- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Asal Usul kampung Laweyan (orang solo wajib masuk)
TS
fosil378
Asal Usul kampung Laweyan (orang solo wajib masuk)
Asal Usul Kampung Laweyan
Laweyan adalah salah satu sentral Batik di Solo. Kampung ini Tentunya ada banyak sekali sejarah yang tertinggal di kapung ini dan menjadi icon Batik Solo.
Batik merupakan hasil karya seni tradisional yang banyak ditekuni masyarakat Laweyan. Sejak abad ke-19 kampung ini sudah dikenal sebagai kampung batik. Itulah sebabnya kampung Laweyan pernah dikenal sebagai kampung juragan batik yang mencapai kejayaannya di era tahun 70-an. Menurut Alpha yang juga pengelola Batik Mahkota. Di kawasan Laweyan ada Kampung Laweyan, Tegalsari, Tegalayu, Batikan, dan Jongke, yang penduduknya banyak yang menjadi produsen dan pedagang batik, sejak dulu sampai sekarang. Di sinilah tempat berdirinya Syarekat Dagang Islam, asosiasi dagang pertama yang didirikan oleh para produsen dan pedagang batik pribumi, pada tahun 1912.
Bekas kejayaan para saudagar batik pribumi tempo doeloe yang biasa disebut Gal Gendhu ini bisa dilihat dari peninggalan rumah mewahnya. Di kawasan ini, mereka memang menunjukkan kejayaannya dengan berlomba membangun rumah besar yang mewah dengan arsitektur cantik.
Kawasan Laweyan dilewati Jalan Dr Rajiman, yang berada di poros Keraton Kasunanan Surakarta bekas Keraton Mataram di Kartasura. Dari Jalan Dr Rajiman ini, banyak terlihat tembok tinggi yang menutupi rumah-rumah besar, dengan pintu gerbang besar dari kayu yang disebut regol. Sepintas tak terlalu menarik, bahkan banyak yang kusam. Tapi begitu regol dibuka, barulah tampak bangunan rumah besar dengan arsitektur yang indah. Biasanya terdiri dari bangunan utama di tengah, bangunan sayap di kanan-kirinya, dan bangunan pendukung di belakangnya, serta halaman depan yang luas.
Dengan bentuk arsitektur, kemewahan material, dan keindahan ornamennya, seolah para raja batik zaman dulu mau menunjukkan kemampuannya untuk membangun istananya, meski dalam skala yang mini. Salah satu contoh yang bisa dilihat adalah rumah besar bekas saudagar batik yang terletak di pinggir Jalan Dr Rajiman, yang dirawat dan dijadikan homestay Roemahkoe yang dilengkapi restoran Lestari.Tentu saja tak semuanya bisa membangun istana yang luas, karena di kanan-kirinya adalah lahan tetangga yang juga membangun istana-nya sendiri-sendiri. Alhasil, kawasan ini dipenuhi dengan berbagai istana mini, yang hanya dipisahkan oleh tembok tinggi dan gang-gang sempit. Semangat berlomba membangun rumah mewah ini tampaknya mengabaikan pentingnya ruang publik. Jalan-jalan kampung menjadi sangat sempit. Terbentuklah banyak gang dengan lorong sempit yang hanya cukup dilewati satu orang atau sepeda motor.
Tapi di sinilah uniknya. Menelusuri lorong-lorong sempit di antara tembok tinggi rumah-rumah kuno ini sangat mengasyikkan. Kita seolah berjalan di antara monumen sejarah kejayaan pedagang batik tempo doeloe. Pola lorong-lorong sempit yang diapit tembok rumah gedongan yang tinggi semacam ini juga terdapat di kawasan Kauman, Kemlayan, dan Pasar Kliwon. Karena mengasyikkan, menelusuri lorong-lorong sejarah kejayaan Laweyan yang eksotis ini bisa menghabiskan waktu. Apalagi jika Anda melongok ke dalam, melihat isi dan keindahan ornamen semua istana di kawasan ini.
Tapi sayangnya satu per satu bangunan kuno yang berarsitektur cantik, hancur digempur zaman, digantikan ruko atau bangunan komersial baru yang arsitekturnya sama sekali tidak jelas. Pemerintah daerah setempat tak bertindak apa pun menghadapi kerusakan artefak sejarah ini. Bahkan bekas rumah Ketua Sarekat Dagang Islam H. Samanhoedi, yang seharusnya dilindungi sebagai saksi sejarah, sudah tidak utuh lagi, bagian depannya digempur habis. Bekas istana Mataram di Kartasura juga dibiarkan hancur berantakan.
Laweyan sendiri, berasal dari kata lawe, yakni serat-serat kapas halus yang merupakan bahan baku pembuatan kain mori. Kata Laweyan menunjukkan tempat dimana banyak benang lawe di sana.
Tapi, wajah Laweyan kini sudah tak semuram beberapa puluhan tahun silam. Popularitas batik yang kian meningkat, bahkan ke kalangan anak-anak baru gede dan remaja, membuat kebutuhan akan bahan batik terdongkrak pula. Dan Laweyan, kini mulai menggeliat. Bila hingga 2004 lalu hanya tersisa 11 usaha batik, kini sudah mencapai 60-an orang yang menghidupkan kembali usaha batik, khususnya batik cap dan batik tulis.
Laweyan memang memiliki sejarah tersendiri. Banyak sejarah tercatat di kampung ini. Selain telah menjadi sentra industri batik sejak Pajang 1546 M. Laweyan memiliki sejarah sebagai pusat kegiatan ekonomi. Situs Bandar Kabanaran dan bekas Pasar Laweyan, membuktikan Laweyan sebagai kawasan perdagangan.
Keberadaan masjid tua, menunjukan Laweyan pernah menjadi kawasan penyebaran Islam. Masjid-masjid itupun hingga kini masih berdiri. Antara lain Masjid Laweyan, Langgar Merdeka, Langgar Makmoer. Laweyan juga pernah menjadi kawasan pejuang dan raja. Di sini pernah tinggal Sutowijoyo/ Panembahan Senopati. Tak ayal jika bangunan Kota Gede di Yogyakarta mirip dengan Laweyan. Laweyan juga menjadi tempat peristirahatan terakhir Kyai Ageng Anis, dia merupakan tokoh cikal bakal raja-raja Mataram.
Pada masa kolonial, Laweyan tercatat sebagai kebangkitan pedagang pribumi. Sebagai bukti, di kawasan ini pernah tinggal H. Samanhudi pendiri Serikat Dagang Islam. Salah satu pahlawan nasional bangsa Indonesia. Bentuk kawasan dengan bangunan bertembok besar dan berhimpit, serta ruas jalan yang sempit, tentu bukanlah hal yang tidak sengaja. Besar kemungkinan ini terkait dengan pergerakan perjuangan warga Laweyan kala itu.
Sangat wajar jika Laweyan menjadi kampung pergerakan. Dengan keberadaan materi, tentu banyak warga yang mengeyam pendidikan. Suatu hal yang amat mahal kala itu. Kepintaran yang diperoleh pun, menjadikan warga Laweyan kritis terhadap persoalan yang ada. Maka, tidak heran jika warga Laweyan agak berjauhan dengan kaum birokrat waktu itu. Sebagai kampung pergerakan, masih banyak bangunan Laweyan yang dapat dijadikan bukti sejarah. Sayangnya, bangunan Laweyan sedikit banyak telah berubah. Laweyan memiliki bentuk bangunan yang khas. Mayoritas rumah dikelilingi tembok besar dan regol yang besar. Bangunan rumah pun khas Jawa Eropa, tak jarang pula yang bernuansa Cina Islam.
Dulu, hampir tiap rumah memiliki pintu kecil. Pintu ini menghubungkan rumah satu dengan yang lainnya. Dulu bisa blusukan antar rumah, Selain itu, pintu ini mempermudah akses keluar masuk para warga, terutama jika ada kebakaran. Laweyan memang memiliki jalan yang sempit. Jarak antar rumah pun berhimpitan. Ini agak berbahaya. Satu rumah terbakar, dapat dengan mudah merembet ke rumah yang lain. Jalanan sempit juga menjadi penghalang masuknya mobil pemadam kebakaran.
Perlebaran jalan sempat dilakukan. Ini terlihat dari beberapa tanda bekas di beberapa ruas jalan. Tanda bekas tersebut, dulunya merupakan tembok batas rumah. Sekarang, walaupun masih sempit, pelebaran jalan sangat membantu akses masuk ke wilayah Laweyan. Terutama bagi armada pemadam kebakaran.
Pada jaman kolonial, pintu ini sangat berguna bagi kaum pergerakan. Jika ada operasi atau serangan ke Laweyan, maka pintu ini menjadi akses bagi kaum pergerakan untuk melarikan diri. Laweyan menjadi daerah yang aman untuk kaum pergerakan. Seluruh wilayah hampir dikelilingi tembok tinggi besar. Selain untuk menjaga keamanan pemiliki rumah, privasi pun sangat terjaga di Laweyan. Dulu, di jaman pergerakan. Dengan tembok yang tinggi, Laweyan sangat aman untuk pergerakan,
Rumah Laweyan kuno memang sangatlah unik. Satu kampung, memiliki bentuk yang hampir mirip. Pabrik-pabrik home industry yang besar, dan rumah bernuansa Jawa Eropa kuno menyiratkan Laweyan sebagai kawasan elite waktu itu.
Bangunan di Laweyan memang eksotis nan elit. Namun dibalik itu, cukup banyak cerita dan rahasia yang belum terungkap. Ada beberapa bagian bangunan di Laweyan yang sengaja dikamuflasekan. Adapun salah satunya adalah bunker bawah tanah.
Bunker ini menjadi kamuflase karena keberadaannya yang rahasia. Keberadaannya hanya diketahui oleh pemilik rumah. Biasanya ditutupi dengan almari, meja, maupun dengan karpet. Karena begitu rahasianya, terkadang keberadaannya tidak diketahui oleh anggota keluarga yang lain, termasuk anak.
Bunker ini ada yang buntu dan ada yang tembus ke tempat lain. Bunker tembus ini tersambung dengan jalan bawah tanah. Biasanya, bunker tembus menghubungkan satu sampai tiga rumah Malah, ada beberapa yang tembus ke kebon atau tanah latar. Jadi ada jalan bawah tanah di kawasan Laweyan. Sayangnya, banyak bunker ini yang sudah ditutup oleh pemilik rumah.
Menurut cerita leluhur, bunker buntu digunakan untuk menyimpan harta benda Suatu hal yang wajar, di masa itu bank memang sedikit. Sedangkan bunker tembus, digunakan untuk komunikasi yang rahasia. Tidak jarang digunakan untuk menitipkan atau memindahkan barang. Tukar informasi rahasia pun dilakukan lewat bunker tembus. Biasanya bunker tembus terdapat pada bangunan jawa yang sangat kuno. Mungkin bangunan yang sebelum abad 20,
Saat ini, di Laweyan masih ada satu rumah yang masih memiliki bunker. Bahwa bunker ini merupakan peninggalan kerajaan Pajang. Jadi, keberadaan bunker lebih dulu ada daripada rumahnya.
Bunker ini dibuat oleh Hangabehi Kertayuda, salah seorang abdi dalem kerajaan Pajang. Bunker merupakan bunker tembus. Bunker ini menghubungkan rumahnya dengan rumah di sebelah utara rumahnya, dan tembus ke pendapa dekat sungai. Pendapa ini pun, saat ini sudah roboh.
Laweyan adalah salah satu sentral Batik di Solo. Kampung ini Tentunya ada banyak sekali sejarah yang tertinggal di kapung ini dan menjadi icon Batik Solo.
Batik merupakan hasil karya seni tradisional yang banyak ditekuni masyarakat Laweyan. Sejak abad ke-19 kampung ini sudah dikenal sebagai kampung batik. Itulah sebabnya kampung Laweyan pernah dikenal sebagai kampung juragan batik yang mencapai kejayaannya di era tahun 70-an. Menurut Alpha yang juga pengelola Batik Mahkota. Di kawasan Laweyan ada Kampung Laweyan, Tegalsari, Tegalayu, Batikan, dan Jongke, yang penduduknya banyak yang menjadi produsen dan pedagang batik, sejak dulu sampai sekarang. Di sinilah tempat berdirinya Syarekat Dagang Islam, asosiasi dagang pertama yang didirikan oleh para produsen dan pedagang batik pribumi, pada tahun 1912.
Bekas kejayaan para saudagar batik pribumi tempo doeloe yang biasa disebut Gal Gendhu ini bisa dilihat dari peninggalan rumah mewahnya. Di kawasan ini, mereka memang menunjukkan kejayaannya dengan berlomba membangun rumah besar yang mewah dengan arsitektur cantik.
Kawasan Laweyan dilewati Jalan Dr Rajiman, yang berada di poros Keraton Kasunanan Surakarta bekas Keraton Mataram di Kartasura. Dari Jalan Dr Rajiman ini, banyak terlihat tembok tinggi yang menutupi rumah-rumah besar, dengan pintu gerbang besar dari kayu yang disebut regol. Sepintas tak terlalu menarik, bahkan banyak yang kusam. Tapi begitu regol dibuka, barulah tampak bangunan rumah besar dengan arsitektur yang indah. Biasanya terdiri dari bangunan utama di tengah, bangunan sayap di kanan-kirinya, dan bangunan pendukung di belakangnya, serta halaman depan yang luas.
Dengan bentuk arsitektur, kemewahan material, dan keindahan ornamennya, seolah para raja batik zaman dulu mau menunjukkan kemampuannya untuk membangun istananya, meski dalam skala yang mini. Salah satu contoh yang bisa dilihat adalah rumah besar bekas saudagar batik yang terletak di pinggir Jalan Dr Rajiman, yang dirawat dan dijadikan homestay Roemahkoe yang dilengkapi restoran Lestari.Tentu saja tak semuanya bisa membangun istana yang luas, karena di kanan-kirinya adalah lahan tetangga yang juga membangun istana-nya sendiri-sendiri. Alhasil, kawasan ini dipenuhi dengan berbagai istana mini, yang hanya dipisahkan oleh tembok tinggi dan gang-gang sempit. Semangat berlomba membangun rumah mewah ini tampaknya mengabaikan pentingnya ruang publik. Jalan-jalan kampung menjadi sangat sempit. Terbentuklah banyak gang dengan lorong sempit yang hanya cukup dilewati satu orang atau sepeda motor.
Tapi di sinilah uniknya. Menelusuri lorong-lorong sempit di antara tembok tinggi rumah-rumah kuno ini sangat mengasyikkan. Kita seolah berjalan di antara monumen sejarah kejayaan pedagang batik tempo doeloe. Pola lorong-lorong sempit yang diapit tembok rumah gedongan yang tinggi semacam ini juga terdapat di kawasan Kauman, Kemlayan, dan Pasar Kliwon. Karena mengasyikkan, menelusuri lorong-lorong sejarah kejayaan Laweyan yang eksotis ini bisa menghabiskan waktu. Apalagi jika Anda melongok ke dalam, melihat isi dan keindahan ornamen semua istana di kawasan ini.
Tapi sayangnya satu per satu bangunan kuno yang berarsitektur cantik, hancur digempur zaman, digantikan ruko atau bangunan komersial baru yang arsitekturnya sama sekali tidak jelas. Pemerintah daerah setempat tak bertindak apa pun menghadapi kerusakan artefak sejarah ini. Bahkan bekas rumah Ketua Sarekat Dagang Islam H. Samanhoedi, yang seharusnya dilindungi sebagai saksi sejarah, sudah tidak utuh lagi, bagian depannya digempur habis. Bekas istana Mataram di Kartasura juga dibiarkan hancur berantakan.
Laweyan sendiri, berasal dari kata lawe, yakni serat-serat kapas halus yang merupakan bahan baku pembuatan kain mori. Kata Laweyan menunjukkan tempat dimana banyak benang lawe di sana.
Tapi, wajah Laweyan kini sudah tak semuram beberapa puluhan tahun silam. Popularitas batik yang kian meningkat, bahkan ke kalangan anak-anak baru gede dan remaja, membuat kebutuhan akan bahan batik terdongkrak pula. Dan Laweyan, kini mulai menggeliat. Bila hingga 2004 lalu hanya tersisa 11 usaha batik, kini sudah mencapai 60-an orang yang menghidupkan kembali usaha batik, khususnya batik cap dan batik tulis.
Laweyan memang memiliki sejarah tersendiri. Banyak sejarah tercatat di kampung ini. Selain telah menjadi sentra industri batik sejak Pajang 1546 M. Laweyan memiliki sejarah sebagai pusat kegiatan ekonomi. Situs Bandar Kabanaran dan bekas Pasar Laweyan, membuktikan Laweyan sebagai kawasan perdagangan.
Keberadaan masjid tua, menunjukan Laweyan pernah menjadi kawasan penyebaran Islam. Masjid-masjid itupun hingga kini masih berdiri. Antara lain Masjid Laweyan, Langgar Merdeka, Langgar Makmoer. Laweyan juga pernah menjadi kawasan pejuang dan raja. Di sini pernah tinggal Sutowijoyo/ Panembahan Senopati. Tak ayal jika bangunan Kota Gede di Yogyakarta mirip dengan Laweyan. Laweyan juga menjadi tempat peristirahatan terakhir Kyai Ageng Anis, dia merupakan tokoh cikal bakal raja-raja Mataram.
Pada masa kolonial, Laweyan tercatat sebagai kebangkitan pedagang pribumi. Sebagai bukti, di kawasan ini pernah tinggal H. Samanhudi pendiri Serikat Dagang Islam. Salah satu pahlawan nasional bangsa Indonesia. Bentuk kawasan dengan bangunan bertembok besar dan berhimpit, serta ruas jalan yang sempit, tentu bukanlah hal yang tidak sengaja. Besar kemungkinan ini terkait dengan pergerakan perjuangan warga Laweyan kala itu.
Sangat wajar jika Laweyan menjadi kampung pergerakan. Dengan keberadaan materi, tentu banyak warga yang mengeyam pendidikan. Suatu hal yang amat mahal kala itu. Kepintaran yang diperoleh pun, menjadikan warga Laweyan kritis terhadap persoalan yang ada. Maka, tidak heran jika warga Laweyan agak berjauhan dengan kaum birokrat waktu itu. Sebagai kampung pergerakan, masih banyak bangunan Laweyan yang dapat dijadikan bukti sejarah. Sayangnya, bangunan Laweyan sedikit banyak telah berubah. Laweyan memiliki bentuk bangunan yang khas. Mayoritas rumah dikelilingi tembok besar dan regol yang besar. Bangunan rumah pun khas Jawa Eropa, tak jarang pula yang bernuansa Cina Islam.
Dulu, hampir tiap rumah memiliki pintu kecil. Pintu ini menghubungkan rumah satu dengan yang lainnya. Dulu bisa blusukan antar rumah, Selain itu, pintu ini mempermudah akses keluar masuk para warga, terutama jika ada kebakaran. Laweyan memang memiliki jalan yang sempit. Jarak antar rumah pun berhimpitan. Ini agak berbahaya. Satu rumah terbakar, dapat dengan mudah merembet ke rumah yang lain. Jalanan sempit juga menjadi penghalang masuknya mobil pemadam kebakaran.
Perlebaran jalan sempat dilakukan. Ini terlihat dari beberapa tanda bekas di beberapa ruas jalan. Tanda bekas tersebut, dulunya merupakan tembok batas rumah. Sekarang, walaupun masih sempit, pelebaran jalan sangat membantu akses masuk ke wilayah Laweyan. Terutama bagi armada pemadam kebakaran.
Pada jaman kolonial, pintu ini sangat berguna bagi kaum pergerakan. Jika ada operasi atau serangan ke Laweyan, maka pintu ini menjadi akses bagi kaum pergerakan untuk melarikan diri. Laweyan menjadi daerah yang aman untuk kaum pergerakan. Seluruh wilayah hampir dikelilingi tembok tinggi besar. Selain untuk menjaga keamanan pemiliki rumah, privasi pun sangat terjaga di Laweyan. Dulu, di jaman pergerakan. Dengan tembok yang tinggi, Laweyan sangat aman untuk pergerakan,
Rumah Laweyan kuno memang sangatlah unik. Satu kampung, memiliki bentuk yang hampir mirip. Pabrik-pabrik home industry yang besar, dan rumah bernuansa Jawa Eropa kuno menyiratkan Laweyan sebagai kawasan elite waktu itu.
Bangunan di Laweyan memang eksotis nan elit. Namun dibalik itu, cukup banyak cerita dan rahasia yang belum terungkap. Ada beberapa bagian bangunan di Laweyan yang sengaja dikamuflasekan. Adapun salah satunya adalah bunker bawah tanah.
Bunker ini menjadi kamuflase karena keberadaannya yang rahasia. Keberadaannya hanya diketahui oleh pemilik rumah. Biasanya ditutupi dengan almari, meja, maupun dengan karpet. Karena begitu rahasianya, terkadang keberadaannya tidak diketahui oleh anggota keluarga yang lain, termasuk anak.
Bunker ini ada yang buntu dan ada yang tembus ke tempat lain. Bunker tembus ini tersambung dengan jalan bawah tanah. Biasanya, bunker tembus menghubungkan satu sampai tiga rumah Malah, ada beberapa yang tembus ke kebon atau tanah latar. Jadi ada jalan bawah tanah di kawasan Laweyan. Sayangnya, banyak bunker ini yang sudah ditutup oleh pemilik rumah.
Menurut cerita leluhur, bunker buntu digunakan untuk menyimpan harta benda Suatu hal yang wajar, di masa itu bank memang sedikit. Sedangkan bunker tembus, digunakan untuk komunikasi yang rahasia. Tidak jarang digunakan untuk menitipkan atau memindahkan barang. Tukar informasi rahasia pun dilakukan lewat bunker tembus. Biasanya bunker tembus terdapat pada bangunan jawa yang sangat kuno. Mungkin bangunan yang sebelum abad 20,
Saat ini, di Laweyan masih ada satu rumah yang masih memiliki bunker. Bahwa bunker ini merupakan peninggalan kerajaan Pajang. Jadi, keberadaan bunker lebih dulu ada daripada rumahnya.
Bunker ini dibuat oleh Hangabehi Kertayuda, salah seorang abdi dalem kerajaan Pajang. Bunker merupakan bunker tembus. Bunker ini menghubungkan rumahnya dengan rumah di sebelah utara rumahnya, dan tembus ke pendapa dekat sungai. Pendapa ini pun, saat ini sudah roboh.
0
4.6K
12
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan