

TS
sutotokh
cindil
semalam istri ane nemu cindil (anak tikus) 4 biji gan, apa artinya yak?

Kebiasaan Menelan Anak Tikus Hidup-hidup untuk Obat Kuat
Melintas di depan pasar tradisional di desaku yang sudah selesai dibangun lagi menjadi cukup megah untuk ukuran kampung, mengingatkan pada suatu kebiasaan aneh -menurut kacamataku- yang dahulu sering dilakukan oleh sebagian penghuni pasar itu. Aneh karena sejauh yang aku tahu tidak banyak orang yang mau melakukannya dan aku sendiripun jijik dan tidak akan mau menjalaninya.
Dalam bahasa Jawa, ritual itu disebut nguntal cindil yang bisa diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia sebagai menelan hidup-hidup anak (bayi) tikus yang masih merah. Dipercaya oleh para penggemarnya kebiasaan nguntal cindil itu berkhasiat meningkatkan stamina dan menambah kekuatan fisik. Mungkin fungsinya serupa dengan minuman suplemen yang banyak diiklankan di televisi nasional.
Menilik khasiatnya itu, maka para penguntal cindil adalah orang-orang yang bekerja mengandalkan kekuatan fisiknya. Mereka itu adalah buruh-buruh pengangkut barang dan tukang bongkar-muat barang (kuli angkut dan kuli bongkar-muat) yang dalam bahasa Jawa dialek daerahku disebut janggol atau manol. Terlepas ada pengaruh atau tidaknya nguntal cindil, yang pernah kusaksikan sendiri memang kekuatan janggol-janggol itu berada di atas kekuatan manusia normal. Mengangkut satu kuintal (dua karung) gula dipunggung dan membawanya dalam jarak ratusan meter, melewati lorong pasar yang sempit, becek dan licin, adalah hal yang ringan saja bagi mereka.
Beberapa tahun lalu ketika aku dan beberapa teman menikmati kopi di sebuah warung kopi di dalam pasar itu, aku menyaksikan sendiri seorang janggol menelan dua ekor anak tikus. Dengan santai anak tikus yang masih berwarna merah dan menggeliat serta mencicit itu dilahapnya setelah dikucuri dengan kecap, meski dengan mata yang agak mendelik karena agak sukar menelannya dan dilanjutkan cindil kedua dan menutupnya dengan segelas kopi. Biar licin dan ada rasanya begitu jawabnya ketika ditanya kenapa harus dibumbui kecap.
Menurutnya lagi, seharusnya agar khasiatnya optimal dia harus menelan paling sedikit lima ekor cindil namun hari itu dia baru menemukan dua ekor. Efek yang langsung dirasakannya, tambahnya, adalah rasa hangat di badan dan tidak ada rasa lelah dalam bekerja hari itu. Pagi harinya ketika bangun tidur juga tidak ada rasa kaku dan lemas di tulang dan persendian jika ia mengkonsumsi minimal lima ekor cindil.
Saat itu, dengan bangunan yang masih didominasi kayu, memang sangat mudah mencari sarang tikus. Hampir di bawah semua tempat penyimpanan barang (Jw : grobog) serta batangan bambu penyangga atap (Jw : usuk) didiami oleh keluarga tikus. Dan para pelahap tikus itu masing-masing mempunyai daerah perburuan sendiri sehingga tidak terjadi perebutan cindil. Apalagi didukung oleh siklus reproduksi tikus yang cepat semakin memudahkan para janggol mendapatkan suplemen alaminya.
Secara ilmiah, sejauh yang kutahu, belum ada penelitian yang membuktikan adanya hubungan antara nguntal cindil dengan perbaikan stamina dan penambahan kekuatan fisik. Namun mungkin kekuatan sugesti dari mitos yang telah ada turun-temurun itu yang menjadikan budaya itu terlihat dan terasa mempunyai faedah bagi para penguntal cindil. Padahal dengan penghasilan harian yang menurut pengakuan seorang janggol berkisar antara Rp. 60-100 ribu tentunya cukup untuk membeli sebotol minuman energi yang diklaim pabriknya bisa meningkatkan stamina.
Terlepas dari kebiasaan nguntal cindil itu, profesi buruh angkut dan kuli bongkar muat di kampungku tidak bisa dipandang sebelah mata meskipun di tempat lain profesi ini bisa jadi dianggap pekerjaan rendahan. Pasalnya, selain harus memiliki kekuatan fisik prima, seseorang yang menjalani profesi ini di pasar desaku harus memiliki selembar kartu anggota yang bisa didapat hanya dari hibah, warisan atau membeli dari pemilik lama karena tidak ada lagi penambahan jumlah janggol. Mau tahu harga kartu anggota itu? Sekitar 10-12 juta rupiah, tergantung negosiasi. Cukup mahal bukan?
Salam
NB : Cerita ini nyata adanya di sebuah pasar di satu ibukota kecamatan di Jawa Tengah. Tidak disebutkan secara jelas agar tidak didemo oleh aktivis penyayang binatang :-)

Spoiler for nguntal cindil:
Kebiasaan Menelan Anak Tikus Hidup-hidup untuk Obat Kuat
Melintas di depan pasar tradisional di desaku yang sudah selesai dibangun lagi menjadi cukup megah untuk ukuran kampung, mengingatkan pada suatu kebiasaan aneh -menurut kacamataku- yang dahulu sering dilakukan oleh sebagian penghuni pasar itu. Aneh karena sejauh yang aku tahu tidak banyak orang yang mau melakukannya dan aku sendiripun jijik dan tidak akan mau menjalaninya.
Dalam bahasa Jawa, ritual itu disebut nguntal cindil yang bisa diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia sebagai menelan hidup-hidup anak (bayi) tikus yang masih merah. Dipercaya oleh para penggemarnya kebiasaan nguntal cindil itu berkhasiat meningkatkan stamina dan menambah kekuatan fisik. Mungkin fungsinya serupa dengan minuman suplemen yang banyak diiklankan di televisi nasional.
Menilik khasiatnya itu, maka para penguntal cindil adalah orang-orang yang bekerja mengandalkan kekuatan fisiknya. Mereka itu adalah buruh-buruh pengangkut barang dan tukang bongkar-muat barang (kuli angkut dan kuli bongkar-muat) yang dalam bahasa Jawa dialek daerahku disebut janggol atau manol. Terlepas ada pengaruh atau tidaknya nguntal cindil, yang pernah kusaksikan sendiri memang kekuatan janggol-janggol itu berada di atas kekuatan manusia normal. Mengangkut satu kuintal (dua karung) gula dipunggung dan membawanya dalam jarak ratusan meter, melewati lorong pasar yang sempit, becek dan licin, adalah hal yang ringan saja bagi mereka.
Beberapa tahun lalu ketika aku dan beberapa teman menikmati kopi di sebuah warung kopi di dalam pasar itu, aku menyaksikan sendiri seorang janggol menelan dua ekor anak tikus. Dengan santai anak tikus yang masih berwarna merah dan menggeliat serta mencicit itu dilahapnya setelah dikucuri dengan kecap, meski dengan mata yang agak mendelik karena agak sukar menelannya dan dilanjutkan cindil kedua dan menutupnya dengan segelas kopi. Biar licin dan ada rasanya begitu jawabnya ketika ditanya kenapa harus dibumbui kecap.
Menurutnya lagi, seharusnya agar khasiatnya optimal dia harus menelan paling sedikit lima ekor cindil namun hari itu dia baru menemukan dua ekor. Efek yang langsung dirasakannya, tambahnya, adalah rasa hangat di badan dan tidak ada rasa lelah dalam bekerja hari itu. Pagi harinya ketika bangun tidur juga tidak ada rasa kaku dan lemas di tulang dan persendian jika ia mengkonsumsi minimal lima ekor cindil.
Saat itu, dengan bangunan yang masih didominasi kayu, memang sangat mudah mencari sarang tikus. Hampir di bawah semua tempat penyimpanan barang (Jw : grobog) serta batangan bambu penyangga atap (Jw : usuk) didiami oleh keluarga tikus. Dan para pelahap tikus itu masing-masing mempunyai daerah perburuan sendiri sehingga tidak terjadi perebutan cindil. Apalagi didukung oleh siklus reproduksi tikus yang cepat semakin memudahkan para janggol mendapatkan suplemen alaminya.
Secara ilmiah, sejauh yang kutahu, belum ada penelitian yang membuktikan adanya hubungan antara nguntal cindil dengan perbaikan stamina dan penambahan kekuatan fisik. Namun mungkin kekuatan sugesti dari mitos yang telah ada turun-temurun itu yang menjadikan budaya itu terlihat dan terasa mempunyai faedah bagi para penguntal cindil. Padahal dengan penghasilan harian yang menurut pengakuan seorang janggol berkisar antara Rp. 60-100 ribu tentunya cukup untuk membeli sebotol minuman energi yang diklaim pabriknya bisa meningkatkan stamina.
Terlepas dari kebiasaan nguntal cindil itu, profesi buruh angkut dan kuli bongkar muat di kampungku tidak bisa dipandang sebelah mata meskipun di tempat lain profesi ini bisa jadi dianggap pekerjaan rendahan. Pasalnya, selain harus memiliki kekuatan fisik prima, seseorang yang menjalani profesi ini di pasar desaku harus memiliki selembar kartu anggota yang bisa didapat hanya dari hibah, warisan atau membeli dari pemilik lama karena tidak ada lagi penambahan jumlah janggol. Mau tahu harga kartu anggota itu? Sekitar 10-12 juta rupiah, tergantung negosiasi. Cukup mahal bukan?
Salam
NB : Cerita ini nyata adanya di sebuah pasar di satu ibukota kecamatan di Jawa Tengah. Tidak disebutkan secara jelas agar tidak didemo oleh aktivis penyayang binatang :-)


4iinch memberi reputasi
1
1.8K
Kutip
6
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan