- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
"the act of killing" Film tentang pembasmian PKI di putar di TIFF 2012
TS
Mr.lien
"the act of killing" Film tentang pembasmian PKI di putar di TIFF 2012
Sebelumnya TS hanya menyampaikan, seluruh sumber berita TS sertakan, adapun komentar pribadi juga akan di beri tag.
Komentar pribadi:
Link: TIFF
the act of killing website
Jadi TIFF (toronto film festival) yg akan di putar dari tgl 2-16 september 2012, Dari ratusan film yg masuk ada satu film yg membahas tentang Indonesia. The act of killing, film yg menceritakan tentang pembasmian PKI di Indonesia.
TRAILER FILM:
Akankah film ini di puter di indonesia????
monggo komentarnya
Komentar pribadi:
Link: TIFF
the act of killing website
Jadi TIFF (toronto film festival) yg akan di putar dari tgl 2-16 september 2012, Dari ratusan film yg masuk ada satu film yg membahas tentang Indonesia. The act of killing, film yg menceritakan tentang pembasmian PKI di Indonesia.
TRAILER FILM:
Quote:
Mengail kontroversi lewat PKI
Anwar Congo, pemeran utama film The Act of Killing di rumahnya, Medan, Sumatera Utara, Rabu (29/8). (merdeka.com/Yan Muhardiansyah)
Kategori
Khas
Berita tag terkait
Tertipu sang sutradara
Bertemu sang pemeran utama
61
Reporter: Faisal Assegaf
Dari tema diambil, The Act of Killing, jelas bisa memantik kontroversi di dalam negeri dan masyarakat internasional. Tidak seperti film-film bertema peristiwa 1965 lain, dokumenter karya Joshua Lincoln Oppenheimer ini memotret peristiwa pembantaian anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama etnis Tionghoa dari sudut pelaku.
Cuplikan film sudah beredar di Internet sejak Selasa pekan lalu ini menampilkan betapa gembiranya para pelaku berseragam sebuah organisasi pemuda yang masih ada sampai kini karena berhasil membasmi musuh negara itu. Wajah mereka juga tidak menampakkan penyesalan. Ditambah lagi muncul dua tokoh, yakni mantan wakil presiden Jusuf Kalla dan Ketua Majelis Pimpinan Nasional Pemuda Pancasila Japto Soerjosoemarno.
Hingga berita ini dilansir, kedua pemuka masyarakat itu belum bisa dimintai komentar soal tampilnya mereka dalam film itu. Kalla yang kini memimpin Palang Merah Indonesia tidak bisa ditemui di kantornya. Orang dekatnya juga tidak dapat dihubungi. Telepon seluler Japto juga tidak aktif. Ketika dihubungi rumahnya, disebutkan dia sedang ke luar kota.
Ketua KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) Haris Azhar memastikan film ini bakal menghebohkan hingga dunia internasional. Bukan lantaran temanya saja, namun film ini juga memotret langsung pelaku lapangan dari organisasi yang sampai saat ini masih berpengaruh. "Film ini akan makin menunjukkan apa sebenarnya terjadi pada pembantaian 1965," katanya saat dihubungi merdeka.com melalui telepon selulernya Jumat pekan lalu.
Komentar serupa juga meluncur dari lisan sejarawan Asvi Warman Adam. Dia menegaskan The Act of Killing bakal makin menguatkan bukti perlunya pembentukan pengadilan hak asasi adhoc buat kasus 1965, seperti rekomendasi dibuat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Juli lalu.
Dia yakin film ini bakal mengubah pandangan Barat dalam konteks Perang Dingin terhadap peristiwa 1965. "Selama ini masyarakat Barat mengakui (pembantaian PKI) itu jahat tapi perlu dilakukan," ujar Asvi saat dihubungi secara terpisah.
Film sepanjang 115 menit ini dipuji sejumlah kalangan. "Saya belum pernah melihat satu film berpengaruh dan menakutkan (seperti The Act of Killing) dalam satu dekade terakhir," kata Werner Herzog (aktor, sutradara, dan produser asal Jerman), seperti dikutip dari situs theactofkilling.com. "The Act of Killing sangat mengejutkan dalam sejarah film."
Errol Mark Morris menilai The Act of Killing sebagai potret luar biasa dari pembantaian massal. "Sebuah film menakjubkan dan mengesankan," kata sutradara dari Amerika Serikat ini. Surat kabar the Guardian sembilan tahun lalu menempatkan lelaki 64 tahun ini pada peringkat ketujuh dalam daftar 40 sutradar terbaik sejagat.
Bukan sekadar cerita dan tokohnya yang kontroversial, penggarapannya juga bisa menjadi polemik. Oppenheimer bekerja sama dengan sejumlah pihak di Indonesia, namun identitas mereka disembunyikan. Ini termasuk satu dari tiga sutradara selain Oppenheimer dan Christine Cynn.
Sutradara ini mengaku mantan mahasiswa ikut demonstrasi anti-Soeharto pada 1998. "Saya harus tetap menyembunyikan identitas saya karena kondisi politik Indonesia saat ini masih terlalu berbahaya jika saya membuka diri," ujarnya.
Oppenheimer berhasil meminta Anwar dan rekan-rekannya membuat film tentang pengalaman mereka masa muda yang menggemari film-film koboi, termasuk saat mereka membasmi PKI. Alhasil, film diberi judul Arsan dan Aminah itu menjadi bagian dari The Act of Killing.
Ironisnya, Anwar yang menjadi pemeran utama tahunya film itu berjudul Arsan dan Aminah, bukan The Act of Killing yang Sabtu pekan ini diputar di Festival Film Internasional Toronto, Kanada.
[fas]
sumber: http://www.merdeka.com/khas/mengail-...killing-1.html
Anwar Congo, pemeran utama film The Act of Killing di rumahnya, Medan, Sumatera Utara, Rabu (29/8). (merdeka.com/Yan Muhardiansyah)
Kategori
Khas
Berita tag terkait
Tertipu sang sutradara
Bertemu sang pemeran utama
61
Reporter: Faisal Assegaf
Dari tema diambil, The Act of Killing, jelas bisa memantik kontroversi di dalam negeri dan masyarakat internasional. Tidak seperti film-film bertema peristiwa 1965 lain, dokumenter karya Joshua Lincoln Oppenheimer ini memotret peristiwa pembantaian anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama etnis Tionghoa dari sudut pelaku.
Cuplikan film sudah beredar di Internet sejak Selasa pekan lalu ini menampilkan betapa gembiranya para pelaku berseragam sebuah organisasi pemuda yang masih ada sampai kini karena berhasil membasmi musuh negara itu. Wajah mereka juga tidak menampakkan penyesalan. Ditambah lagi muncul dua tokoh, yakni mantan wakil presiden Jusuf Kalla dan Ketua Majelis Pimpinan Nasional Pemuda Pancasila Japto Soerjosoemarno.
Hingga berita ini dilansir, kedua pemuka masyarakat itu belum bisa dimintai komentar soal tampilnya mereka dalam film itu. Kalla yang kini memimpin Palang Merah Indonesia tidak bisa ditemui di kantornya. Orang dekatnya juga tidak dapat dihubungi. Telepon seluler Japto juga tidak aktif. Ketika dihubungi rumahnya, disebutkan dia sedang ke luar kota.
Ketua KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) Haris Azhar memastikan film ini bakal menghebohkan hingga dunia internasional. Bukan lantaran temanya saja, namun film ini juga memotret langsung pelaku lapangan dari organisasi yang sampai saat ini masih berpengaruh. "Film ini akan makin menunjukkan apa sebenarnya terjadi pada pembantaian 1965," katanya saat dihubungi merdeka.com melalui telepon selulernya Jumat pekan lalu.
Komentar serupa juga meluncur dari lisan sejarawan Asvi Warman Adam. Dia menegaskan The Act of Killing bakal makin menguatkan bukti perlunya pembentukan pengadilan hak asasi adhoc buat kasus 1965, seperti rekomendasi dibuat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Juli lalu.
Dia yakin film ini bakal mengubah pandangan Barat dalam konteks Perang Dingin terhadap peristiwa 1965. "Selama ini masyarakat Barat mengakui (pembantaian PKI) itu jahat tapi perlu dilakukan," ujar Asvi saat dihubungi secara terpisah.
Film sepanjang 115 menit ini dipuji sejumlah kalangan. "Saya belum pernah melihat satu film berpengaruh dan menakutkan (seperti The Act of Killing) dalam satu dekade terakhir," kata Werner Herzog (aktor, sutradara, dan produser asal Jerman), seperti dikutip dari situs theactofkilling.com. "The Act of Killing sangat mengejutkan dalam sejarah film."
Errol Mark Morris menilai The Act of Killing sebagai potret luar biasa dari pembantaian massal. "Sebuah film menakjubkan dan mengesankan," kata sutradara dari Amerika Serikat ini. Surat kabar the Guardian sembilan tahun lalu menempatkan lelaki 64 tahun ini pada peringkat ketujuh dalam daftar 40 sutradar terbaik sejagat.
Bukan sekadar cerita dan tokohnya yang kontroversial, penggarapannya juga bisa menjadi polemik. Oppenheimer bekerja sama dengan sejumlah pihak di Indonesia, namun identitas mereka disembunyikan. Ini termasuk satu dari tiga sutradara selain Oppenheimer dan Christine Cynn.
Sutradara ini mengaku mantan mahasiswa ikut demonstrasi anti-Soeharto pada 1998. "Saya harus tetap menyembunyikan identitas saya karena kondisi politik Indonesia saat ini masih terlalu berbahaya jika saya membuka diri," ujarnya.
Oppenheimer berhasil meminta Anwar dan rekan-rekannya membuat film tentang pengalaman mereka masa muda yang menggemari film-film koboi, termasuk saat mereka membasmi PKI. Alhasil, film diberi judul Arsan dan Aminah itu menjadi bagian dari The Act of Killing.
Ironisnya, Anwar yang menjadi pemeran utama tahunya film itu berjudul Arsan dan Aminah, bukan The Act of Killing yang Sabtu pekan ini diputar di Festival Film Internasional Toronto, Kanada.
[fas]
sumber: http://www.merdeka.com/khas/mengail-...killing-1.html
Quote:
Tertipu sang sutradara
Adegan The Act of Killing. (theactofkilling.com)
Kategori
Khas
Berita tag terkait
Bertemu sang pemeran utama
Saya tidak menyesal
6
Reporter: Faisal Assegaf
Empat tahun lalu, datang seorang bule ke Kota Medan, Sumatera Utara. Dia mencari narasumber untuk membuat film dokumenter soal pembantaian anggota Partai Komunis Indonesia dan etnis Tionghoa di provinsi itu hampir setengah abad lalu.
Setelah bertanya ke sana kemari, lelaki kelahiran Austin, Negara Bagian Texas, Amerika Serikat, bernama Joshua Lincoln Oppenheimer ini mendapat arahan buat menemui Anwar Congo. Dia bersama rekan-rekannya dari sebuah organisasi pemuda pada 1965 ikut membasmi ribuan anggota PKI dan warga keturunan China di seantero Sumatera Utara. "Saya waktu itu orang lapangan dan selalu hadir dalam tiap acara organisasi," kata Anwar saat dihubungi merdeka.com melalui telepon selulernya, Rabu pekan lalu.
Kepada Anwar, Oppenheimer fasih berbahasa Indonesia, menyatakan ingin membuat film mengenai pengalaman pria yang kini 72 tahun ini saat membantai anggota dan simpatisan organisasi terlarang itu. Oppenheimer mengaku film itu bagian dari disertasinya.
Oppenheimer pernah berkuliah di jurusan film di Universitas Harvard, Massachusetts, Amerika. Dia menyelesaikan program doktornya di bidang seni di Central Santi Martins College of the Art and Design, University of the Art London.
Anwar antusias mendengar hal itu dan dia langsung menyetujui rencana pembuatan film mengenai pembantaian itu. Apalagi, dia menjadi tokoh utama dalam film berjudul The Act of Killing itu. "Tidak pernah ada yang bikin sejarah kehidupan saya. Tentu ada kebanggaan. Makanya saya bercerita spontan dan blak-blakan saja," ujar pria mengaku lulusan kelas 4 SD ini.
Menurut Anwar, syuting berlangsung sekitar dua tahun mulai 2008. Selama itu pula, Oppenheimer bersama Anwar menjelajahi sejumlah lokasi pembantaian di Sumatera Utara, seperti Labuan Batu, Tanah Karo, dan Langkat.
Tiga bulan lalu, seingat dia, Oppenheimer datang menyodorkan surat perjanjian dalam bahasa Inggris. Tentu saja, Anwar tidak memahami isinya. Dia hanya meneken setelah Oppenheimer bilang mereka tidak ada lagi ikatan setelah pembuatan film selesai. "Saya merasa kalau saya dirugikan saya tidak bisa menuntut."
Dia mengaku sudah mewanti-wanti agar film itu diputar setelah dia meninggal. Ternyata, Openheimer pekan lalu menghubungi Anwar dan memberitahukan dokumenter soal pembantaian PKI itu bakal diputar dalam Festival Film Internasional Toronto. The Act of Killing mendapat jadwal pemutaran pada 8, 10, dan 16 September.
"Saya merasa tertipu. Ini memang kekeliruan saya. Film ini bisa saja berdampak buruk buat saya," ujar Anwar. Dia menegaskan hingga kini Oppenheimer tidak bisa dihubungi.
Merasa tertipu juga dialami Adi Zulkadry yang terlibat dalam film itu. "Saya merasa ditipu karena film itu dikomersialkan. Dia dapat untung, saya nggak dapat apa-apa," ujarnya saat dihubungi secara terpisah Kamis pekan lalu.
Seperti kepada Anwar, Oppenheimer juga mengaku terhadap Adi, film itu dibuat untuk menyelesaikan disertasi. Dia menyatakan senang mau membantu pembuatan film itu karena ingin kebenaran sejarah Indonesia diketahui dunia.
Adi mengakui ketika pembantaian PKI, dia termasuk pimpinan sebuah organisasi pemuda di Sumatera Utara. Dia menyatakan ikut pula membantai. "Saya tidak ingat karena itu pembantaian massal dan tidak dikerjakan sendiri-sendiri," ujarnya saat ditanya berapa orang dia bantai saat itu.
Namun dia menegaskan tidak menyesali keterlibatannya dalam pembantaian itu. "Ini bukan kemauan saya pribadi, ini kemauan sejarah," katanya. Menurut dia, pemerintah seharusnya bertanggung jawab memulihkan nama baik dan memberi ganti rugi kepada keluarga korban.
Ada kesan Oppenheimer - hingga tulisan ini dilansir belum bisa dimintai komentar - mengakui telah menipu kedua orang itu, terutama Anwar. "Dia mungkin suka atau tidak suka terhadap hasil akhir film," tulis dia dalam situs theactofkilling.com. Namun, dia memuji keberanian Anwar berbicara blak-blakan soal keterlibatannya dalam pembasmian PKI.
[fas]
sumber: http://www.merdeka.com/khas/tertipu-...killing-2.html
Adegan The Act of Killing. (theactofkilling.com)
Kategori
Khas
Berita tag terkait
Bertemu sang pemeran utama
Saya tidak menyesal
6
Reporter: Faisal Assegaf
Empat tahun lalu, datang seorang bule ke Kota Medan, Sumatera Utara. Dia mencari narasumber untuk membuat film dokumenter soal pembantaian anggota Partai Komunis Indonesia dan etnis Tionghoa di provinsi itu hampir setengah abad lalu.
Setelah bertanya ke sana kemari, lelaki kelahiran Austin, Negara Bagian Texas, Amerika Serikat, bernama Joshua Lincoln Oppenheimer ini mendapat arahan buat menemui Anwar Congo. Dia bersama rekan-rekannya dari sebuah organisasi pemuda pada 1965 ikut membasmi ribuan anggota PKI dan warga keturunan China di seantero Sumatera Utara. "Saya waktu itu orang lapangan dan selalu hadir dalam tiap acara organisasi," kata Anwar saat dihubungi merdeka.com melalui telepon selulernya, Rabu pekan lalu.
Kepada Anwar, Oppenheimer fasih berbahasa Indonesia, menyatakan ingin membuat film mengenai pengalaman pria yang kini 72 tahun ini saat membantai anggota dan simpatisan organisasi terlarang itu. Oppenheimer mengaku film itu bagian dari disertasinya.
Oppenheimer pernah berkuliah di jurusan film di Universitas Harvard, Massachusetts, Amerika. Dia menyelesaikan program doktornya di bidang seni di Central Santi Martins College of the Art and Design, University of the Art London.
Anwar antusias mendengar hal itu dan dia langsung menyetujui rencana pembuatan film mengenai pembantaian itu. Apalagi, dia menjadi tokoh utama dalam film berjudul The Act of Killing itu. "Tidak pernah ada yang bikin sejarah kehidupan saya. Tentu ada kebanggaan. Makanya saya bercerita spontan dan blak-blakan saja," ujar pria mengaku lulusan kelas 4 SD ini.
Menurut Anwar, syuting berlangsung sekitar dua tahun mulai 2008. Selama itu pula, Oppenheimer bersama Anwar menjelajahi sejumlah lokasi pembantaian di Sumatera Utara, seperti Labuan Batu, Tanah Karo, dan Langkat.
Tiga bulan lalu, seingat dia, Oppenheimer datang menyodorkan surat perjanjian dalam bahasa Inggris. Tentu saja, Anwar tidak memahami isinya. Dia hanya meneken setelah Oppenheimer bilang mereka tidak ada lagi ikatan setelah pembuatan film selesai. "Saya merasa kalau saya dirugikan saya tidak bisa menuntut."
Dia mengaku sudah mewanti-wanti agar film itu diputar setelah dia meninggal. Ternyata, Openheimer pekan lalu menghubungi Anwar dan memberitahukan dokumenter soal pembantaian PKI itu bakal diputar dalam Festival Film Internasional Toronto. The Act of Killing mendapat jadwal pemutaran pada 8, 10, dan 16 September.
"Saya merasa tertipu. Ini memang kekeliruan saya. Film ini bisa saja berdampak buruk buat saya," ujar Anwar. Dia menegaskan hingga kini Oppenheimer tidak bisa dihubungi.
Merasa tertipu juga dialami Adi Zulkadry yang terlibat dalam film itu. "Saya merasa ditipu karena film itu dikomersialkan. Dia dapat untung, saya nggak dapat apa-apa," ujarnya saat dihubungi secara terpisah Kamis pekan lalu.
Seperti kepada Anwar, Oppenheimer juga mengaku terhadap Adi, film itu dibuat untuk menyelesaikan disertasi. Dia menyatakan senang mau membantu pembuatan film itu karena ingin kebenaran sejarah Indonesia diketahui dunia.
Adi mengakui ketika pembantaian PKI, dia termasuk pimpinan sebuah organisasi pemuda di Sumatera Utara. Dia menyatakan ikut pula membantai. "Saya tidak ingat karena itu pembantaian massal dan tidak dikerjakan sendiri-sendiri," ujarnya saat ditanya berapa orang dia bantai saat itu.
Namun dia menegaskan tidak menyesali keterlibatannya dalam pembantaian itu. "Ini bukan kemauan saya pribadi, ini kemauan sejarah," katanya. Menurut dia, pemerintah seharusnya bertanggung jawab memulihkan nama baik dan memberi ganti rugi kepada keluarga korban.
Ada kesan Oppenheimer - hingga tulisan ini dilansir belum bisa dimintai komentar - mengakui telah menipu kedua orang itu, terutama Anwar. "Dia mungkin suka atau tidak suka terhadap hasil akhir film," tulis dia dalam situs theactofkilling.com. Namun, dia memuji keberanian Anwar berbicara blak-blakan soal keterlibatannya dalam pembasmian PKI.
[fas]
sumber: http://www.merdeka.com/khas/tertipu-...killing-2.html
Akankah film ini di puter di indonesia????
monggo komentarnya
babanbe memberi reputasi
1
4.8K
Kutip
22
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan