Terdakwa perkara suap pembahasan anggaran dan tindak pidana pencucian uang, Wa Ode Nurhayati saat menyimak pembacaan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (2/10). Wa Ode dituntut 14 tahun oleh Jaksa setelah emmakai model terbaru dalam hal penuntunan di Pengadilan Indonesia. JPNN
KPK Lakukan Terobosan dengan Dua Tuntutan Hukuman
Selasa, 02 Oktober 2012 , 23:03:00
JAKARTA - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johan Budi SP menyatakan bahwa dua tuntutan hukuman terhadap terdakwa kasus alokasi Dana Percepatan Infrastruktur Daerah (DPID),
Wa Ode Nurhayati merupakan hal baru yang diterapkan Jaksa Penuntut Umum KPK. Dua tuntutan hukuman bagi satu terdakwa itu merupakan pertama kalinya sejak KPK lahirnya Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). "Tuntutan ini adalah terobosan, kita menggunakan dua pasal. Pasal Tipikor dan TPPU. Ini pertama kali digunakan oleh KPK," ujar Juru Bicara KPK, Johan Budi SP, di KPK, Selasa (2/10).
Menurut Johan, alasan KPK mengenakan UU TPPU lantaran mantan Nurhayati diduga kuat melakukan pencucian uang dari hasil korupsi. Johan pun berharap tuntutan tersebut menjadi yurisprodensi untuk kasus-kasus korupsi lain yang ditangani KPK. "KPK berharap putusan hakim nanti akan menjadi yurisprudensi, dan ke depannya bisa menjadi dasar KPK untuk menetapkan hal yang sama pada Tipikor yang bukti-buktinya mengarah pada tindakan TPPU," harapnya.
Sebagai terdakwa, Nurhayati dituntut 14 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan untuk penerimaan hadiah sebesar Rp 6,250 miliar terkait alokasi DPID tahun 2011 bagiKabupaten Aceh Besar, Bener Meriah, Pidie Jaya dan Minahasa. Namun Nurhayati juga dituntut hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan karena dianggap terbukti melakukan pencucian uang atas uang Rp 50 miliar lebih
http://www.jpnn.com/read/2012/10/02/...tutan-Hukuman-
Meskipun metode Jaksa Penuntut KPK sudah Canggih,
tapi bila akhirnya Letoy saat vonis dijatuhkan,
sami mawon, mas!
Quote:
Kualitas Hakim Buruk, Nunun Divonis Ringan
Thursday, 10 May 2012 09:16
itoday - Kualitas hakim yang memutuskan vonis Nunun Daradjatun sangat buruk. Bahkan, kualitas hakim kalah jauh dengan hakim pada 20 tahun yang lalu. Pernyataan itu disampaikan pengamat hukum Yenti Garnasih kepada itoday (9/5). "Saya melihat kualitas hakim kalah jauh dengan 20 tahun yang lalu. Ini menyedihkan sekali. Hal ini akan menjadi evaluasi bagi kita semua" tegas Yenti.
Menurut Yenti, jika semua pihak serius dalam pemberantasan korupsi seharusnya hukumannya dioptimalkan. "?Dalam vonis itu Nunun tidak diputuskan harus mengembalikan ganti rugi. Padahal, tujuan pemidanaan bukan hanya untuk yang bersangkutan, tetapi untuk pihak lain yang melakukan suap dan koruptor agar tidak melakuka", ungkap Yenti. Yenti mencatat, hakim kasus Nunun cenderung tidak mengaitkan hal-hal yang memberatkan terdakwa. "Hal-hal yang memberatkan harus diperhatikan hakim. Misalnya, Nunun pernah buron selama dua tahun. Jika dikatakan ada yang meringankan, yakni Nunun kooperatif, apakah benar kooperatif? Justru yang ada Nunun merepotkan", kata Yenti.
Fakta bahwa Nunun belum pernah dipidana, kata Yenti, tidak bisa jadi faktor penentu untuk meringankan vonis Nunun. "?Masalah belum pernah dipidana dan bersikap baik di pengadilan memang sikap orang akan seperti itu. Masak di pengadilan Nunun mau umpat-umpatan, pasti tidak", tegas Yenti. Lebih lanjut Yenti menyatakan bahwa adil tidaknya vonis sangat relatif. "Adil atau tidak itu relatif. Bagi masyarakat untuk tindakan seperti itu, vonis itu cukup ringan. Tetapi bagi Nunun, vonis itu memberatkan", kata Yenti. Sebelumnya diberitakan, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghukum terdakwa kasus suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004, Nunun Nurbaetie, dua tahun enam bulan penjara dan denda Rp150 juta.
http://www.itoday.co.id/politik/kual...divonis-ringan
Majelis Hakim Hanya Kasih Vonis Miranda 3 Tahun Penjara Serta Denda Rp 100 Juta
Kamis, 27 September 2012 - 12:15
Miranda S Goeltom
Jakarta, Seruu.com - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menganggap terdakwa kasus suap cek pelawat pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia (DGS BI) Miranda S Goeltom ternbukti telah melaukan tindak pidana korupsi dengan melakukan suap kepada sejumlah anggota dewan periode 1999-2004. Atas dasar itu, majelis hakim akhirnya menjatuhkan vonis terhadap Miranda 3 tahun penjara serta denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan. "Mengadili dan menyatakan terdakwa Miranda S Goeltom terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama," kata Ketua Mejelis Hakim Gusrizal dalam sidang vonis kasus cek pelawat dengan terdakwa Miranda S Goeltom di pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (27/09/2012). Majelis menyatakan Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia (UI) itu terbukti menyuap sesuai dengan dakwaan pertama Pasal 5 ayat 1 huruf b Undang-Undang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Sementara itu, hal-hal yang memberatkan Miranda menurut Majelis Hakim diantaranya adalah yang bersangkutan tidak mendukung upaya pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi. Dan yang meringankan adalah Miranda selalu bersikap sopan dalam persidangan serta tidak pernah terlibat dalam kasus pidana lain.Diketahui, vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu hukuman 4 tahun penjara serta denda Rp 150 juta subsider 4 bulan kurungan.
Majelis Hakim juga menilai, Miranda terbukti melakukan penyuapan terhadap anggota dewan periode 1999-2004 dengan cek perjalanan untuk memuluskan langkahnya menjabat sebagai DGS BI. Meski dia tidak memberikan suap tersebut secara langsung, namun Miranda dianggao ikut menyuap lantaran dia berhubungan dengan dengan aktor lain dalam kasus yang sama, seperti Nunun Nurbaiti, Dudhie Makmun Murod dan Hamka Yandhu
http://www.seruu.com/utama/hukum-a-k...da-rp-100-juta
Gayus Divonis 6 Tahun, Denda Rp 1 Miliar
Kamis, 1 Maret 2012 | 16:39 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, menjatuhkan hukuman enam tahun penjara kepada Gayus Halomoan Tambunan, mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, dalam perkara korupsi dan pencucian uang, Kamis (1/3/2012). Majelis hakim yang dipimpin Suhartoyo juga menjatuhkan denda sebesar Rp 1 miliar yang dapat diganti dengan kurungan penjara selama empat bulan.
Putusan ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut Gayus dengan hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 1 miliar yang dapat diganti dengan kurangan penjara selama enam bulan. Majelis hakim berpendapat, Gayus terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan sejumlah tindak pidana korupsi sebagaimana yang didakwakan. Gayus terbukti menerima uang Rp 925 juta dari Roberto Santonius terkait kepengurusan gugatan keberatan pajak PT Metropolitan Retailmart dan menerima 3,5 juta dollar AS dari Alif Kuncoro terkait kepengurusan pajak tiga perusahaan Grup Bakrie, yakni PT Arutmin, PT Kaltim Prima Coal, dan PT Bumi Resource.
Ia juga terbukti menerima gratifikasi terkait kepemilikan uang 659.800 dollar AS dan 9,68 juta dollar Singapura dan melakukan pencucian uang dengan menyimpan uang gratifikasi tersebut dalam safe deposit box Bank Mandiri Cabang Kelapa Gading. Kasus lain, Gayus juga terbukti menyuap sejumlah petugas Rumah Tahanan Mako Brimob, Kelapa Dua, agar dapat keluar-masuk tahanan. Ini adalah vonis ketiga bagi Gayus setelah sebelumnya ia divonis 12 tahun penjara pada tingkat kasasi dalam sejumlah perkara korupsi pajak dan menyuap penyidik. Ia pun mendapat vonis dua tahun penjara di Pengadilan Negeri Tangerang dalam perkara pemalsuan paspor. Gayus akan menjalani hukuman penjara atas vonis maksimal yang dijatuhkan kepadanya.
http://nasional.kompas.com/read/2012...da.Rp.1.Miliar
----------------
Untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat agar para koruptor itu kapok dan sesuai ganjaran hukumannya, yang diperlukan bukan terobosan metode tuntutannya semata. Meski dituntut hukuman mati oleh Jaksa Tipikor, kalau akhirnya vonis HAKIM si tersangka biasa-biasa saja dan bahkan terasa ringan, tak bergunalah semua itu. Kecuali ada HAKIM yang tiba-tiba berani menjatuhkan hukuman se umur hidup misalnya, atau hukuman mati. Dulu zaman ORBA, seorang koruptor dari BULOG yang bernama Budiaji (Kadolog Kaltim), dituntut hukuman se umur hidup. Dan, rakyat puas!
