kh4msinAvatar border
TS
kh4msin
Agenda Ekonomi SBY bikin RI Defisit lagi. Bulan2 ke Depan, Rupiah Semakin Terp[uruk?
Mon, 03/09/2012 - 13:13 WIB

RIMANEWS- Ekonomi SBY masih lemah. Buktinya, Indonesia kembali mencatatkan defisit neraca perdagangan, walaupun angkanya menurun bila dibanding bulan sebelumnya, dengan penyebab utama masih besarnya impor hasil minyak. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin menyatakan, neraca perdagangan pada Juli 2012 masih tercatat defisit sebesar US$176,6 juta. Secara kumulatif Januari-Juli 2012 tercatat surplus US$335,5 juta. "Defisit kita pada Juli ini jauh menurun bila dibanding Juni yang sebesar US$1,32 miliar dan bulan-bulan sebelumnya. Kita berharap nanti bisa berganti surplus," ujarnya di Jakarta, Senin (3/9/2012).

Menurut komponen barang, lanjutnya, neraca perdagangan barang migas pada Juli 2012 tercatat surplus US$224,7 juta, minyak mentah surplus US$252,8 juta. "Namun hasil minyak masih defisit, yaitu US$1,6 miliar. Dan gas masih tercatat surplus US$1,59 miliar. Komponen non migas juga tercatat defisit US$421,2 juta," ujarnya. Sepanjang Jauari-Juli 2012, hasil minyak tercatat defisit US$13,453 miliar. Ekspor Juli 2012 tercatat US$16,15 miliar atau turun 7,27%, dibanding Juli 2011. Bila dibanding Juni 2012 ekspor masih tercatat naik 4,6%. "Terjadi kenaikan pada dua komponen, baik migas ataupun non migas. Komponen migas naik menjadi US$2,98 miliar dari US$2,9 miliar. Non migas naik menjadi US$13,17 miliar dari US$12,54 miliar," tuturnya.

Total ekspor Januari-Juli 2012 turun 2,52% ke 113,11 miliar year on year. Ekspor non migas Januari-Juli 2012 tercatat US$89,97 miliar atau turun 2,9% year on year. "Kontribusi terbesar masih bahan bakar mineral US$15,95 miliar. Lemak dan minyak hewan nabati US$12,5 miliar," jkata Suryamin. Pangsa pasar ekspor untuk periode Januari-Juli 2012 dikuasai China US$12,02 miliar, Jepang US$10,24 miliar dan AS US$8,74 miliar. ASEAN US$18,04 miliar dan Uni Eropa 1US$0,67 miliar.

Ekspor indonesia menurut sektor pada Januari-Juli 2012, barang industri mendominasi US$68,04 miliar (60,15%), migas US$23,15 miliar (20,46%), tambang dan lainnya US$18,85 miliar (16,67%), dan pertanian US$3,07 miliar (2,72%). Sedangkan impor pada Juli 2012 US$16,33 miliar naik 0,75% dibanding Juli 2011. Bila dibanding Juni 2012 turun 2,39%, yang dikarenakan sumbangan tertinggi pada komoditi migas 18,51% jadi US$2,73 miliar dari US$3,35 miliar. Dan impor non migas naik 1,66%. Impor secara akumulasi pada periode Januari-Juli 2012 tercatat sebesar US$112,78 miliar, atau naik 13,02% year on year. Impor non migas pada Januari-Juli US$88,61 miliar naik 15,45% year on year. "Share terbesar mesin dan peralatan mekanik US$16,67 miliar, mesin dan peralatan listrik US$11,31 miliar. Ini berkaitan dengan pertumbuhan investasi ya," tuturnya.

Pangsa impor utama terdiri dari China US$17,37 miliar, Jepang US$13,94 miliar, Thailand US$6,86 miliar. Impor dari ASEAN US$19,17 miliar dan Uni Eropa US$7,93 miliar. Impor menurut golongan penggunaan barang pada periode Januari-Juli 2012, bahan baku/penolong US$81,95 miliar (72,66%), barang modal US$22,87 miliar (20,28 %), dan barang konsumsi US$7,96 miliar(7,06%). "Keseluruhan golongan barang ini masih terjadi peningkatan. Share untuk barang konsumsi menurun," tutur Suryamin.

Defisit neraca perdagangan Juli ini sudah diprediksi oleh ekonom Lana Soelistianingsih sebelumnya, meskipun estimasinya masih terlalu tinggi, yakni US$800 juta. Menurutnya, nilai impor lebih tinggi dibandingkan nilai ekspor, namun permintaan impor mulai berkurang karena pelemahan nilai tukar rupiah. Sedangkan nilai ekspor secara dibandingkan bulan sebelumnya turun lebih besar, karena harga komoditas andalan ekspor non migas Indonesia seperti batu bara, karet, kakao masih turun, kendati ada sediit kenaikan pada harga kelapa sawit rata-rata per Juli ada. “Selain karena harga, permintaan juga turun karena pelemahan ekonomi Cina, India, dan Uni Eropa sebagai negara mitra ekspor non migas berbasis komoditas,”katanya.

Banyak kritik disampaikan terkait RAPBN 2013 yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu. Apa tanggapan Aviliani? Iwan Purwantono dari InilahREVIEW mewawancarai Sekretaris Komite Ekonomi Nasional ini, Jumat pekan lalu. Petikannya:

Bagaimana Anda melihat asumsi RAPBN 2013?
Kalau melihat berbagai asumsi RAPBN 2013, sangatlah konservatif. Istilahnya, kurang nendang. Misalnya, kenaikan anggaran untuk departemen, sangatlah rendah. Demikian pula soal anggaran belanja modal infrastruktur sebesar Rp 200 triliun, sangat minim sekali. Dengan dana sebesar itu, tidak banyak infrastruktur yang mampu dibangun. Solusinya tentu harus lebih proaktif melibatkan pihak swasta.

Artinya, tidak ada yang spesial menyangkut RAPBN 2013?
Tidak juga begitu. Maksud saya, mungkin pemerintah punya strategi lain. Untuk percepatan pembangunan infrastruktur, pemerintah telah membentuk PT SMI (Sarana Multi Infrastruktur), yang berfungsi sebagai katalisator bagi pembangunan infrastruktur. Ini supaya swasta lebih tertarik untuk menanamkan modalnya.

Bagaimana dengan optimisme pemerintah terhadap arus investasi di 2013? Mampukah meraih target Rp 390 triliun?
Memang, menarik swasta untuk berinvestasi, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Yang penting ada kepastian dan penjaminan. Misalnya, yang sangat penting adalah proyek pembangunan infrastruktur. Sejauh ini, tidak ada masalah. Karena pemerintah sudah punya Lembaga Penjaminan Infrastruktur. Tinggal bagaimana program pembangunan infrastruktur, apakah bisa bergerak cepat.

Tentang pertumbuhan 6,8% dalam RAPBN 2013?
Kalau soal pertumbuhan yang dipatok 6,8%, rasanya enggak akan ada masalah. Dalam RAPBN 2013 yang jumlahnya sekitar Rp 1.657,9 triliun atau 20% dari PDB, memang tetap harus waspada. Kalau tidak, bisa berbahaya. Ada dua hal yang harus dijaga, yakni momentum masyarakat dan swasta.

Kita punya kekuatan pasar domestik yang begitu dahsyat. Karena jumlah penduduk kelas menengah, melejit pesat. Istilahnya, tidur atau diam saja akan terjadi pertumbuhan sebesar 6%. Kalau ditambah investasi yang masuk, pertumbuhan 6,8% bisa tercapailah. Tetapi, harus berhati-hati. Jangan sampai terjadi overheating. Kalau mau aman sih di 6,6% saja.

Beberapa waktu lalu, Gubernur BI Darmin Nasution sempat mengingatkan tentang peluang terjadinya overheating. Terjadi defisit transaksi berjalan yang cukup tinggi. Apakah itu serius?
Memang ancaman itu ada. Seharusnya, pemerintah berani mengambil keputusan yang tidak populis, yakni menaikkan harga BBM. Langkah ini penting untuk mengatur laju inflasi. Masyarakat pengguna BBM, tentu akan berhemat. Dana subsidinya juga bisa dimanfaatkan untuk mempercepat putaran roda perekonomian.

Namun, kenyataannya kan tidak begitu. Sampai 2014, saya kira tidak akan ada penaikan harga BBM. Akibatnya, Bank Indonesia yang keteteran. Karena harus menjaga inflasi agar tidak melonjak. Lalu ngeremnya menggunakan apa? Salah satunya dengan Fasbi (Fasilitas Simpanan BI). Dan berharap agar laju impor barang tidak meningkat. Sementara ekspor terus tergerus karena perkembangan global. Ini tentu menjadi tantangan untuk bisa dikendalikan. Kalau gagal, terjadilah overheating.

Mengenai nilai tukar rupiah, apakah masih aman?
Dalam RAPBN 2013 ditetapkan kurs sebesar Rp 9.300 per dolar AS. Akan sangat bergantung bagaimana menjaganya. Kalau gagal, bisa naik sampai Rp 9.700 per dolar AS. Jangan seperti Vietnam. Orang ramai-ramai tarik dananya untuk membeli mata uang asing. Akibatnya, perbankan kesulitan likuiditas. Sehingga pertumbuhan ekonominya jadi melambat.

Apakah BI mampu mengendalikan nilai tukar?
Beberapa strategi BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar, cukup mujarab. Namun, bukan berarti tanpa kendala. Apakah orang yang mengimpor barang, melaporkan ke BI. Atau orang dan lembaga yang butuh mata uang asing dalam jumlah besar, melapor ke BI? Rasa-rasanya kok tidak terjadi. Saya kira, situasi seperti sekarang perlu ada sistem kontrol devisa yang ketat.

Terkait rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) pada 2013, apakah sudah tepat?
Tahun depan, pemerintah berencana menaikkan TDL. Kenapa? Karena harga BBM naik, menyebabkan beban subsidi naik pula. Mau tidak mau, pemerintah akan menempuh langkah tersebut. Jadi, solusi yang sebenarnya adalah menaikkan harga BBM. Ini untuk menyelamatkan perekonomian jangka panjang.
http://www.rimanews.com/read/2012090...i-defisit-lagi

---------------------

Konsekwensi sistem ekonomi yang sangat terbuka dengan dunia luar, akhirnya emmang seperti ini. Lihat aja tuh neraca modal dalam neraca pembayaran internasional, di dominasi modal jangka pendek milik investor asing yang keluar masuk di BEI dan Pasar uang dalam negeri. Begitu mereka melihat ada peluang menguntungkan lebih besar di negara lain, serta merta dana-dana panas itu minggat ke negerinya atau ke negara lain yang lebih menguntungkan. Begitu pula kebutuhan impor yang besar, terutama untuk bahan baku, barang modal, minyak bumi dan pangan. Sementara export, banyak dilakukan perusahaan asing (terutama produk manufaktur). PMA yang berorientasi export, tak serta merta keuntungan yang diterima mereka itu dibawa masuk kembali ke dalam negeri. banyak keuntungan PMA itu disimpan ke negrinya asal PMA itu, atau ditanamkan ke negara lainnya.
0
2.1K
13
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan