Kaskus

Entertainment

japekAvatar border
TS
japek
Kita Malu kepada Angkat Besi
Kita Malu kepada Angkat Besi

Kita Malu kepada Angkat Besi

Kita Malu kepada Angkat Besi

Kita Malu kepada Angkat Besi


COBALAH tanya anak-anak muda yang berseliweran di sebuah pusat perbelanjaan. Hampir pasti mayoritas akan menggeleng tidak tahu ketika ditanya siapa itu Triyatno atau Eko Yuli Irawan. Apalagi mengidolakan mereka. Anda tentu juga tidak akan menemukan jersey atau T-shirt bergambar dua atlet angkat besi yang dalam dua Olimpiade terakhir sukses mengharumkan nama Indonesia tersebut di kios kaki lima atau distro. Jangan pula berharap kabar mereka kerap melintas di televisi –apalagi infotainment– seperti yang sering kita temukan pada Andik Vermansyah atau Taufik Hidayat.

Apa boleh buat, angkat besi memang bukan sepak bola atau bulu tangkis, dua olahraga yang amat menyedot perhatian masyarakat kita. Tak ada sponsor yang cukup gila mau menghelat kompetisi teratur untuk angkat besi tiap bulan, misalnya, sekaligus menayangkannya secara langsung di televisi. Tak gampang mencari orang tua yang bakal dengan sukacita menyuruh anaknya mengangkat barbel berkilo-kilogram beratnya setiap hari. Tapi, justru karena itulah kita hormat sekaligus malu kepada Triyatno, Eko, Lisa Rumbewas, dan semua saja atlet, pelatih, serta pengurus yang mau berkecimpung di dunia yang ’’sepi’’ itu. Tanpa sorotan media, dengan dana yang selalu pas-pasan, serta bibit atlet yang tak gampang dicari, angkat besi terus saja memberikan prestasi bagi bangsa ini. Diawali Lisa Rumbewas yang merebut perunggu dalam Olimpiade Sydney 2000, angkat besi tak putus menghadirkan medali hingga Olimpiade 2012 melalui Triyatno (perak) dan Eko Yuli (perunggu).

Catatan itu sangat membanggakan terutama setelah bulu tangkis yang begitu kita agungkan di pentas dunia benar-benar tengah berada di titik nadir.

Kita pulang dari London 2012 tanpa sekeping pun medali dari tepok bulu. Inilah prestasi terburuk negeri ini sejak bulu tangkis dipertandingkan dalam Olimpiade 1992, melengkapi kegagalan memalukan dalam ajang Piala Thomas dan Uber 2012 Mei lalu di Wuhan, Tiongkok.

Sepak bola, olahraga lainnya yang begitu dimanjakan oleh gelontoran perhatian dan uang, baik dari pemerintah, publik, maupun sponsor, malah lebih memalukan. Konflik kepengurusan tak kunjung selesai, liga terpecah, dan prestasi sangat kering. Belum lagi berbagai perilaku destruktif yang tiada henti dipertontonkan pencinta olahraga
yang dimainkan 22 orang tersebut.

Karena itulah, London 2012 ini sepatutnya membuka lebar-lebar mata para pemangku kepentingan olahraga di negeri ini. Harus ada prioritas pembinaan yang jelas yang mengacu pada raihan medali di berbagai multi-event.

Cabang-cabang yang selama ini termarginalkan tapi sesungguhnya sangat memiliki potensi prestasi seperti angkat besi, panahan, atau dayung harus diberi perhatian khusus. Tentu tidak berarti cabang lain dianaktirikan. Justru dengan menerapkan prinsip meritokrasi –penghargaan berdasar prestasi–yang benar kecemburuan antarcabang bisa semakin direduksi.

Jadi, ke depan, kita tak perlu lagi malu seperti sekarang: [U]Menganakemaskan yang gagal memberikan prestasi, menganaktirikan yang tiada putus memberikan medali.[/U]

www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=114339
0
1.7K
11
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan