

TS
andrianjati
Puisi Esai (Berbagi dalam Cerita)
Izinkan aku berbagi cerita dalam sebuah tulisan. Aku belum bisa berbagi harta dengan kalian, karena aku bukan hartawan. Aku hanya orang jalanan yang ingin berbagi cerita dan pengalaman. Cerita tentang keindahan.....
[1]
Langit sudah dipenuhi dengan warna hitam,
Saat aku masih melintasi jalan setapak yang mulai menurun,
Ujung jalan ini tetap belum terlihat
Hanya keyakinan dalam hati yang membuatku tetap teguh,
Rimbun dedaunan di sebelah kanan dan terjal jurang disisi lain
Setia menemaniku yang sedang bermandikan peluh
Peluh yang menjadi dingin karena resapan angin
Peluh yang membuatku menggigil, namun tetap setia menghangatkan tubuh
Aroma lembab dari semak belukar menusuk hidungku
Membuat suasana seketika menjadi mistis
Tak ada cahaya yang kulihat selain kilatan lampu senter
Tak ada gemerlapan seperti kota metropolitan kecuali pesta-pesta kecil dunia lain
Pesta dari wajah-wajah yang tak pernah dan tak ingin ku kukenal
Sesekali terdapat pohon melintang yang menghadang
Membuatku harus menunduk ataupun melompat saat melangkah
Adapula pula ranting-ranting yang rimbun membentuk lorong
Membuatku serasa berjalan di sidrin qolil-nya negeri Saba
Lelahku kini semakin menyiksa,
Beban di pundak terasa semakin bertambah banyak,
Ingin aku melangkah lebih cepat, tapi aku harus menunggu kawanku yang terlambat
Ternyata disinilah alam memberiku ujian,
Ujian tentang menjaga kesetiaan,
Kesetiaan terhadap kawan maupun orang yang baru ku kenal,
Karena sejatinyalah kita ini makhluk sosial,
Yang tak bisa lepas dari kebahagiaan dan penderitaan orang lain
Serta tak bisa menjalani hidup ini sendiri
Samar-samar kulihat cahaya lampu jauh disana
Aku yakin, itu lampu pendaki lain yang beristirahat disana
Cahayanya terpantulkan oleh air ranu kumbolo yang jernih
Membangkitkan semangat dalam lirih, menghilangkan letih
Kuajak yang lain mengikutiku, mempercepat langkah
Tak sampai 10 menit, pos terakhir terlewati, masih satu kilometer lagi
Rintihan Rizky di tengah turunan bukit yang terjal membuatku terperangah
Kakinya kram, aku tak bisa membiarkannya merintih sendiri
Kupersilahkan yang lainnya untuk jalan terlebih dahulu,
Karena aku melihat ada yang mau naik di bawah sana
Sementara aku tetap disini menemani Rizki dan membantu sebisaku
Karena memang aku tak mengerti prosedur pertolongan pertama
Akhirnya kuputuskan memaksa Rizki berjalan dengan kaki yang timpang
Ransel dipundaknya kini beralih di lenganku yang kering kerontang
Memang berat, tapi aku harus mengambil keputusan
Setidaknya dia bisa berjalan dengan tanpa beban
Di akhir turunan ini, kita sampai di Ranu Kumbolo
Kita sudah bisa menikmati sejuk airnya
Menikmati dingin belaian kabutnya
Sejenak menitipkan lelah yang tertumpuk ditepiannya
Namun, ini bukan tempat terbaik untuk menikmati mentari pagi di Ranu Kumbolo
Turis dari Jepang dan Malaysia bertanya
Ku jawab, yang terbaik ada di balik bukit sana
Di balik bukit, dan kita harus mendaki untuk menikmatinya
Aku dan Rizki sudah bersama dengan yang lainnya
Kini aku putuskan untuk jalan terlebih dahulu, kutitipkan Rizki pada mereka
Bebanku menjadi dua ransel, dan aku harus cepat
Satu ransel tetap dipundak, yang lain ku kalungkan di lengan
Saat menatap jalan yang menanjak, ah tak apalah, tinggal sebentar saja
