- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Sepakbola Indonesia: Pembinaan Usia Dini Bukan Program Instan
TS
Riza.Fahdli
Sepakbola Indonesia: Pembinaan Usia Dini Bukan Program Instan
Jangan Lupakan Timnas Yunior Kita!
[URL="http://sport.detik..com/sepakbola/read/2012/10/16/100803/2063576/425/jangan-lupakan-timnas-yunior-kita"]detikSport[/URL] - Selasa, 16/10/2012 10:47 WIB
[URL="http://sport.detik..com/sepakbola/read/2012/10/16/100803/2063576/425/jangan-lupakan-timnas-yunior-kita"]detikSport[/URL] - Selasa, 16/10/2012 10:47 WIB
Quote:
Di balik gencar dan frustrasinya pemberitaan media tentang kisruh sepakbola nasional, ada terselip harapan dan kegigihan di sepakbola usia muda, yang tidak semestinya kita melupakan mereka.
Sebut saja misalnya Timo Scheunemann, pria Jerman 38 tahun yang begitu nasionalis dengan kecintaannya pada negeri ini dan sepakbolanya. Didasari kecintaan dan kepeduliannya yang sangat besar itu, plus ilmu yang dimilikinya, ia telah menyumbangkan sesuatu yang ril melalui buku kurikulum sepakbola moderen yang ia tulis, yang tinggal bagaimana para pelaku sepakbola menerapkannya, dan tak melulu membicarakannya saja.
Di grassroot ada pula Bert Pentury, seorang "opa" berlisensi UEFA pro dan salah satu instruktur di KNVB (PSSI-nya Belanda), yang punya komitmen tinggi dalam mencari bibit muda dan mengajarkan cara berlatih sepakbola yang benar.
Sepenilaian saya, "duo bule" coach Timo dan Bert merupakan sebuah sinergi yang prospektif di wilayah pembinaan pemain muda, sesuatu yang sepertinya belum terlalu diminati para elite maupun media massa, sehingga wacana ini, walaupun disadari betul sangat penting dan mendasar, tak tampak diseriusi betul-betul oleh mereka yang punya otoritas.
Semua orang tahu, prestasi tidak akan mudah didapat tanpa proses yang benar dan kerja keras semua stakeholder sepakbola Indonesia. Tidak ada yang instan di dunia sepakbola. Jepang, misalnya, yang belajar dari kita di era Galatama sekarang sudah menikmati hasilnya. Semenjak lolos ke Piala Dunia 1998, hingga kini mereka sudah menjadi negara besar sepakbola dari kawasan Asia.
Indonesia? Sejak meraih emas SEA Games 1991 di bawah kepelatihan Anatoli Polosin, kita masih saja berpuasa. Pernah timnas kita meraih juara di Piala Kemerdekaan tahun 2008 yang dihelat di Jakarta, tapi itu pun penuh kontroversi. Libya yang menjadi lawan Indonesia di final unggul di babak pertama 1-0, namun di babak kedua mereka tidak melanjutkan pertandingan karena di waktu istirahat pelatihnya, Gamal Adeen Nowara, dipukul oleh pelatih kiper timnas Indonesia saat menuju ruang ganti. Indonesia juara karena menang WO.
Sudah lama masyarakat pecinta sepakbola merindukan prestasi timnas, tapi prosesnya malah acak-kadul. Kisruh sepakbola Indonesia tak ubahnya sinetron berseri, mengejar topik utama bernama kekuasaan.
Fakir prestasi sepakbola kita harus disudahi, dan itu harus dimulai secara berjenjang. Ibaratnya, tidaklah mungkin membangun rumah dari atapnya dulu, melainkan dimulai dari fondasi, tiang, lantai, dinding, dan seterusnya dan seterusnya, baru kemudian atap. Maka, membangun timnas yang baik haruslah dimulai dengan memberi perhatian yang lebih pada pembentukan tim yunior. Kongkretnya, bibit-bibit muda ini perlu diberi kompetisi yang rapi, pengajar sepakbola moderen, pendidikan tentang nutrisi dan lain-lain.
Saya ingin mengambil contoh timnas U-17, yang saat ini dilatih Indra Sjafri. Di tahun lalu timnas U-17 yang masih berlabel timnas U-16 berkiprah di babak kualifikasi Piala Asia U-16 yang dihelat di Bangkok, Thailand, tergabung di Grup G bersama tuan rumah, Australia, Myanmar, Hongkong dan Guam. Hasilnya, mereka mengandaskan Myanmar 4-1, Hong Kong 2-0 dan Guam dengan skor telak 17-0. Tapi di dua laga berikutnya kalah dari Thailand (1-4) dan Australia (2-5).
Kemudian, di akhir Januari lalu, tim ini mencapai sebuah peningkatan performa dengan menjuarai turnamen HKFA International Youth Football Invitation di Hong Kong, dengan mengalahkan Singapura 3-1 di final.
Prospek itu berlanjut di awal September kemarin. Dalam pertandingan persahabatan di Kuala Lumpur, tim yang dikapteni oleh Evan Dimas itu mampu menumbangkan timnas Arab Saudi U-19 Arab Saudi dengan skor 2-1. Gara-gara kekalahan tersebut pihak Arab dibuat penasaran dan menginginkan pertandingan ulang, di mana saja, dan semua biaya akan mereka tanggung.
"Saya akan sanggupi permintaan timnas Arab Saudi untuk tanding ulang, pastinya akan dilangsungkan di luar negeri untuk membiasakan partai tandang dan pressure penonton kepada anak-anak," demikian respons coach Indra kala itu.
Ada hal yang sangat menarik dari sistem kepelatihan yang diterapkan coach Indra. Dalam merotasi pemain, ia memakai aturan promosi dan degradasi, yang kemudian memunculkan tingkat kompetisi internal yang tinggi dari para pemain. Sejumlah nama baru pun mencuat, seperti Muchlis Hadi dan Jali Ibrahim, menyusul beberapa pemain yang lebih dulu "bersinar" seperti Evan Dimas, Eriyanto, dan Indra Kelana.
Coach Indra juga rajin membawa timnya untuk berujicoba ke daerah-daerah di seluruh nusantara terutama Indonesia bagian timur, sekalian melakukan seleksi untuk menambah penggawa baru yang layak masuk tim inti.
Tak kalah penting adalah, proses seleksi tersebut turut ditopang oleh pelatih fisik, psikolog, dan ahli sport science, yang antara lain melibatkan tim ahli dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Data pemain yang promosi dan terkena degradasi tercatat rapi sesuai parameternya dan bentuk angka-angka matematis. Parameter ini meliputi data statistik yang lengkap untuk meminimalisir faktor like and dislike. Pemain terdegradasi dikembalikan ke daerah atau klubnya, tapi sewaktu-waktu akan dipanggil kembali apabila dibutuhkan tim.
Data statistik tersebut merupakan salah satu bahan penilaian obyektif untuk mengukur tingkat kemampuan pemain. Coach Indra menggunakan itu sebagai jawaban strategis ketika menurut ceritanya, ada anak seorang mantan pemain nasional yang menuduhnya tidak adil dalam melakukan seleksi pemain, karena menurutnya si anak punya kecepatan di atas rata-rata.
Coach Indra lalu menantang si bapak. "Anda ingin penyebab ketidaklolosan anak Anda saya publish ke media atau cukup kita berdua saja?". Lalu ia membeberkan dokumen seleksi. Dari sembilan penyerang yang dites, dari banyak paramater si anak ternyata cuma unggul dalam hal kecepatan. Mantan pemain itu akhirnya mengerti -- dan media tak jadi perlu tahu.
Yang perlu media ketahui, dan menurut saya perlu diketahui supaya masyarakat juga tahu bahwa ada "gerakan" lain selain tingkah polah para elite atau timnas senior yang masih saja diharapkan untuk berprestasi tinggi, padahal mereka hanyalah produk dari sistem yang tidak matang, adalah tim muda Indonesia juga sedang melanjutkan proses pematangannya.
Di bulan Oktober ini, dari tanggal 16 sampai 25, timnas U-17 akan mengikuti Turnamen Piala Asia Pelajar di Iran. Tim ini diproyeksikan untuk bisa tampil optimal di Piala AFF U-19 pada September 2013, serta bisa mengikuti Piala Dunia U-20 tahun 2015.
Meksiko adalah contoh aktual dalam proses berjenjang itu. Di level senior, timnas mereka adalah medioker di tingkat dunia. Tapi mereka sedang merintisnya dengan sangat baik. Mereka berturut-turut menjuarai Piala Dunia U-17 tahun 2011, menjadi semifinalis Piala Dunia U-20 di tahun yang sama, dan tim U-23 mereka meraih medali emas di Olimpiade 2012.
Kesimpulan tulisan ini adalah, jika kita sadar bahwa meraih prestasi bukanlah sesuatu yang instan, alias merupakan proses yang berjenjang, maka program pematangan timnas yunior -- termasuk U-17 -- perlu mendapat dukungan dari semua pihak, dan yang tak kalah penting adalah tidak direcoki dengan kepentingan-kepentingan apapun di luar sepakbola itu sendiri.
0
1.4K
Kutip
12
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan