Meski hanya menjabat periode 27 Agustus 1964 hingga 15 Juli 1965, Henk Ngantung yang lahir 1 Maret 1921 (wafat 1991) merupakan gubernur yang patut dikenang. Setelah empat tahun menjabat sebagai Deputi Gubernur, Henk ditunjuk Presiden Soekarno menggantikan Soemarno yang diangkat sebagai Menteri Dalam Negeri.
Salah satu yang menjadi pertimbangan untuk menunjuk Henk, lantaran Bung Karno ingin membangun Jakarta sebagai Kota Budaya. Henk yang sejak remaja menggeluti dunia kesenian terutama lukisan dianggap mampu menampilkan sisi artistik Ibukota.
"Henk Ngantung merupakan seorang seniman. Bung Karno ketika itu, ingin Jakarta dibangun dengan budaya dan seninya," kata Evie Mamesa sang istri yang dinikahi Henk saat berusia 23 pada 1962.
Ketika ramai berhembus isu negatif mengenai Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) menjelang putaran kedua Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2012 ini, sejarah Henk Ngantung menunjukkan pemimpin Ibukota tidak harus berasal dari agama mayoritas. Tidak ada gonjang-ganjing mengenai keyakinan Henk selama dirinya menjabat baik sebagai gubernur maupun wakil gubernur.
"Pak Henk seorang Kristen, diangkat sebagai gubernur, tapi tidak ada heboh-heboh SARA seperti sekarang ini. Semua tidak ada yang marah karena Pak Henk bukan Islam. Malah salah seorang ustadz, saya lupa namanya, bilang pernah mau ajak Pak Henk masuk Islam karena sifatnya yang baik dan mampu merangkul semua pihak," kata wanita kelahiran 12 agustus 1939 itu.
Bernama asli Hendrik Hermanus Joel Ngantung, lahir di Manado, Sulawesi Utara, 1 Maret 1921. Merupakan putera seorang pegawai pada pemerintah Belanda dan di besarkan dalam tradisi aristrokratis. Mendapatkan pendidikan berbahasa Belanda, serta lulus dari sekolah lanjutan tingkat pertama (MULO). Ia mulai melukis pada usia 13 tahun (1934). Dikenal sebagai pelukis tanpa pendidikan formal. Pertama kali belajar melukis dengan Bossardt dan pelukis Austria, Rudolf Weinghart di Bandung. Ngantung mengembangkan tekniknya dengan cepat selama pendudukan Jepang bersama pelukis-pelukis lain di Pusat Kebudayaan.
Bersama Chairil Anwar dan Asrul Sani, ia turut mendirikan Gelanggang. Pameran lukisannya di mulai ketika ia berumur 15 tahun (1936), dengan mengadakan pameran tunggal di Manado, Sulawesi Utara. Selanjutnya, sering mengadakan pameran lukisan baik tunggal maupun bersama di dalam negeri, antara lain: mengadakan pameran tunggal di hotel Des Indes, Jakarta. Lukisannya banyak yang bersifat alam dokumenter. Beberapa lukisannya di jadikan sebagai koleksi Presiden Sukarno dan pada Kementerian Penerangan.
Menikah ditahun 1950-an, tinggal di Jakarta dengan bantuan keluarganya, pernah menjadi pembimbing yang memberi pelajaran seni kepada beberapa mahasiswa yang tidak membayar dan menjadi konsultan di berbagai kegiatan. Pernah berpartisipasi pada pemilihan calon penerima beasiswa pemerintah ke luar negeri, dalam organisasi misi-misi kebudayaan serta pameran-pameran seni lukis. Selain itu, ia pernah menjadi anggota juri pada beberapa lomba.
Mengaku pernah menjadi anggota dan wakil sekjen Lekra, sebuah organisasi PKI yang bergerak sdalam bidang seni. Katanya ketika itu ia sulit menolak apalagi menyatakan tidak setuju, Andai saya ini orang komunis tulen, saya dapat membuat Jakarta lebih merah. Tapi kenyataannya oleh PKI sendiri pun saya tidak laku. Lukisannya memang beraliran realisme, tapi sulit dikategorikan sebagai realisme-sosialis.
Pada periode 1960-1964, Henk terpilih menjadi Wakil Gubernur mendampingi Soemarno, yang waktu itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Penunjukan dirinya sebagai wakil gubernur pada waktu itu oleh presiden Soekarno, sempat mendapat protes dari anggota-anggota dewan kota, yang melihat Henk tidak memiliki kualifikasi memegang posisi tersebut. Namun presiden menginginkan seseorang dengan bakat artistik mengambil alih Jakarta.
Pada tahun 1964, Henk mengantikan Soemarno sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sukarno menginginkan ngantung membuat Jakarta menjadi kota budaya. Namun ia tidak dapat memberikan hasil banyak pada periode yang singkat selama satu tahun. Justru ia lebih banyak memberikan hasil sewaktu menjabat sebagai wakil gubernur, ketika ia merancang beberapa monumen yang tetap menghiasi kota sampai saat ini, antara lain, sketsa Tugu Selamat Datang, sketsa lambang DKI Jakarta dan lambang Kostrad.


Salah satu pengalaman yang menarik baginya ketika ia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta ialah, tatkala Presiden Soekarno, memanggilnya ke Istana Negara hanya untuk mengatakan bahwa pohon-pohon di tepi jalan yang baru saja dilewati dikurangi. Masalah pengemis yang merusak pemandangan Jakarta tak lepas dari perhatian Henk Ngantung.
Karena faktor kesehatan, ia mengundurkan diri dari jabatan Gubernur DKI Jakarta yang banya dijabatnya selama satu tahun (1964-1965). Setelah pensiun, Henk yang menderita penyakit mata sejak lama ini lebih banyak tinggal dirumahnya yang agak tersembunyi namun berpekarangan luas dan ditanami oleh berbagai tanaman yang dibatasi oleh Sungai Ciliwung, di bilangan Otto Iskandardinata, Jatinegara, Jakarta Timur. Hidup dari uang pensiun dan uang hasil penjualan lukisan yang tidak seberapa.
Menikah dengan Evie Ngantung yang merupakan istri keduanya. Dari pernikahannya tersebut ia dikaruniai 4 orang, Maya Ngantung, Genie Ngantung, Kamang Ngantung dan Karno Ngantung. Henk wafat pada 12 Desember 1991. Ibu dan Anak merupakan hasil karya lukisnya terakhirnya.