Kini aku berjalan sendiri di depan, tak ada kawan
Hanya bintang yang bertaburan bersama ribuan wajah asing yang menjadi teman dalam diam
Wangi edelweiss terasa manis, merasuk hingga ke dalam jiwa
Memberikan kesejukan yang tak terlukis indahnya, disaat nafasku mulai tersengal
Akhirnya semua perjuangan ini terbayar oleh tempat yang telah dijanjikan
Tempat yang tak diragukan lagi keindahannya
Tempat berkumpulnya para pengembara, berbagi cerita
Salah satu jamuan Tuhan kepada orang-orang yang berkelana
Orang-orang yang rela meninggalkan kenyamanan
Demi melihat secuil keindahan dan mencari makna kehidupan
Kulepaskan jaket yang menyelimuti tubuh, menuju ke tepian
Kupejamkan mata dengan tangan yang membentang
Mencoba meresapi setiap hembusan angin bersama kabut yang membawa dingin
Ku biarkan mereka melewati pori-pori, menghujam tulang dan sendi-sendi
Ku nikmati setiap sayatannya yang telah memberiku arti
Tak terasa aku telah terhanyut dalam merdu kesunyian malam
Di bawah langit yang penuh bintang
[ / ]
[2]
Kedatangan teman-teman menghentikan percumbuanku dengan alam
Secepatnya tenda harus didirikan, karena dingin mulai menampakkan kuasanya
Disini, pembagian jatah kerja harus jelas
Siapa yang memasak, siapa yang membangun tenda
Semua harus terorganisir dengan rapi dan cepat
Agar semua perut bisa terisi dan lekas beristirahat
Ditengah kepungan hawa dingin
Bertemankan secangkir kopi penghangat diri
Aku berbincang bersama kawan, berbicara tentang malam yang sunyi
Bercerita tentang keindahan, sejenak melupakan penat yang tersimpan
Lelah yang kurasa mulai mereda,
Perut sudah cukup terisi dengan ransum kesayangan pendaki
Meski sedikit bercampur dengan tanah
Tak mengapalah, anggap saja sebagai pengganti bumbu-bumbu di rumah
Semua prinsip tentang keamanan dan aturan pengolahan pangan tak lagi berlaku disini
Yang ada pilih makan atau mati
Jika kau makan, maka kau akan bertahan
Jika tak kau makan, maka kau akan mati secara perlahan
Ketika kita bisa memahami apa yang sedang terjadi, maka kita akan mengerti
Persoalan tentang makan selintas terlihat biasa
Namun ternyata, dia telah mengajari kita tentang rasa syukur
Bersyukur dengan apa yang telah Tuhan berikan kepada kita
Bersyukur masih ada bahan bakar yang bisa menjalankan metabolisme tubuh ini
Suasana hening menjadi semakin mencekam
Perlahan kucoba memaksa mata ini terpejam
Pikiran melayang jauh menuju masa depan yang masih suram
Kembali mengingatkanku dengan seseorang
Seorang kawan dari Surabaya yang kutemui di Ranu Pane
yang dulu pernah menjadi anggota tim SAR
Dia juga pernah mengevakuasi ilmuwan Jerman yang mati terpanggang
Tersengat oleh panasnya batu dari perut bumi yang di disaksikan oleh para dewa
Aku tak sengaja bertemu dengannya, bersama istri dan anak lelakinya
Nuansa keluarga yang indah, pikirku
Namun sayang beliau belum bisa ikut pendakian lagi
Insya Allah kalau sikecil sudah 10 tahun, katanya
Semua yang diceritakannya membuat hasratku semakin menggebu
Aku ingin mengajak anakku berlarian bersama alam, sambil bernyanyi
Nyanyian yang bercerita tentang kerinduan seorang anak jalanan
Untuk menemukan sebutir mutiara harapan yang masih tersimpan
Rapi di dalam kamus-kamus kehidupan
Matahari masih belum bisa kuajak berdiskusi
Impian dan harapan masih tetap melekat disini
Lekat dengan erat di dalam sanubari
Aku teringat tentang cerita masa lalu
Dongeng dari ibu yang menemani tidurku
Isapan jempol para orang tua yang kupercaya dengan lugu
Ya, itulah indahnya masa lalu
Aku hanya bisa mengenangnya dengan tersenyum
Hanya itu yang kuingat hingga aku terlelap dipangkuan dewi bulan
[ / ]
[3]
Langit biru membentang luas diatas sana
Terlihat awan tipis menghiasinya
Padang Oro-oro ombo telah menjelang
Bersama lambaian daun-daun di Cemara Kandang
Masih tersisa nafas yang terbata saat mendaki bukit cinta
Sebongkah harapan terpatri di dalam dada
Di punggung cinta, kutatap gagah Mahameru yang sedang melirik disana
Menatap dan menikmati penderitaan para tamunya
Lembut suara angin membelai pohon-pohon cemara
Gumpalan awan terlihat begitu dekat, seakan aku bisa meraihnya
Lelah tubuh ini kusandarkan dalam dingin
Menatap lekuk bukit yang berbaris rapi, melindungiku dari angin
Sungguh Engkaulah Maha Pengasih
Padang ilalang di depanku sungguh sangat luas
Tak salah jika ini dinamai Oro-oro Ombo
Mereka semua tampak mengering hingga aku tak bisa melihat hijaunya
Suatu saat nanti aku ingin kembali, saat mereka mulai meroyo
Aku menghilang ditengah ilalang
Hingga tiba di pintu masuk Cemara Kandang
Hutan yang dipenuhi dengan pohon cemara, tak jarang membuat para pendaki linglung
Bingung oleh jalan setapak dan pohon-pohon yang terlihat serupa
Salawat kepada Nabi tak henti terucap dari bibirku yang kering
Berharap sebuah kekuatan dan ketenangan melalui hutan ini
Karena aku tak tahu apa yang akan terjadi
Jalur ini masih terus saja mendaki
Gunung ini harus terlampaui agar aku sampai di Kalimati
Sesekali kulihat mawar hutan dan strawberi di semak berduri
Menemani perjalanku dalam sepi
Didepan kulihat tempat yang cocok untuk istirahat
Tempat ini kulihat aneh, tak seperti yang lainnya, banyak kerikil disini
Apa ini bekas tambang yang pernah dibicarakan?
Dan mengapa pula disini banyak sampah bertebaran
Sungguh sangat disayangkan
Perilaku manusia yang tak menghargai alam
Mereka mau keindahannya, tapi tak mau ikut menjaganya
Pikiranku terbang, menyusun kata persembahan untuk alam
Aku disini memenuhi titah Tuhan-ku
Meski tak suka aku tetap setia, karena titah Tuhan-ku
Aku ingin seperti kalian, berada dimanapun sesuka hatimu
Ya sudahlah... Aku tak bisa melanggar titah Tuhan-ku
Aku tetap bersyukur meski tak bisa berkelana seperti kalian
Aku bahagia melihat wajah yang berganti setiap waktu
Aku gembira melihat kepuasan dari sorot matamu atas keindahan
Keindahan yang Tuhan titipkan padaku
Seperti kamu, aku bisa bahagia, juga bisa bersedih
Aku bahagia karenamu, aku bersedih juga karenmu
Semua yang kalian lakukan aku terima dengan lapang
Aku tak bisa marah, kecuali atas kehendak Tuhan-ku
Sering aku menangguhkan perintah Tuhan-ku karena aku sayang
Aku sayang dan tak ingin menyakitimu
Maaf, aku tak bisa terus menghindar dari titah Tuhan-ku
Saat itu aku memohon pada Tuhan-ku
Biarlah aku memberikanmu pertanda
Sebelum kulaksanakan perintah Tuhan yang sesungguhnya
Kawan, sungguh aku mencintaimu
Tolong jangan sakiti aku dengan tingkah lakumu
Aku tak ingin kau binasa karena aku
Aku setia padamu dan titah Tuhan-ku
Begitulah kira-kira jika alam bisa berkata
Sayangnya kita tak pernah mengerti perkataannya
Yang bisa kita lakukan hanyalah menjaganya
Agar anak cucu kita bisa ikut mencumbuinya
[ / ]
[1]
Langit sudah dipenuhi dengan warna hitam,
Saat aku masih melintasi jalan setapak yang mulai menurun,
Ujung jalan ini tetap belum terlihat
Hanya keyakinan dalam hati yang membuatku tetap teguh,
Rimbun dedaunan di sebelah kanan dan terjal jurang disisi lain
Setia menemaniku yang sedang bermandikan peluh
Peluh yang menjadi dingin karena resapan angin
Peluh yang membuatku menggigil, namun tetap setia menghangatkan tubuh
Aroma lembab dari semak belukar menusuk hidungku
Membuat suasana seketika menjadi mistis
Tak ada cahaya yang kulihat selain kilatan lampu senter
Tak ada gemerlapan seperti kota metropolitan kecuali pesta-pesta kecil dunia lain
Pesta dari wajah-wajah yang tak pernah dan tak ingin ku kukenal
Sesekali terdapat pohon melintang yang menghadang
Membuatku harus menunduk ataupun melompat saat melangkah
Adapula pula ranting-ranting yang rimbun membentuk lorong
Membuatku serasa berjalan di sidrin qolil-nya negeri Saba
Lelahku kini semakin menyiksa,
Beban di pundak terasa semakin bertambah banyak,
Ingin aku melangkah lebih cepat, tapi aku harus menunggu kawanku yang terlambat
Ternyata disinilah alam memberiku ujian,
Ujian tentang menjaga kesetiaan,
Kesetiaan terhadap kawan maupun orang yang baru ku kenal,
Karena sejatinyalah kita ini makhluk sosial,
Yang tak bisa lepas dari kebahagiaan dan penderitaan orang lain
Serta tak bisa menjalani hidup ini sendiri
Samar-samar kulihat cahaya lampu jauh disana
Aku yakin, itu lampu pendaki lain yang beristirahat disana
Cahayanya terpantulkan oleh air ranu kumbolo yang jernih
Membangkitkan semangat dalam lirih, menghilangkan letih
Kuajak yang lain mengikutiku, mempercepat langkah
Tak sampai 10 menit, pos terakhir terlewati, masih satu kilometer lagi
Rintihan Rizky di tengah turunan bukit yang terjal membuatku terperangah
Kakinya kram, aku tak bisa membiarkannya merintih sendiri
Kupersilahkan yang lainnya untuk jalan terlebih dahulu,
Karena aku melihat ada yang mau naik di bawah sana
Sementara aku tetap disini menemani Rizki dan membantu sebisaku
Karena memang aku tak mengerti prosedur pertolongan pertama
Akhirnya kuputuskan memaksa Rizki berjalan dengan kaki yang timpang
Ransel dipundaknya kini beralih di lenganku yang kering kerontang
Memang berat, tapi aku harus mengambil keputusan
Setidaknya dia bisa berjalan dengan tanpa beban
Di akhir turunan ini, kita sampai di Ranu Kumbolo
Kita sudah bisa menikmati sejuk airnya
Menikmati dingin belaian kabutnya
Sejenak menitipkan lelah yang tertumpuk ditepiannya
Namun, ini bukan tempat terbaik untuk menikmati mentari pagi di Ranu Kumbolo
Turis dari Jepang dan Malaysia bertanya
Ku jawab, yang terbaik ada di balik bukit sana
Di balik bukit, dan kita harus mendaki untuk menikmatinya
Aku dan Rizki sudah bersama dengan yang lainnya
Kini aku putuskan untuk jalan terlebih dahulu, kutitipkan Rizki pada mereka
Bebanku menjadi dua ransel, dan aku harus cepat
Satu ransel tetap dipundak, yang lain ku kalungkan di lengan
Saat menatap jalan yang menanjak, ah tak apalah, tinggal sebentar saja
Kini aku berjalan sendiri di depan, tak ada kawan
Hanya bintang yang bertaburan bersama ribuan wajah asing yang menjadi teman dalam diam
Wangi edelweiss terasa manis, merasuk hingga ke dalam jiwa
Memberikan kesejukan yang tak terlukis indahnya, disaat nafasku mulai tersengal
Akhirnya semua perjuangan ini terbayar oleh tempat yang telah dijanjikan
Tempat yang tak diragukan lagi keindahannya
Tempat berkumpulnya para pengembara, berbagi cerita
Salah satu jamuan Tuhan kepada orang-orang yang berkelana
Orang-orang yang rela meninggalkan kenyamanan
Demi melihat secuil keindahan dan mencari makna kehidupan
Kulepaskan jaket yang menyelimuti tubuh, menuju ke tepian
Kupejamkan mata dengan tangan yang membentang
Mencoba meresapi setiap hembusan angin bersama kabut yang membawa dingin
Ku biarkan mereka melewati pori-pori, menghujam tulang dan sendi-sendi
Ku nikmati setiap sayatannya yang telah memberiku arti
Tak terasa aku telah terhanyut dalam merdu kesunyian malam
Di bawah langit yang penuh bintang
[ / ]
[2]
Kedatangan teman-teman menghentikan percumbuanku dengan alam
Secepatnya tenda harus didirikan, karena dingin mulai menampakkan kuasanya
Disini, pembagian jatah kerja harus jelas
Siapa yang memasak, siapa yang membangun tenda
Semua harus terorganisir dengan rapi dan cepat
Agar semua perut bisa terisi dan lekas beristirahat
Ditengah kepungan hawa dingin
Bertemankan secangkir kopi penghangat diri
Aku berbincang bersama kawan, berbicara tentang malam yang sunyi
Bercerita tentang keindahan, sejenak melupakan penat yang tersimpan
Lelah yang kurasa mulai mereda,
Perut sudah cukup terisi dengan ransum kesayangan pendaki
Meski sedikit bercampur dengan tanah
Tak mengapalah, anggap saja sebagai pengganti bumbu-bumbu di rumah
Semua prinsip tentang keamanan dan aturan pengolahan pangan tak lagi berlaku disini
Yang ada pilih makan atau mati
Jika kau makan, maka kau akan bertahan
Jika tak kau makan, maka kau akan mati secara perlahan
Ketika kita bisa memahami apa yang sedang terjadi, maka kita akan mengerti
Persoalan tentang makan selintas terlihat biasa
Namun ternyata, dia telah mengajari kita tentang rasa syukur
Bersyukur dengan apa yang telah Tuhan berikan kepada kita
Bersyukur masih ada bahan bakar yang bisa menjalankan metabolisme tubuh ini
Suasana hening menjadi semakin mencekam
Perlahan kucoba memaksa mata ini terpejam
Pikiran melayang jauh menuju masa depan yang masih suram
Kembali mengingatkanku dengan seseorang
Seorang kawan dari Surabaya yang kutemui di Ranu Pane
yang dulu pernah menjadi anggota tim SAR
Dia juga pernah mengevakuasi ilmuwan Jerman yang mati terpanggang
Tersengat oleh panasnya batu dari perut bumi yang di disaksikan oleh para dewa
Aku tak sengaja bertemu dengannya, bersama istri dan anak lelakinya
Nuansa keluarga yang indah, pikirku
Namun sayang beliau belum bisa ikut pendakian lagi
Insya Allah kalau sikecil sudah 10 tahun, katanya
Semua yang diceritakannya membuat hasratku semakin menggebu
Aku ingin mengajak anakku berlarian bersama alam, sambil bernyanyi
Nyanyian yang bercerita tentang kerinduan seorang anak jalanan
Untuk menemukan sebutir mutiara harapan yang masih tersimpan
Rapi di dalam kamus-kamus kehidupan
Matahari masih belum bisa kuajak berdiskusi
Impian dan harapan masih tetap melekat disini
Lekat dengan erat di dalam sanubari
Aku teringat tentang cerita masa lalu
Dongeng dari ibu yang menemani tidurku
Isapan jempol para orang tua yang kupercaya dengan lugu
Ya, itulah indahnya masa lalu
Aku hanya bisa mengenangnya dengan tersenyum
Hanya itu yang kuingat hingga aku terlelap dipangkuan dewi bulan
[ / ]
[3]
Langit biru membentang luas diatas sana
Terlihat awan tipis menghiasinya
Padang Oro-oro ombo telah menjelang
Bersama lambaian daun-daun di Cemara Kandang
Masih tersisa nafas yang terbata saat mendaki bukit cinta
Sebongkah harapan terpatri di dalam dada
Di punggung cinta, kutatap gagah Mahameru yang sedang melirik disana
Menatap dan menikmati penderitaan para tamunya
Lembut suara angin membelai pohon-pohon cemara
Gumpalan awan terlihat begitu dekat, seakan aku bisa meraihnya
Lelah tubuh ini kusandarkan dalam dingin
Menatap lekuk bukit yang berbaris rapi, melindungiku dari angin
Sungguh Engkaulah Maha Pengasih
Padang ilalang di depanku sungguh sangat luas
Tak salah jika ini dinamai Oro-oro Ombo
Mereka semua tampak mengering hingga aku tak bisa melihat hijaunya
Suatu saat nanti aku ingin kembali, saat mereka mulai meroyo
Aku menghilang ditengah ilalang
Hingga tiba di pintu masuk Cemara Kandang
Hutan yang dipenuhi dengan pohon cemara, tak jarang membuat para pendaki linglung
Bingung oleh jalan setapak dan pohon-pohon yang terlihat serupa
Salawat kepada Nabi tak henti terucap dari bibirku yang kering
Berharap sebuah kekuatan dan ketenangan melalui hutan ini
Karena aku tak tahu apa yang akan terjadi
Jalur ini masih terus saja mendaki
Gunung ini harus terlampaui agar aku sampai di Kalimati
Sesekali kulihat mawar hutan dan strawberi di semak berduri
Menemani perjalanku dalam sepi
Didepan kulihat tempat yang cocok untuk istirahat
Tempat ini kulihat aneh, tak seperti yang lainnya, banyak kerikil disini
Apa ini bekas tambang yang pernah dibicarakan?
Dan mengapa pula disini banyak sampah bertebaran
Sungguh sangat disayangkan
Perilaku manusia yang tak menghargai alam
Mereka mau keindahannya, tapi tak mau ikut menjaganya
Pikiranku terbang, menyusun kata persembahan untuk alam
Aku disini memenuhi titah Tuhan-ku
Meski tak suka aku tetap setia, karena titah Tuhan-ku
Aku ingin seperti kalian, berada dimanapun sesuka hatimu
Ya sudahlah... Aku tak bisa melanggar titah Tuhan-ku
Aku tetap bersyukur meski tak bisa berkelana seperti kalian
Aku bahagia melihat wajah yang berganti setiap waktu
Aku gembira melihat kepuasan dari sorot matamu atas keindahan
Keindahan yang Tuhan titipkan padaku
Seperti kamu, aku bisa bahagia, juga bisa bersedih
Aku bahagia karenamu, aku bersedih juga karenmu
Semua yang kalian lakukan aku terima dengan lapang
Aku tak bisa marah, kecuali atas kehendak Tuhan-ku
Sering aku menangguhkan perintah Tuhan-ku karena aku sayang
Aku sayang dan tak ingin menyakitimu
Maaf, aku tak bisa terus menghindar dari titah Tuhan-ku
Saat itu aku memohon pada Tuhan-ku
Biarlah aku memberikanmu pertanda
Sebelum kulaksanakan perintah Tuhan yang sesungguhnya
Kawan, sungguh aku mencintaimu
Tolong jangan sakiti aku dengan tingkah lakumu
Aku tak ingin kau binasa karena aku
Aku setia padamu dan titah Tuhan-ku
Begitulah kira-kira jika alam bisa berkata
Sayangnya kita tak pernah mengerti perkataannya
Yang bisa kita lakukan hanyalah menjaganya
Agar anak cucu kita bisa ikut mencumbuinya
[ / ]
0
1.1K
1
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan