- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- Jokes & Cartoon
Selamat tinggal gubernur kuli


TS
bangrudi
Selamat tinggal gubernur kuli
Sedikit gambaran tentang gubernur kuli.
Yang dimaksud di sini bukan merendahkan profesi kuli itu karena kuli juga manusia yang bekerja sesuai porsi dan tanggung jawabnya.
Yang saya ulas di sini adalah lebih ke arah sikap mental manusia itu sendiri.
Mental kuli
Apa saja mental kuli itu? Kita cek satu per satu.
1. Tidak bertanggung jawab
Suatu siang petugas Telkom marah-marah kepada seorang kuli tukang gali.
Petugas \t: Dasar sial, tau nggak kenapa aku panggil kamu?
Kuli \t: tidak tau pak.
Petugas \t: Kamu sudah bikin rugi perusahaanku puluhan juta. Gara-gara kamu mutusin kabel Fiber Optic, jaringan data ke lima kecamatan putus.
Kuli \t: Ampun pak, saya hanya disuruh mandor saya buat galian pipa aer.
Petugas \t: Ya sudah, sana panggil atasan kamu, sekalian penanggung jawab proyeknya!! Saya mau tuntut ganti rugi.
.
.
.
Apa hikmah cerita tsb?
kuli tidak bisa bertanggung jawab terhadap pekerjaannya karena semua tanggung jawab ada pada atasannya.
Gubernur yang bertanggung jawab akan membuat laporan pertanggungjawabah ke masyarakat kemana anggaran provinsi dia alokasikan.
Ini beda bener dengan gubernur kuli, anggaran habis tapi ga jelas kemana larinya.
2. Tidak punya program ke depan
Pas anda bertemu kuli panggul saat dia istirahat makan siang.
Sambil menemani makan, coba iseng-iseng anda tanya mengenai keluarganya, anaknya serta harapannya.
Jawabannya tidak muluk-muluk. "Saya hanya ingin diberi kesehatan agar bisa bekerja buat keluarga saya di esok hari."
Sebuah jawaban yang simple tapi masuk akal, karena mereka diupah harian maka bila sakit hilanglah upah hari itu.
Ini berbeda dengan karyawan yang tetep terima gaji meskipun cuti atau sakit.
Nah bagaimana dengan gubernur kuli?
Gubernur ini tidak punya program, pemerintahan jalan dengan sendirinya tanpa kejelasan mau dibawa kemana.
Sebenarnya program tidak harus orisinil, artinya bisa mengadopsi ide negara lain.
Ambil contoh busway yang dirancang oleh bang Yos.
Bang Yos punya konsep ibukota Megapolitan dengan kota-kota satelit pendukungnya, Bogor, Depok, Bekasi dsb yang nanti akan saling terhubung.
Ini beda dengan gubernur sekarang, tinggal melanjutkan program aja ga becus. Serasa gada manfaatnya ada jabatan gubernur.
3. Main aman
Suatu saat Gubernur kuli ditanyai anggota DPRD DKI dalam acara sidang dengan DPRD.
DPRD : Coba jelaskan buat apa anggaran kebersihan satu trilyun.
Gubernur : Anggaran itu sbagian besar dialokasikan untuk biaya operasional pengangkutan sampah, pengerukan sungai, dan pembelian alat berat.
Setiap hari, paling ga ada 50 truk sampah yang mengangkut sampah dari pintu air di Jakarta. Saya sudah cek sendiri ke lapangan.
DPRD : Terus saya harus bilang wow gituu?
Prestasi anda seharusnya dilihat dari kebersihan sungainya bukan jumlah sampah yang diangkut.
Anda baru saya sebut berhasil kalau tidak ada warga anda yang membuang sampah di sungai.
Gubernur kuli (dalam hati) : sial gw, mau cari muka malah kena damprat.
.
.
.
Hikmah yang diambil :
kuli suka mengamankan posisinya agar tidak dipecat sama bosnya.
Gubernur kuli ga punya terobosan baru.
Dia cuma liat anggaran kebersihan tahun lalu, selanjutnya untuk tahun depan dia kasih tambahan 20%.
Ini aman dan wajar menurut dia karena ada pertambahan penduduk dan kenaikan biaya operasional, sehingga anggaran kebersihan juga harus naik.
Sebaliknya gubernur yang visioner berani mengajukan proposal 10x lipat anggaran tahun kemarin dengan membangun incinerator dan pembangkit tenaga sampah.
Dia tidak takut proposalnya ditolak, karena tujuannya jelas dan dia sanggup memperjuangkan itu.
Bila dikelola dengan benar, sampah bisa menghasilkan energy listrik.
Gambar
4. Tidak bisa menganalisa masalah
Pendidikan tinggi tidak menjamin seseorang tidak bermental kuli.
Orang bermental kuli, apapun status dan kedudukannya tidak bisa berpikir maju. Bisanya berkutat mengurangi dampak masalah dan bukan mencari akar permasalahan.
Ambil contoh Tol trans Jawa.
Ini adalah ide yang lama, sampai sekarang tidak terwujud karena diributkan masalah konversi lahan pertanian menjadi jalan raya.
Mungkin kalo Belanda tidak membuat jalan pos Anyer Panarukan, jalur pantura tidak ada sampai sekarang.
Sama halnya masalah banjir yang berasal dari Bogor, kenapa tidak diselesaikan di tempat asalnya. Kenapa harus mengeruk sungai dan muara bila ini bisa dihindari?
5. Tidak bisa bekerja sama
Sebenarnya tidak semua kuli tidak bisa bekerja sama.
Tapi ada kasus di mana kuli saling menjatuhkan.
Ada satu cerita tentang kuli yang spesialis bikin tembok.
Dia seneng liat temannya yang kuli instalasi listrik capek bobok tembok. Tuh rasain, emang enak ngganggu kerjaan gw. Makan tu tembok
.
.
.
Sebenarnya dari sisi proyek ada kerugian waktu dan material karena bongkar pasang kerjaan. Hal yang seharusnya bisa dihindari, karena ego pribadi jadi merugikan orang lain.
Kaitannya dengan Gubernur kuli adalah sifat mau menang sendiri arogan.
Masih jelas dalam ingatan, saat lima tahun lalu Fake yang maju sendiri sebagai calon gubernur tanpa wakil. Saat mendekati pemilihan barulah ditarik seorang Prijanto.
Secara logika, orang yang baru diambil saat terakhir pasti tidak punya visi atau tujuan yang sama. Terbukti kemudian Prijanto mundur karena tidak bisa bekerja sama dengan Fake.
6. Lebih mengandalkan otot dibanding akal
Kembali ke masa lalu, di jaman penjajahan Belanda.
Saat itu saudagar kaya selalu memiliki centeng sebagai pengawal pribadinya. Centeng ini bisa berupa penjahat atau preman yang ditakuti oleh orang lain.
Centeng modern biasanya diambil golongan purnawirawan untuk menjamin keamanan. Tidak perlu cari wakil yang punya visi, atau berpengalaman sebagai kepala daerah. Yang perlu adalah power, toh gubernur kuli udah biasa kerja sendiri.
Pendekatan represif dan mengandalkan power ini sangat identik dengan kuli yang mengandalkan kekuatan otot dibanding daya pikirnya.
Sementara orang lain mengandalkan dialog dan pendekatan manusiawi, orang ini malah mengandalkan kekuasannya dalam menekan masalah.
7. Tidak pernah belajar.
Lamanya orang belajar tidak selalu berbanding lurus dengan hasil yang didapatnya.
Bila belajar dengan asal-asalan maka hasil yang di dapat adalah nol.
Ini dialog antara tim Fit and proper test dengan calon Gubernur lima tahun lalu.
Tim : Apa modal anda dalam memimpin Jakarta lima tahun mendatang
Calon : Saya sudah 20 tahun di lingkungan pemda sehingga saya sangat hapal seluk beluk di lingkungan saya.
Bila nanti terpilih, saya tinggal melanjutkan kerja yang saya rintis. Saya tidak perlu banyak waktu untuk belajar hal baru.
Tim : Bisa dijelaskan bidang anda sebelumnya.
Calon : Saya adalah tukang sapu di kantor pemda.
Tim : Oh, pantas! Nanti bila terpilih, anda bisa langsung melanjutkan pekerjaan anda (sebagai tukang sapu tentunya).
.
.
.
Hikmahnya :
bhw pekerjaan yang dilakukan tanpa proses belajar tidak akan memberi manfaat apapun bagi pelakunya.
Apa bedanya tukang sapu berpengalaman 20 tahun dengan tukang sapu berpengalaman 1 tahun, toh hasil kerjanya sama saja.
Orang yang berkecimpung sekian lama sebagai tenaga ahli dan wakil gubernur tetapi tidak pernah belajar, tidak akan mampu membuat perbaikan.
Lebih baik orang baru dengan sedikit pengalaman tetapi mau belajar.
Sebagai kesimpulan akhir.
Apakah sedemikian buruknya citra gubernur kita sehingga layak disebut gubernur kuli?
.
.
.
Sebenarnya ada sifat gubernur kita yang tidak ada pada kuli.
Banyak ngomong sedikit kerja.
Berbeda dengan kuli yang banyak kerja sedikit bicara, gubernur kita lebih banyak ngomongnya dibanding kerjanya.
Jadi kesimpulannya, Fake memang lebih rendah dibandingkan kuli.
Yang dimaksud di sini bukan merendahkan profesi kuli itu karena kuli juga manusia yang bekerja sesuai porsi dan tanggung jawabnya.
Yang saya ulas di sini adalah lebih ke arah sikap mental manusia itu sendiri.
Mental kuli
Apa saja mental kuli itu? Kita cek satu per satu.
1. Tidak bertanggung jawab
Spoiler for penjelasan:
Suatu siang petugas Telkom marah-marah kepada seorang kuli tukang gali.
Petugas \t: Dasar sial, tau nggak kenapa aku panggil kamu?
Kuli \t: tidak tau pak.
Petugas \t: Kamu sudah bikin rugi perusahaanku puluhan juta. Gara-gara kamu mutusin kabel Fiber Optic, jaringan data ke lima kecamatan putus.
Kuli \t: Ampun pak, saya hanya disuruh mandor saya buat galian pipa aer.
Petugas \t: Ya sudah, sana panggil atasan kamu, sekalian penanggung jawab proyeknya!! Saya mau tuntut ganti rugi.
.
.
.
Apa hikmah cerita tsb?
kuli tidak bisa bertanggung jawab terhadap pekerjaannya karena semua tanggung jawab ada pada atasannya.
Gubernur yang bertanggung jawab akan membuat laporan pertanggungjawabah ke masyarakat kemana anggaran provinsi dia alokasikan.
Ini beda bener dengan gubernur kuli, anggaran habis tapi ga jelas kemana larinya.
2. Tidak punya program ke depan
Spoiler for penjelasan:
Pas anda bertemu kuli panggul saat dia istirahat makan siang.
Sambil menemani makan, coba iseng-iseng anda tanya mengenai keluarganya, anaknya serta harapannya.
Jawabannya tidak muluk-muluk. "Saya hanya ingin diberi kesehatan agar bisa bekerja buat keluarga saya di esok hari."
Sebuah jawaban yang simple tapi masuk akal, karena mereka diupah harian maka bila sakit hilanglah upah hari itu.
Ini berbeda dengan karyawan yang tetep terima gaji meskipun cuti atau sakit.
Nah bagaimana dengan gubernur kuli?
Gubernur ini tidak punya program, pemerintahan jalan dengan sendirinya tanpa kejelasan mau dibawa kemana.
Sebenarnya program tidak harus orisinil, artinya bisa mengadopsi ide negara lain.
Ambil contoh busway yang dirancang oleh bang Yos.
Bang Yos punya konsep ibukota Megapolitan dengan kota-kota satelit pendukungnya, Bogor, Depok, Bekasi dsb yang nanti akan saling terhubung.
Ini beda dengan gubernur sekarang, tinggal melanjutkan program aja ga becus. Serasa gada manfaatnya ada jabatan gubernur.
3. Main aman
Spoiler for penjelasan:
Suatu saat Gubernur kuli ditanyai anggota DPRD DKI dalam acara sidang dengan DPRD.
DPRD : Coba jelaskan buat apa anggaran kebersihan satu trilyun.
Gubernur : Anggaran itu sbagian besar dialokasikan untuk biaya operasional pengangkutan sampah, pengerukan sungai, dan pembelian alat berat.
Setiap hari, paling ga ada 50 truk sampah yang mengangkut sampah dari pintu air di Jakarta. Saya sudah cek sendiri ke lapangan.
DPRD : Terus saya harus bilang wow gituu?
Prestasi anda seharusnya dilihat dari kebersihan sungainya bukan jumlah sampah yang diangkut.
Anda baru saya sebut berhasil kalau tidak ada warga anda yang membuang sampah di sungai.
Gubernur kuli (dalam hati) : sial gw, mau cari muka malah kena damprat.
.
.
.
Hikmah yang diambil :
kuli suka mengamankan posisinya agar tidak dipecat sama bosnya.
Gubernur kuli ga punya terobosan baru.
Dia cuma liat anggaran kebersihan tahun lalu, selanjutnya untuk tahun depan dia kasih tambahan 20%.
Ini aman dan wajar menurut dia karena ada pertambahan penduduk dan kenaikan biaya operasional, sehingga anggaran kebersihan juga harus naik.
Sebaliknya gubernur yang visioner berani mengajukan proposal 10x lipat anggaran tahun kemarin dengan membangun incinerator dan pembangkit tenaga sampah.
Dia tidak takut proposalnya ditolak, karena tujuannya jelas dan dia sanggup memperjuangkan itu.
Bila dikelola dengan benar, sampah bisa menghasilkan energy listrik.
Gambar
4. Tidak bisa menganalisa masalah
Spoiler for penjelasan:
Pendidikan tinggi tidak menjamin seseorang tidak bermental kuli.
Orang bermental kuli, apapun status dan kedudukannya tidak bisa berpikir maju. Bisanya berkutat mengurangi dampak masalah dan bukan mencari akar permasalahan.
Ambil contoh Tol trans Jawa.
Ini adalah ide yang lama, sampai sekarang tidak terwujud karena diributkan masalah konversi lahan pertanian menjadi jalan raya.
Mungkin kalo Belanda tidak membuat jalan pos Anyer Panarukan, jalur pantura tidak ada sampai sekarang.
Sama halnya masalah banjir yang berasal dari Bogor, kenapa tidak diselesaikan di tempat asalnya. Kenapa harus mengeruk sungai dan muara bila ini bisa dihindari?
5. Tidak bisa bekerja sama
Spoiler for penjelasan:
Sebenarnya tidak semua kuli tidak bisa bekerja sama.
Tapi ada kasus di mana kuli saling menjatuhkan.
Ada satu cerita tentang kuli yang spesialis bikin tembok.
Dia seneng liat temannya yang kuli instalasi listrik capek bobok tembok. Tuh rasain, emang enak ngganggu kerjaan gw. Makan tu tembok
.
.
.
Sebenarnya dari sisi proyek ada kerugian waktu dan material karena bongkar pasang kerjaan. Hal yang seharusnya bisa dihindari, karena ego pribadi jadi merugikan orang lain.
Kaitannya dengan Gubernur kuli adalah sifat mau menang sendiri arogan.
Masih jelas dalam ingatan, saat lima tahun lalu Fake yang maju sendiri sebagai calon gubernur tanpa wakil. Saat mendekati pemilihan barulah ditarik seorang Prijanto.
Secara logika, orang yang baru diambil saat terakhir pasti tidak punya visi atau tujuan yang sama. Terbukti kemudian Prijanto mundur karena tidak bisa bekerja sama dengan Fake.
6. Lebih mengandalkan otot dibanding akal
Spoiler for penjelasan:
Kembali ke masa lalu, di jaman penjajahan Belanda.
Saat itu saudagar kaya selalu memiliki centeng sebagai pengawal pribadinya. Centeng ini bisa berupa penjahat atau preman yang ditakuti oleh orang lain.
Centeng modern biasanya diambil golongan purnawirawan untuk menjamin keamanan. Tidak perlu cari wakil yang punya visi, atau berpengalaman sebagai kepala daerah. Yang perlu adalah power, toh gubernur kuli udah biasa kerja sendiri.
Pendekatan represif dan mengandalkan power ini sangat identik dengan kuli yang mengandalkan kekuatan otot dibanding daya pikirnya.
Sementara orang lain mengandalkan dialog dan pendekatan manusiawi, orang ini malah mengandalkan kekuasannya dalam menekan masalah.
7. Tidak pernah belajar.
Spoiler for penjelasan:
Lamanya orang belajar tidak selalu berbanding lurus dengan hasil yang didapatnya.
Bila belajar dengan asal-asalan maka hasil yang di dapat adalah nol.
Ini dialog antara tim Fit and proper test dengan calon Gubernur lima tahun lalu.
Tim : Apa modal anda dalam memimpin Jakarta lima tahun mendatang
Calon : Saya sudah 20 tahun di lingkungan pemda sehingga saya sangat hapal seluk beluk di lingkungan saya.
Bila nanti terpilih, saya tinggal melanjutkan kerja yang saya rintis. Saya tidak perlu banyak waktu untuk belajar hal baru.
Tim : Bisa dijelaskan bidang anda sebelumnya.
Calon : Saya adalah tukang sapu di kantor pemda.
Tim : Oh, pantas! Nanti bila terpilih, anda bisa langsung melanjutkan pekerjaan anda (sebagai tukang sapu tentunya).
.
.
.
Hikmahnya :
bhw pekerjaan yang dilakukan tanpa proses belajar tidak akan memberi manfaat apapun bagi pelakunya.
Apa bedanya tukang sapu berpengalaman 20 tahun dengan tukang sapu berpengalaman 1 tahun, toh hasil kerjanya sama saja.
Orang yang berkecimpung sekian lama sebagai tenaga ahli dan wakil gubernur tetapi tidak pernah belajar, tidak akan mampu membuat perbaikan.
Lebih baik orang baru dengan sedikit pengalaman tetapi mau belajar.
Spoiler for kesimpulan:
Sebagai kesimpulan akhir.
Apakah sedemikian buruknya citra gubernur kita sehingga layak disebut gubernur kuli?
.
.
.
Sebenarnya ada sifat gubernur kita yang tidak ada pada kuli.
Banyak ngomong sedikit kerja.
Berbeda dengan kuli yang banyak kerja sedikit bicara, gubernur kita lebih banyak ngomongnya dibanding kerjanya.
Jadi kesimpulannya, Fake memang lebih rendah dibandingkan kuli.
0
2.2K
Kutip
64
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan