- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
RUU Pilkada: Rakyat Tak Bisa Lagi Pilih Gubernurnya
TS
naomi3008
RUU Pilkada: Rakyat Tak Bisa Lagi Pilih Gubernurnya
Agan2 ... Maaf klo threadnya berantakan... Maklum newbie... Mau share berita yg bikin gw gregetan ke ubun2...
Sumber :
http://fokus.news.viva.co.id/news/re...ih-gubernurnya
Menurut gw, ini bener2 kemunduran demokrasi.
Kenapa alasannya biayanya? Kita bayar pajak oiiii.....
Terus, waktu pilkada jakarta, klo bukan rakyat yang milih. Mana mungkin Pak jokowi menang?!
Grrrr.....
Setidaknya sampe tingkat walikota lha.. Rakyat boleh milih langsung... Berarti rakyat pilih pemimpinnya.. Dibawah walikota boleh lha pake "demokrasi tidak langsung"
Quote:
"VIVAnews Pemerintah dan DPR kini tengah menggodok Rancangan Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). Ada sejumlah poin krusial dalam RUU ini, salah satunya mengembalikan proses pilkada ke tangan DPRD.
Artinya, rakyat tak lagi memilih pemimpin mereka secara langsung seperti pada Pilkada DKI Jakarta 2012 yang baru berlalu. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi selaku wakil pemerintah dalam pembahasan RUU Pilkada menyambut baik usulan pilkada tak langsung tersebut.
Menurut Gamawan, pilkada melalui perwakilan rakyat di DPRD sudah sesuai dengan UUD 1945. Pilkada tak langsung juga dinilai akan menghemat biaya politik. Kalau sudah melalui DPRD, biayanya pasti murah karena calon tidak perlu kampanye lagi. Cukup menyampaikan visi dan misi di DPRD, ujar dia di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin 24 September 2012.
Pilkada tak langsung ini juga sempat dibahas dalam Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2012 belum lama ini. Khatib Am Syuriah Pengurus Besar NU, Kyai Haji Malik Madani, mengatakan pilkada secara langsung yang diterapkan pemerintah saat ini memicu maraknya praktik politik uang di tengah masyarakat.
Pilkada langsung juga disebut membuat negara mengeluarkan biaya tinggi, baik dari pemerintah maupun para calon yang bertarung. Terakhir, pilkada langsung bahkan dinilai menyebabkan konflik horisontal di antara kelompok pendukung masing-masing calon. Oleh karena itu muncul gagasan untuk mengembalikan proses pilkada ke DPRD seperti pada masa Orde Baru.
Meski menyetujui usul ini, Mendagri berpendapat pilkada tak langsung hanya cocok diterapkan di tingkat provinsi, sementara kepala daerah di tingkat kabupaten/kota sebaiknya tetap dipilih langsung oleh rakyat. Untuk tingkat provinsi bisa diserahkan kepada DPRD, tapi kabupaten/kota masih tetap pemilihan langsung, kata Gamawan.
Pemilihan gubernur tak langsung itu didukung oleh Fraksi Demokrat dan Gerindra, sedangkan fraksi-fraksi lainnya cenderung mempertanyakan bahkan menolak opsi tersebut.
Semula, pada pandangan awal fraksi Juni 2012 lalu, Fraksi PDIP, PAN, PPP, PKB, dan Hanura menolak pemilihan gubernur lewat DPRD dan mendukung pilkada langsung seperti yang saat ini telah berjalan. Sementara itu, Fraksi Golkar dan PKS mempertanyakannya dan merasa opsi tersebut perku dikaji ulang.
Ketua DPP Partai Golkar yang juga Wakil Ketua MPR, Hajriyanto Thohari, menganggap pemilihan lewat DPRD merupakan langkah mundur demokrasi. Alasan efisiensi biaya, menurutnya juga tak relevan. Sulit untuk menghemat biaya demi menyuarakan suara rakyat, kata dia beberapa waktu lalu.
Namun berbagai penolakan itu lalu melunak. Saat ini, hampir semua fraksi di DPR RI telah menyetujui usulan agar gubernur cukup dipilih oleh DPRD. DPR RI pun mencanangkan pembahasan RUU Pilkada akan selesai pada Desember 2012. Apabila RUU ini jadi disahkan menjadi UU oleh DPR, maka UU Pilkada yang baru ini akan berlaku 60 hari sejak disahkan.
Pakar hukum tata negara Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie, berpendapat RUU Pilkada tak mengubah esensi demokrasi yang dijalankan di Indonesia sejak era reformasi. Demokrasi itu ada dua, langsung dan tidak langsung. Gubernur yang dipilih oleh DPRD juga menganut asas demokrasi, hanya tidak dipilih langsung oleh rakyat, namun oleh perwakilan rakyat, kata dia.
Dilarang ke daerah lain
Selain mengembalikan pemilihan gubernur ke tangan DPRD, RUU Pilkada juga membahas pasal larangan bagi seseorang yang tengah menjabat sebagai pemimpin di suatu daerah untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin di daerah lain.
Kalau misalnya dia jadi bupati di daerah A, kemudian mau mencalonkan jadi gubernur di daerah B, dia harus mengundurkan diri dulu dari jabatannya di daerah A itu. Jadi, kalah atau menang di daerah B, dia tidak bisa balik menjabat lagi di daerah A, kata Mendagri Gamawan Fauzi.
Tujuan disisipkannya pasal itu, menurut Gamawan, agar momen pilkada tidak dijadikan semacam undian berhadiah bagi individu maupun partai politik. Kalau tidak ada pasal itu, pilkada kan menjadi undian berhadiah. Kalau kalah di daerah lain, balik lagi di daerah sebelumnya, ujar Mendagri.
Gamawan menyatakan, kalau hal itu terjadi akan merugikan pembangunan di daerah, yang pada akhirnya akan menganggu pembangunan secara nasional. Loyalitas seorang kepala daerah kepada daerah yang dipimpinnya, juga jadi diragukan.
Oleh sebab itu, tegas Gamawan, sebelum masa jabatan lima tahun sang kepala daerah habis, maka ia dilarang mencalonkan di daerah lain kecuali bersedia mundur terlebih dahulu. Intinya, jabatan berlaku lima tahun. Kalau dia mau pindah ke jabatan lain, maka itu hak kami untuk membatasinya, ujar Mendagri.
Ia menambahkan, tak ada kaitan antara pencantuman larangan bagi itu dalam RUU Pilkada dengan kasus majunya Jokowi di Pilkada DKI Jakarta.
Seperti diketahui, Jokowi yang tercatat sebagai Wali Kota Solo diusung PDIP untuk maju di Pilkada DKI Jakarta 2012 sebelum masa jabatannya di Solo selesai.
Gamawan mengatakan pasal larangan ini telah disisipkan di RUU Pilkada sejak tiga bulan lalu, bukan baru-baru ini. Pasal itu sudah tiga bulan dibahas di DPR. Tidak ada kasus Jokowi di sini. Kepala daerah yang seperti itu kan banyak, ada Alex Noerdin, dan lainnya, kata dia.
Artinya, rakyat tak lagi memilih pemimpin mereka secara langsung seperti pada Pilkada DKI Jakarta 2012 yang baru berlalu. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi selaku wakil pemerintah dalam pembahasan RUU Pilkada menyambut baik usulan pilkada tak langsung tersebut.
Menurut Gamawan, pilkada melalui perwakilan rakyat di DPRD sudah sesuai dengan UUD 1945. Pilkada tak langsung juga dinilai akan menghemat biaya politik. Kalau sudah melalui DPRD, biayanya pasti murah karena calon tidak perlu kampanye lagi. Cukup menyampaikan visi dan misi di DPRD, ujar dia di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin 24 September 2012.
Pilkada tak langsung ini juga sempat dibahas dalam Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2012 belum lama ini. Khatib Am Syuriah Pengurus Besar NU, Kyai Haji Malik Madani, mengatakan pilkada secara langsung yang diterapkan pemerintah saat ini memicu maraknya praktik politik uang di tengah masyarakat.
Pilkada langsung juga disebut membuat negara mengeluarkan biaya tinggi, baik dari pemerintah maupun para calon yang bertarung. Terakhir, pilkada langsung bahkan dinilai menyebabkan konflik horisontal di antara kelompok pendukung masing-masing calon. Oleh karena itu muncul gagasan untuk mengembalikan proses pilkada ke DPRD seperti pada masa Orde Baru.
Meski menyetujui usul ini, Mendagri berpendapat pilkada tak langsung hanya cocok diterapkan di tingkat provinsi, sementara kepala daerah di tingkat kabupaten/kota sebaiknya tetap dipilih langsung oleh rakyat. Untuk tingkat provinsi bisa diserahkan kepada DPRD, tapi kabupaten/kota masih tetap pemilihan langsung, kata Gamawan.
Pemilihan gubernur tak langsung itu didukung oleh Fraksi Demokrat dan Gerindra, sedangkan fraksi-fraksi lainnya cenderung mempertanyakan bahkan menolak opsi tersebut.
Semula, pada pandangan awal fraksi Juni 2012 lalu, Fraksi PDIP, PAN, PPP, PKB, dan Hanura menolak pemilihan gubernur lewat DPRD dan mendukung pilkada langsung seperti yang saat ini telah berjalan. Sementara itu, Fraksi Golkar dan PKS mempertanyakannya dan merasa opsi tersebut perku dikaji ulang.
Ketua DPP Partai Golkar yang juga Wakil Ketua MPR, Hajriyanto Thohari, menganggap pemilihan lewat DPRD merupakan langkah mundur demokrasi. Alasan efisiensi biaya, menurutnya juga tak relevan. Sulit untuk menghemat biaya demi menyuarakan suara rakyat, kata dia beberapa waktu lalu.
Namun berbagai penolakan itu lalu melunak. Saat ini, hampir semua fraksi di DPR RI telah menyetujui usulan agar gubernur cukup dipilih oleh DPRD. DPR RI pun mencanangkan pembahasan RUU Pilkada akan selesai pada Desember 2012. Apabila RUU ini jadi disahkan menjadi UU oleh DPR, maka UU Pilkada yang baru ini akan berlaku 60 hari sejak disahkan.
Pakar hukum tata negara Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie, berpendapat RUU Pilkada tak mengubah esensi demokrasi yang dijalankan di Indonesia sejak era reformasi. Demokrasi itu ada dua, langsung dan tidak langsung. Gubernur yang dipilih oleh DPRD juga menganut asas demokrasi, hanya tidak dipilih langsung oleh rakyat, namun oleh perwakilan rakyat, kata dia.
Dilarang ke daerah lain
Selain mengembalikan pemilihan gubernur ke tangan DPRD, RUU Pilkada juga membahas pasal larangan bagi seseorang yang tengah menjabat sebagai pemimpin di suatu daerah untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin di daerah lain.
Kalau misalnya dia jadi bupati di daerah A, kemudian mau mencalonkan jadi gubernur di daerah B, dia harus mengundurkan diri dulu dari jabatannya di daerah A itu. Jadi, kalah atau menang di daerah B, dia tidak bisa balik menjabat lagi di daerah A, kata Mendagri Gamawan Fauzi.
Tujuan disisipkannya pasal itu, menurut Gamawan, agar momen pilkada tidak dijadikan semacam undian berhadiah bagi individu maupun partai politik. Kalau tidak ada pasal itu, pilkada kan menjadi undian berhadiah. Kalau kalah di daerah lain, balik lagi di daerah sebelumnya, ujar Mendagri.
Gamawan menyatakan, kalau hal itu terjadi akan merugikan pembangunan di daerah, yang pada akhirnya akan menganggu pembangunan secara nasional. Loyalitas seorang kepala daerah kepada daerah yang dipimpinnya, juga jadi diragukan.
Oleh sebab itu, tegas Gamawan, sebelum masa jabatan lima tahun sang kepala daerah habis, maka ia dilarang mencalonkan di daerah lain kecuali bersedia mundur terlebih dahulu. Intinya, jabatan berlaku lima tahun. Kalau dia mau pindah ke jabatan lain, maka itu hak kami untuk membatasinya, ujar Mendagri.
Ia menambahkan, tak ada kaitan antara pencantuman larangan bagi itu dalam RUU Pilkada dengan kasus majunya Jokowi di Pilkada DKI Jakarta.
Seperti diketahui, Jokowi yang tercatat sebagai Wali Kota Solo diusung PDIP untuk maju di Pilkada DKI Jakarta 2012 sebelum masa jabatannya di Solo selesai.
Gamawan mengatakan pasal larangan ini telah disisipkan di RUU Pilkada sejak tiga bulan lalu, bukan baru-baru ini. Pasal itu sudah tiga bulan dibahas di DPR. Tidak ada kasus Jokowi di sini. Kepala daerah yang seperti itu kan banyak, ada Alex Noerdin, dan lainnya, kata dia.
Sumber :
http://fokus.news.viva.co.id/news/re...ih-gubernurnya
Menurut gw, ini bener2 kemunduran demokrasi.
Kenapa alasannya biayanya? Kita bayar pajak oiiii.....
Terus, waktu pilkada jakarta, klo bukan rakyat yang milih. Mana mungkin Pak jokowi menang?!
Grrrr.....
Setidaknya sampe tingkat walikota lha.. Rakyat boleh milih langsung... Berarti rakyat pilih pemimpinnya.. Dibawah walikota boleh lha pake "demokrasi tidak langsung"
0
7.6K
Kutip
116
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan