- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ada Apa Dengan MA? : Mengapa MA Batalkan Vonis Mati Pemilik Pabrik Ekstasi?
TS
telorkomodo
Ada Apa Dengan MA? : Mengapa MA Batalkan Vonis Mati Pemilik Pabrik Ekstasi?
Quote:
Mengapa MA Batalkan Vonis Mati Pemilik Pabrik Ekstasi?
Andri Haryanto - detikNews
Jakarta Pembatalan vonis hukuman mati pemilik pabrik ekstasi Hengky Gunawan oleh Mahkamah Agung (MA) menuai banyak tanda tanya. Padahal tidak sedikit generasi muda bangsa Indonesia yang mati sia-sia karena barang haram tersebut.
Hukuman bagi Hengky diubah oleh MA menjadi 15 tahun penjara melalui upaya Peninjauan Kembali yang diajukannya dan dikabulkan oleh ketua majelis hakim agung, Imron Anwari, dan Achmad Yamanie serta Hakim Nyak Pha sebagai anggota.
Majelis Hakim beralasan hukuman mati yang dijatuhkan kepada Hengky bertentangan dengan pasal 28 ayat 1 UUD 1945 dan melanggar Pasal 4 UU No 39/1999 tentang HAM. Namun, alasan yang menganulir hukuman mati Hengky berbeda dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi yang pernah memutus permohonan judicial review pasal hukuman mati dalam UU No 22/1997 tentang Narkotika.
Putusan MK yang dimaksud menyebutkan pidana hukuman mati tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945. Hal ini mungkin karena konstitusi di Indonesia tidak menganut azas kemutlakan Hak Asasi Manusia. Alhasil, lima terpidana mati kasus narkoba yang mengajukan PK dibatalkan oleh MK pada tahun 2007.
Lalu dalam aturan internasional seperti International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, pasal 6 ayat 2 disebutkan, hukuman mati diperbolehkan terhadap mereka yang melakukan kejahatan serius.
"Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat
dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat
dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi
tentang Pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar
keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang," bunyi pasal tersebut.
Plus, dalam UU No 7/1997 tentang United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika tahun 1988, yang kemudian diratifikasi Indonesia ke dalam Undang-undang tentang narkotika, disebut bahwa narkotika dan psikotropika dapat mengancam kehidupan individu, ketahanan nasional, bangsa, dan negara Indonesia.
Konvensi tersebut menegaskan narkoba sebagai masalah bersama yang dihadapi bangsa dan negara di dunia dan ditanggulangi melalui upaya penegakan hukum. "Masyarakat bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia perlu memberikan perhatian dan prioritas utama atas masalah pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika," bunyi kalimat pokok-pokok pikiran yang mendorong lahirnya konvensi.
Lalu mengapa MA bisa membatalkan vonis mati pemilik pabrik ekstasi yang mengancam jutaan masa depan anak bangsa? Badan Narkotika Nasional mencatat sedikitnya 15.000 generasi penerus bangsa tewas sia-sia karena narkoba.
"Catatan BNN, ada 15 ribu anak bangsa setiap tahun yang tewas karena narkotika," kata Kepala Humas Badan Narkotika Nasional (BNN), Kombes Sumirat Dwiyanto, pada detikcom, Jumat (5/10/2012).
BNN pun menyayangkan keputusan MA tersebut dan mempertanyakannya. Padahal taruhan dalam kasus narkoba adalah kualitas generasi penerus bangsa ini.
"Karena terkait dengan jumlah korban yang besar karena narkotika, kita sayangkan korban anak bangsa akibat penyalahgunaan narkotika ini. Di mana semangat supaya Indonesia bebas narkotika 2015, MA malah membebaskan napi vonis mati," ujar Sumirat.
(vid/van)
[URL="http://news.detik..com/read/2012/10/05/080224/2055168/10/?992204topnews"]sumber[/URL]
Andri Haryanto - detikNews
Jakarta Pembatalan vonis hukuman mati pemilik pabrik ekstasi Hengky Gunawan oleh Mahkamah Agung (MA) menuai banyak tanda tanya. Padahal tidak sedikit generasi muda bangsa Indonesia yang mati sia-sia karena barang haram tersebut.
Hukuman bagi Hengky diubah oleh MA menjadi 15 tahun penjara melalui upaya Peninjauan Kembali yang diajukannya dan dikabulkan oleh ketua majelis hakim agung, Imron Anwari, dan Achmad Yamanie serta Hakim Nyak Pha sebagai anggota.
Majelis Hakim beralasan hukuman mati yang dijatuhkan kepada Hengky bertentangan dengan pasal 28 ayat 1 UUD 1945 dan melanggar Pasal 4 UU No 39/1999 tentang HAM. Namun, alasan yang menganulir hukuman mati Hengky berbeda dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi yang pernah memutus permohonan judicial review pasal hukuman mati dalam UU No 22/1997 tentang Narkotika.
Putusan MK yang dimaksud menyebutkan pidana hukuman mati tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945. Hal ini mungkin karena konstitusi di Indonesia tidak menganut azas kemutlakan Hak Asasi Manusia. Alhasil, lima terpidana mati kasus narkoba yang mengajukan PK dibatalkan oleh MK pada tahun 2007.
Lalu dalam aturan internasional seperti International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, pasal 6 ayat 2 disebutkan, hukuman mati diperbolehkan terhadap mereka yang melakukan kejahatan serius.
"Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat
dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat
dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi
tentang Pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar
keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang," bunyi pasal tersebut.
Plus, dalam UU No 7/1997 tentang United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika tahun 1988, yang kemudian diratifikasi Indonesia ke dalam Undang-undang tentang narkotika, disebut bahwa narkotika dan psikotropika dapat mengancam kehidupan individu, ketahanan nasional, bangsa, dan negara Indonesia.
Konvensi tersebut menegaskan narkoba sebagai masalah bersama yang dihadapi bangsa dan negara di dunia dan ditanggulangi melalui upaya penegakan hukum. "Masyarakat bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia perlu memberikan perhatian dan prioritas utama atas masalah pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika," bunyi kalimat pokok-pokok pikiran yang mendorong lahirnya konvensi.
Lalu mengapa MA bisa membatalkan vonis mati pemilik pabrik ekstasi yang mengancam jutaan masa depan anak bangsa? Badan Narkotika Nasional mencatat sedikitnya 15.000 generasi penerus bangsa tewas sia-sia karena narkoba.
"Catatan BNN, ada 15 ribu anak bangsa setiap tahun yang tewas karena narkotika," kata Kepala Humas Badan Narkotika Nasional (BNN), Kombes Sumirat Dwiyanto, pada detikcom, Jumat (5/10/2012).
BNN pun menyayangkan keputusan MA tersebut dan mempertanyakannya. Padahal taruhan dalam kasus narkoba adalah kualitas generasi penerus bangsa ini.
"Karena terkait dengan jumlah korban yang besar karena narkotika, kita sayangkan korban anak bangsa akibat penyalahgunaan narkotika ini. Di mana semangat supaya Indonesia bebas narkotika 2015, MA malah membebaskan napi vonis mati," ujar Sumirat.
(vid/van)
[URL="http://news.detik..com/read/2012/10/05/080224/2055168/10/?992204topnews"]sumber[/URL]
Dah segitu parahkah sistem peradilan negeri ini?
Sampe Bandar Narkoba kelas kakap bisa mengatur institusi peradilan sekelas MA?
Kalo caranya gini sih tinggal nunggu rakyat bergerak...
0
1.7K
Kutip
17
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan