http://www.pikiran-rakyat.com/node/208186
Quote:
Jabar Rajin Keluarkan Perda Diskriminatif
Minggu, 21/10/2012 - 15:11
BANDUNG, (PRLM).- Provinsi Jawa Barat menduduki peringkat pertama sebagai daerah yang terbanyak mengeluarkan kebijakan diskriminatif. Berdasarkan kajian Komisi Nasional (Komnas) Perempuan hingga Agustus 2012, terdapat 53 kebijakan diskriminatif yang tersebar di 9 kab/kota. Hal ini disampaikan Komisioner Komnas Perempuan Neng Dara Affiah dalam diskusi yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Komnas Perempuan di kantor Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jabar Jalan Malabar, Kota Bandung.
Berdasarkan daerahnya, kebijakan tersebut tersebar di Bandung (1), Bekasi (4), Bogor (4), Cianjur (8), Cilacap (1), Cirebon (2), Depok (1), Garut (3), Indramayu (3), tingkat provinsi (1), Karawang (1), Kuningan (1),Purwakarta (1), Sukabumi (11), Tasikmalaya (11). Kebijakan diskriminatif ini ada yang berkaitan dengan busana atau kontrol tubuh (6), kriminalisasi atau prostitusi (7), pembatasan kebebasan hak beragama (13), pencitraan atau politisasi identitas (24), tenaga kerja (3).
Komnas Perempuan menyerukan agar semua aturan diskriminatif segera dicabut. Neng mengatakan kebijakan yang diskriminatif bisa memporak-porandakan isu kebangsaan karena mendiskriminasi warga negaranya khususnya kelompok minoritas. Dalam hal ini, baik minoritas secara agama, etnis, dan kekuasaan. Sementara itu, sekalipun perempuan secara jumlah mayoritas tetapi secara kekuasaan, perempuan termasuk minoritas karena pengambil kebijakan sebagian besar laki-laki.
Padahal, seharusnya warga negara disampaikan Neng berhak memperoleh akses yang sama dengan warga negara lain yang hidup di Jabar ini. “Dampak negatif bagi perempuan minoritas, mereka kesulitan mendapat akses dibanding perempuan yang mayoritas. Misalnya sejauh mana aspirasi mereka terserap secara baik, karena sekarang sudah dikasi tanda misalnya mana yang pakai jilbab, mana yang tidak pakai jilbab. Yang tidak pakai jilbab misalnya dianggap kelompok liar dan diabaikan sedangkan yang mayoritas cukup dominan,” kata Neng.
Kebijakan yang diskriminatif dicontohkan dalam beberapa perda terkait prostitusi. Neng mengatakan perempuan dilarang melakukan praktik kerja sebagai prostitut tetapi mereka tidak diberikan akses yang layak untuk mendapat hak ekonomi seperti pekerjaan. Sehingga mereka tidak punya akses kehidupan. Pada sisi lain, Neng juga mengatakan perda yang dibuat pemerintah ini juga tidak berjalan karena implementasinya tidak terlihat.
Komnas Perempuan berharap peraturan daerah yang ada tidak boleh bertentangan dengan konstitusi seperti UUD 1945, yang menjadi payung hukum di Indonesia. Dalam UUD 1945 semua warga negara memperoleh hak yang sama dan dijamin kebebasan beragamanya. “Semua pasal dalam UU 1945 ini sangat tidak diskriminatif tetapi turunan-turunannya justru tidak sesuai lagi dengan payung hukumnya. Aturan-aturan yang ada justru menonjolkan kepercayaan agama tertentu,” kata Neng.
Komnas Perempuan saat ini bekerja sama dengan kementerian dalam negeri (kemendagri) dan kementerian hukum dan HAM (kemenkumham) agar menginstruksikan kepala daerah mencabut kebijakan yang diskriminatif. Meski begitu, Neng menyadari adanya otonomi daerah sering kali menghambat pemerintah pusat melakukan intervensi. Sementara itu, pemerintah daerah yang diingatkan akan kebijakan diskriminatif justru sering kali berkilah bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan sudah sesuai dengan prosedur.
Walau begitu, Neng juga mengatakan di Jabar juga terdapat 21 kebijakan kondusif bagi pemenuhan hak-hak konstitusional perempuan korban kekerasan atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan. Kebijakan ini terdiri dari 7 kebijakan terkait layanan perempuan korban kekerasan dan 14 kebijakan tentang anti perdagangan orang.
Semantara itu Anggota Divisi Perempuan AJI, Catur Ratna Wulandari juga mendorong para wartawan yang memproduksi berita dapat memberi pemahaman positif bagi masyarakat terkait pandangan terhadap perempuan. Pemberitaan selama ini menurutnya masih menggunakan istilah yang bias gender atau memunculkan stereotip negatif tentang perempuan. Untuk menghadapi kebijakan yang diskriminatif, wartawan diharapkan bekerja sesuai kode etik, bijak dalam memilih narasumber, dan memperhatikan diksi (pilihan kata) dengan menghindari pemberian label pada perempuan. (A-199/A-147)***
karunya... perempuan Jabar di kampungnya didiskriminasi, sudah gitu banyak yang terpaksa jadi TKI atau terjebak korban trafficking...
paling gampang memang mengatur-atur perempuan, daripada menghadapi masalah real ekonomi dan sosial.
Ini perlu dipikirkan warga Jawa Barat, terutama urang Sunda (termasuk saya), apakah selama ini kita berbudaya seperti itu terhadap perempuan? Ataukah ada pola pikir yang harus diubah dan diluruskan?
Jawa Barat juga menjelang pemilihan umum... Semoga siapapun yang terpilih bisa memperbaiki nasib kaum perempuan Jawa Barat. Secara objektif.