Beberapa bulan yang lalu, seorang teman di facebook memasang link tentang bapak tua penjual amplop di kompleks Masjid Salman ITB
http://rinaldimunir.wordpress.com/20...al-amplop-itu/. Tulisan di blog seorang dosen ITB tersebut mendapat respon luar biasa dari pembaca. Kisah tersebut telah menjadi pengingat kepada pembaca untuk lebih peduli pada lingkungan sekitar. Banyak pembaca yang merespon dengan membeli amplop dengan harga tinggi dan beberapa hendak memberi sumbangan kepada bapak tua tersebut.
Padahal kawan, bapak tua itu tidak sendirian, ia hanyalah salah satu contoh dari kisah hidup kaum marjinal. Selama ini kita tidak melihat mereka karena setiap hari kita hanya sibuk dengan kehidupan kita, sehingga kita kaget ketika membaca kisah tersebut. Jika anda mau sedikit saja peduli, maka pak tua-pak tua dalam bentuk yang lain akan begitu mudah ditemukan dalam perjalanan hidup anda sehari-hari. Cobalah sekali-kali anda berhenti berpikir tentang diri anda saja, dan pandanglah sekitar anda, mungkin dalam perjalanan pergi dan pulang kerja anda.
Dahulu semasa saya kuliah, suatu hari keisengan pikiran saya muncul ketika melihat perkembangan mini market di sekitar kampus Tembalang. Pikiran saya tercenung melihat pedagang kecil-kecilan yang mencoba bertahan dari gempuran mini market tersebut. Kehadiran mini market memang memanjakan para pembeli. Komplitnya barang, penataan barang yang teratur dan tempatnya yang bersih membuat kita lebih nyaman belanja disana.
Hingga suatu hari saya mengambil kesimpulan, ternyata tidak terlalu baik juga jika terus-terusan membeli di mini market. Sehingga untuk kebutuhan kecil saya yang bisa dipenuhi warung sekitar, saya utamakan membeli di warung tersebut. Waktu itu saya berpikir ini hanyalah rasa empati kepada mereka yang berjuang mencari rejeki dengan modal pas-pasan. Ini bukanlah pemikiran tentang idealisme, yah cuma sedikit rasa simpati kepada penjual kecil.
Selang beberapa waktu kemudian, dalam sebuah kegiatan organisasi kampus. Saya dan sang ketua organisasi kampus tengah dalam perjalanan dan hendak membeli barang untuk kebutuhan kegiatan organisasi. Saat berboncengan dan melewati sebuah mini market, sang ketua berkata kurang lebih begini terus saja, kita beli di depan itu sambil menunjuk warung gerobak di pinggir jalan supaya penyebaran rejekinya merata. Aha, ternyata saya tidak sendirian dalam rasa ini, sekali lagi ini bukanlah tentang idealisme, tapi langkah kecil untuk berbagi.
Kawan, di zaman individualis seperti ini semakin sulit rasanya melihat rasa empati, sehingga menemukan orang-orang dengan perasaan empati tulus menimbulkan rasa luar biasa di alam jiwa kita. Bagi orang yang selalu hidup berkecukupan, mungkin sulit untuk membayangkan bahwa mereka para pedagang kecil saat tertentu sedang membutuhkan rejeki segera, sehingga seribu-dua ribu rupiah sangat berati bagi mereka.
Percayalah kawan terkadang langkah kecil dan sepele yang kita ambil, bisa jadi saat itu menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi mereka. Sehingga ga usah muluk-muluk berpikiran idealis dengan berusaha dulu jadi orang sukses baru mau berbagi. Berbagilah dalam hal kecil sekalipun, yang penting bukan seberapa besar langkah yang kita ambil, tapi berapa banyak langkah yang anda ambil. Bukankah amal itu yang dituntut Ikhlasnya, bukan besarnya nilai nominal?
Teringat kembali penjual asongan di Terminal Tirtonadi itu "mas tulung wae mas, lemah teles gusti Allah seng mbales, setunggal ewu mawon nggih mboten menopo, kagem panguripan kulo."
Kalo berkenan kasih cendolnya gan, kalo g juga gpapa, ane lebih tertarik pada asas manfaat di kaskus. Tempat mencari informasi, diskusi dan berbagi banyak hal