- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ketua Nasdem NTB Dituntut Empat Tahun Penjara
TS
Susu.Kegadisan
Ketua Nasdem NTB Dituntut Empat Tahun Penjara
MATARAM, GOMONG.COM Oknum Ketua Partai Nasdem NTB, H. Darmawan, dituntut empat tahun penjara dalam sidang kasus dugaan pemalsuan surat tanah di Pengadilan Negeri Mataram, hari ini (6/9). Dia dijerat dengan Pasal 378 KUHP.
Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Lalu Rudi Gunawan, SH, menuntut tinggi hukuman terdakwa karena akibat perbuatannya yang diduga memalsukan dokumen tanah seluas 31 are di Sekarbela Mataram menimbulkan kerugian korban, Kopyang, mencapai Rp 1 miliar lebih, sesuai harga tanah itu berikut surat-surat yang dipalsukan.
Hal yang dianggap memberatkan, karena terdakwa tidak mengakui perbuatannya dan selalu berbelit-belit dalam memberi keterangan di depan persidangan, kata Rudi Gunawan dihubungi wartawan usai sidang. Terdakwa juga dinilai sebagai tokoh politik dan tokoh masyarakat yang seharusnya menjadi panutan, bukan sebaliknya terlibat dalam perbuatan pidana.
Selain dakwaan primair, terdakwa juga dijerat dengan dakwaan subsider pasal 266 ayat 1 Jo pasal 64 ayat 1 KUHP, karena perbuatan terdakwa berlanjut dan membuat korban mengalami kerugian lebih dari Rp 1 miliar.
Hal lain memberatkan terdakwa, karena sebelumnya yang pernah menjadi residivis.
Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pledoi dari terdakwa yang didampingi penasehat hukumnya, Hijrat Prayitno.
Kronologis Permasalahan
Kasus sengketa lahan ini bermula saat H Darmawan mempermasalahkan dengan adiknya, Adyani, yang merupakan penggarap terakhir tanah milik Kopyang ini pada 2001. Keduanya saling mengklaim jika lahan itu milik mereka sendiri. Keributan keduanya itu sampai juga ke telinga Kopyang yang saat itu tinggal di Bali. Kopyang pun menggugat Darmawan yang terus ngotot akan lahan 31 are tersebut. PN Mataram memenangkan gugatan Kopyang 2005 silam.
Darmawan pun banding dan Pengadilan Tinggi (PT) NTB memenangkannya. Tidak terima dengan putusan di PT yang mengalahkannya, Kopyang melakukan upaya hukum luar biasa yakni Kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Masih merasa tidak puas, Kompiyang menelusuri bukti yang bisa mendukungnya dan menemukan bahwa para saksi dalam perkara itu telah disetir Darmawan yakni Ketut Putra dan I Gede Dwi Payana untuk bersaksi sesuai keinginan Darmawan dan membantu memberikan keterangan paslu dalam pembuatan surat jual beli. Ia pun mempidanakan kasus ini yang naik ke Kejati Mei lalu dan disidangkan mulai Juni.
Dalam dakwaan JPU, lahan ini pertama kali milik Nur Syafii. Sekitar 1965 dibelilah tanah sawah 62 are ini oleh Mustajib. Tidak lama kemudian dibeli oleh Kompyang. Karena tinggal di Bali, Kopyang pun menyerahkan lahan tersebut untuk digarap Amaq Husein. Setelah dikelola Husein dalam bentuk sawah, lambat laun menjadi kebun yang dikelola terakhir hingga 2005 adik Darmawan bernama Adyani.
Tahun 2005, Darmawan diduga membuat surat jual beli palsu akan objek sengketa tersebut. Terdakwa menyebut, jika lahan 31 are dimiliki Ketut Putra dan I Gede Dwi Payana yang dibeli dari I Ketut Buntilan, warga Karang Medain, seharga Rp 51 juta pada 28 Agustus 1984. Padahal I Ketut Buntilan telah meninggal pada 1979 dan diaben pada 1985.
Darmawan selanjutnya pada 1996 objek sengketa dijual Gde Dwi Payana kepada Darmawan. Namun, ganjilnya, dalam kwitansi pembayaran tidak mencantumkan nama Ketut Putra. Padalah lahan tersebut milik keduanya yang dibeli dari I Ketut Buntilan 1984 silam seperti cerita awal pembuatan surat jual beli yang diduga palsu itu.
Kopyang telah mensertifikatkan lahan ini ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Mataram 2005. Karena diklaim Darmawan di tahun yang sama. Kopyang bersurat kepada BPN untuk mencegah diterbitkannya kembali sertifikat atas nama Darmawan yang mengklaim lahan milik Kopyang tersebut. (won)
berita
manteblah Pak Katua :
pernah jadi residivis, gak kapok2...bikin pemalsuan aja gak becus, masak jual beli ama orang mati
Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Lalu Rudi Gunawan, SH, menuntut tinggi hukuman terdakwa karena akibat perbuatannya yang diduga memalsukan dokumen tanah seluas 31 are di Sekarbela Mataram menimbulkan kerugian korban, Kopyang, mencapai Rp 1 miliar lebih, sesuai harga tanah itu berikut surat-surat yang dipalsukan.
Hal yang dianggap memberatkan, karena terdakwa tidak mengakui perbuatannya dan selalu berbelit-belit dalam memberi keterangan di depan persidangan, kata Rudi Gunawan dihubungi wartawan usai sidang. Terdakwa juga dinilai sebagai tokoh politik dan tokoh masyarakat yang seharusnya menjadi panutan, bukan sebaliknya terlibat dalam perbuatan pidana.
Selain dakwaan primair, terdakwa juga dijerat dengan dakwaan subsider pasal 266 ayat 1 Jo pasal 64 ayat 1 KUHP, karena perbuatan terdakwa berlanjut dan membuat korban mengalami kerugian lebih dari Rp 1 miliar.
Hal lain memberatkan terdakwa, karena sebelumnya yang pernah menjadi residivis.
Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pledoi dari terdakwa yang didampingi penasehat hukumnya, Hijrat Prayitno.
Kronologis Permasalahan
Kasus sengketa lahan ini bermula saat H Darmawan mempermasalahkan dengan adiknya, Adyani, yang merupakan penggarap terakhir tanah milik Kopyang ini pada 2001. Keduanya saling mengklaim jika lahan itu milik mereka sendiri. Keributan keduanya itu sampai juga ke telinga Kopyang yang saat itu tinggal di Bali. Kopyang pun menggugat Darmawan yang terus ngotot akan lahan 31 are tersebut. PN Mataram memenangkan gugatan Kopyang 2005 silam.
Darmawan pun banding dan Pengadilan Tinggi (PT) NTB memenangkannya. Tidak terima dengan putusan di PT yang mengalahkannya, Kopyang melakukan upaya hukum luar biasa yakni Kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Masih merasa tidak puas, Kompiyang menelusuri bukti yang bisa mendukungnya dan menemukan bahwa para saksi dalam perkara itu telah disetir Darmawan yakni Ketut Putra dan I Gede Dwi Payana untuk bersaksi sesuai keinginan Darmawan dan membantu memberikan keterangan paslu dalam pembuatan surat jual beli. Ia pun mempidanakan kasus ini yang naik ke Kejati Mei lalu dan disidangkan mulai Juni.
Dalam dakwaan JPU, lahan ini pertama kali milik Nur Syafii. Sekitar 1965 dibelilah tanah sawah 62 are ini oleh Mustajib. Tidak lama kemudian dibeli oleh Kompyang. Karena tinggal di Bali, Kopyang pun menyerahkan lahan tersebut untuk digarap Amaq Husein. Setelah dikelola Husein dalam bentuk sawah, lambat laun menjadi kebun yang dikelola terakhir hingga 2005 adik Darmawan bernama Adyani.
Tahun 2005, Darmawan diduga membuat surat jual beli palsu akan objek sengketa tersebut. Terdakwa menyebut, jika lahan 31 are dimiliki Ketut Putra dan I Gede Dwi Payana yang dibeli dari I Ketut Buntilan, warga Karang Medain, seharga Rp 51 juta pada 28 Agustus 1984. Padahal I Ketut Buntilan telah meninggal pada 1979 dan diaben pada 1985.
Darmawan selanjutnya pada 1996 objek sengketa dijual Gde Dwi Payana kepada Darmawan. Namun, ganjilnya, dalam kwitansi pembayaran tidak mencantumkan nama Ketut Putra. Padalah lahan tersebut milik keduanya yang dibeli dari I Ketut Buntilan 1984 silam seperti cerita awal pembuatan surat jual beli yang diduga palsu itu.
Kopyang telah mensertifikatkan lahan ini ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Mataram 2005. Karena diklaim Darmawan di tahun yang sama. Kopyang bersurat kepada BPN untuk mencegah diterbitkannya kembali sertifikat atas nama Darmawan yang mengklaim lahan milik Kopyang tersebut. (won)
berita
manteblah Pak Katua :
pernah jadi residivis, gak kapok2...bikin pemalsuan aja gak becus, masak jual beli ama orang mati
0
2.2K
21
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan