah tiga anak ini mulai menabung untuk membeli tanah buat tempat tinggalnya. Berkat kerja keras siang dan malam menarik becak, serta kedisiplinannya dalam menggunakan uang, ia mampu membeli tanah dan membangun rumah. “Sebagian dari hasil menarik becak, saya tabungkan untuk berbagai keperluan,” katanya.
Lalu ia kembali mengambil cicilan becak, dengan harapan bisa disewakan kepada rekan lainnya. Ternyata cara itu cukup menambah penghasilan bagi Wahid. Dari satu becak, lalu sampai akhirnya tahun ini, ia bisa memiliki 40 becak. “Di antaranya, 25 becak milik saya disewakan dengan tarif Rp 4.000,00/hari. Sisanya, saya kreditkan kepada orang lain,” ujarnya.
Ia juga berhasil menyekolahkan ketiga anaknya dengan baik. Anak pertama, Wawan lulusan Diploma 2, adiknya Eva jebolan SLTA. Si bungsu Dedi, masih sekolah di SMA.
Setelah merasa tabungan yang dikumpulkannya selama 30 tahun jumlahnya cukup, pada tahun 2003 ia mendaftarkan diri untuk berangkat haji beserta istrinya. Pada tahun 2004, Wahid bisa pergi ke tanah suci untuk menunaikan rukun Islam kelima. Perasannya, benar-benar bahagia karena sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan ia bisa pergi ke tanah suci.
Hingga kini sekarang Wahid yang rajin ibadah ini, tetap mengayuh becak. Sehari ia kadang mendapatkan Rp 10.000,00 hingga Rp 20.000,00. Tapi kadang dia juga sama sekali kosong. Tapi semua itu, dijalani dengan kesabaran, keuletan, dan kerja keras.
Wahid bisa membuktikan bahwa penarik becak juga bisa hidup dengan baik
.
Pengalaman Haji: Menabung 39 tahun, Tukang Becak dan tukang Sayur Berangkat Haji.
Quote:
Modalnya sederhana, hemat, dan tekun.
WANITA berjilbab kembang-kembang itu melompat pelan. Pengemudi becak yang ditumpanginya, dengan napas kembang kempis, menyeka keringat yang berleleran di keningnya. Bercelana pendek dan bertopi koboi, Wamir, pengemudi becak itu, masuk ke pelataran kantor Departemen Agama Brebes, Jawa Tengah. Istrinya, wanita tua berjilbab tadi, mengekori. “Pak, pinten ongkosipun mangkat kaji tiyang kalih (Pak, saya mau naik haji, berapa ongkosnya berdua,)” kata Wamir kepada petugas urusan haji. Sesaat si petugas menakar tak yakin, lalu memberikan keterangan lengkap dan mengantarkannya ke bank.
Lelaki sepuh berumur 65 tahun itu mengarahkan becaknya ke bank. Uang sejumlah Rp 35.516.000 yang dibungkus kain pun berpindah tangan. “Saya sudah pasrah, uang itu untuk naik haji. Sekarang uang saya tinggal puluhan ribu saja,” lanjut Wamir usai membayar. Ditemani hujan rintik-rintik, pasangan itu pulang dengan senyum sumringah.
Wamir dan Suri’ah pantas gembira. Biaya memenuhi rukun Islam kelima itu didapatnya dari menggenjot becak dan menjual sayuran. Saban harinya, lelaki berperawakan kecil itu mangkal di pasar Brebes. Seusai salat subuh, bersama Suri’ah yang sudah siap dengan sayur dan bumbu masak dagangannya, mereka berangkat bersama. “Saya tak pernah ngoyo. Ada rezeki, alhamdulillah, dikumpulkan. Tak ada, ya berdoa dan berusaha,” kata Wamir. Tetangganya di Kampung Pasarbatang menyebut pasangan itu seperti mimi lan mintuna alias Romeo dan Juliet.
Padahal, sejak menikah pada 1950, kehidupan mereka amat miskin. Orangtuanya hanya mewariskan rumah kumuh. Maklum, orangtua Wamir hanya petani penggarap. Waktu melaju, hingga menapaki usia perkimpoian ke-10. Saat dikaruniai satu anak, Wamir berpikir untuk mengganti pekerjaan. Wamir mencari utangan untuk membeli sebuah becak seharga Rp 15.000.
Hari pertama mengayuh becak menjadi pengalaman menyakitkan buat Wamir. Dari pasar Brebes (kota) ke Tegal yang jaraknya sekitar 15 kilometer cuma dibayar Rp 10. Karena Wamir prigel dan ramah, dia cepat mendapat langganan. Selain pesaingnya masih sedikit, Wamir melengkapi becaknya dengan pelbagai aksesoris, macam lampu dan bel. “Berbeda dengan mencangkul yang hanya menggerakkan tangan dan badan, mbecak bergerak seluruh badan. Rasanya tulang mau patah-patah,” kenangnya. Obatnya murah, pijatan sayang sang istri.
Sampai suatu ketika, beberapa pekan lalu, Wamir dan Su’riah menyisakan waktunya selama tiga hari untuk menghitung uang yang disimpan di rumah. Masya Allah, jumlah uang yang terkumpul ada sekitar 35,5 juta. “Saat itu saya berpikir, wah ini untuk bangun rumah saja,” katanya. Tapi, istrinya marah-marah. “Dulu, kita kumpulin uang untuk naik haji. Rumah kan tak dibawa mati,” kata Suri’ah, mengingatkan suaminya.
Wamir terhenyak. Paginya, mereka sepakat mendaftar haji. Ternyata, masa pendaftaran sudah ditutup. Oleh tetangganya yang
kerja di sana, diberitahu akan ada pendaftaran susulan menunggu hitungan kuota provinsi Jawa Tengah. Harap-harap cemas menunggu, kabar dari Semarang pun tiba, jamaah Brebes bisa ditambah. “Kami mendaftar di urutan kedua,” kata Wamir dengan wajah cerah.
Kini, di rumahnya yang sederhana, hanya berisi satu set kursi lusuh, lemari, dan dipan, Wamir dan Su’riah -yang ditemani empat dari sepuluh cucunya- setiap malam mengaji, salat tahajud, dan salat taubat. Karena sibuk manasik haji, maka Wamir sementara stop mbecak.
WANITA berjilbab kembang-kembang itu melompat pelan. Pengemudi becak yang ditumpanginya, dengan napas kembang kempis, menyeka keringat yang berleleran di keningnya. Bercelana pendek dan bertopi koboi, Wamir, pengemudi becak itu, masuk ke pelataran kantor Departemen Agama Brebes, Jawa Tengah. Istrinya, wanita tua berjilbab tadi, mengekori. “Pak, pinten ongkosipun mangkat kaji tiyang kalih (Pak, saya mau naik haji, berapa ongkosnya berdua,)” kata Wamir kepada petugas urusan haji. Sesaat si petugas menakar tak yakin, lalu memberikan keterangan lengkap dan mengantarkannya ke bank.
Lelaki sepuh berumur 65 tahun itu mengarahkan becaknya ke bank. Uang sejumlah Rp 35.516.000 yang dibungkus kain pun berpindah tangan. “Saya sudah pasrah, uang itu untuk naik haji. Sekarang uang saya tinggal puluhan ribu saja,” lanjut Wamir usai membayar. Ditemani hujan rintik-rintik, pasangan itu pulang dengan senyum sumringah.
Wamir dan Suri’ah pantas gembira. Biaya memenuhi rukun Islam kelima itu didapatnya dari menggenjot becak dan menjual sayuran. Saban harinya, lelaki berperawakan kecil itu mangkal di pasar Brebes. Seusai salat subuh, bersama Suri’ah yang sudah siap dengan sayur dan bumbu masak dagangannya, mereka berangkat bersama. “Saya tak pernah ngoyo. Ada rezeki, alhamdulillah, dikumpulkan. Tak ada, ya berdoa dan berusaha,” kata Wamir. Tetangganya di Kampung Pasarbatang menyebut pasangan itu seperti mimi lan mintuna alias Romeo dan Juliet.
Padahal, sejak menikah pada 1950, kehidupan mereka amat miskin. Orangtuanya hanya mewariskan rumah kumuh. Maklum, orangtua Wamir hanya petani penggarap. Waktu melaju, hingga menapaki usia perkimpoian ke-10. Saat dikaruniai satu anak, Wamir berpikir untuk mengganti pekerjaan. Wamir mencari utangan untuk membeli sebuah becak seharga Rp 15.000.
Hari pertama mengayuh becak menjadi pengalaman menyakitkan buat Wamir. Dari pasar Brebes (kota) ke Tegal yang jaraknya sekitar 15 kilometer cuma dibayar Rp 10. Karena Wamir prigel dan ramah, dia cepat mendapat langganan. Selain pesaingnya masih sedikit, Wamir melengkapi becaknya dengan pelbagai aksesoris, macam lampu dan bel. “Berbeda dengan mencangkul yang hanya menggerakkan tangan dan badan, mbecak bergerak seluruh badan. Rasanya tulang mau patah-patah,” kenangnya. Obatnya murah, pijatan sayang sang istri.
Sampai suatu ketika, beberapa pekan lalu, Wamir dan Su’riah menyisakan waktunya selama tiga hari untuk menghitung uang yang disimpan di rumah. Masya Allah, jumlah uang yang terkumpul ada sekitar 35,5 juta. “Saat itu saya berpikir, wah ini untuk bangun rumah saja,” katanya. Tapi, istrinya marah-marah. “Dulu, kita kumpulin uang untuk naik haji. Rumah kan tak dibawa mati,” kata Suri’ah, mengingatkan suaminya.
Wamir terhenyak. Paginya, mereka sepakat mendaftar haji. Ternyata, masa pendaftaran sudah ditutup. Oleh tetangganya yang
kerja di sana, diberitahu akan ada pendaftaran susulan menunggu hitungan kuota provinsi Jawa Tengah. Harap-harap cemas menunggu, kabar dari Semarang pun tiba, jamaah Brebes bisa ditambah. “Kami mendaftar di urutan kedua,” kata Wamir dengan wajah cerah.
Kini, di rumahnya yang sederhana, hanya berisi satu set kursi lusuh, lemari, dan dipan, Wamir dan Su’riah -yang ditemani empat dari sepuluh cucunya- setiap malam mengaji, salat tahajud, dan salat taubat. Karena sibuk manasik haji, maka Wamir sementara stop mbecak.
[URL="Sumber : [url]http://izzimedia.com/kisah-inspiratif-tukang-becak-naik-haji/[/url] "]SUMBER[/URL]
masih merasa g mampu gan untuk melakukan semua usaha itu.....silahkan jd bahan perenungan kita semua

Quote:
Sekian Informasi Tentang
KISAH TUKANG BECAK NAIK HAJI...
Semoga Menambah Wawasan Agan / Sista..
Jangan Lupa Memberikan



Untuk Thread Ini
Kalo Berkenan



Diubah oleh alwymuhammad 11-11-2012 19:12
0
4.1K
Kutip
23
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan