- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Gaya Orang Betawi Sambut Ramadan di Jakarta Tempo Dulu


TS
FW1983
Gaya Orang Betawi Sambut Ramadan di Jakarta Tempo Dulu
Quote:

Orang Betawi punya cerita soal bagaimana menyambut datangnya bulan Ramadan di Jakarta di masa kolonial dulu. Adalah sejarawan Betawi, Alwi Shahab atau yang biasa disapa Abah Alwi yang menceritakan hal itu.
Menurut Abah, tradisi kemeriahan menyambut datangnya bulan Ramadan yang terjadi pada masa kolonial tidak kalah meriahnya dengan yang terjadi saat ini.
"Jakarta tahun 1940 sampai 1950-an ya, bagaimana sungai Ciliwung dulu lebarnya masih 4 kali lipat dari sekarang. Kalau mau puasa, para ibu-ibu sibuk semuanya menyambut bulan Ramadan," cerita Abah Alwi
Bincang-bincang dengan Abah tentang tradisi orang Betawi tersebut digelar dalam program Republika Fair di Komplek Universitas Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (22/7/2012) sore.
Abah mengatakan, satu hari menjelang bulan Ramadan, para ibu melakukan siraman atau mandi di sungai Ciliwung. Sungai Ciliwung pada saat itu menjadi pusat kegiatan warga Jakarta. Bahkan, kapal pengangkut barang yang berlayar dari Bogor ke Muara Besar banyak lalu lalang melalui sungai ini.
"Jaman dulu belum ada shampo atau sabun. Mereka pakainya merang. Sampai di rumah, sibuk masak makanan macam-macam, seperti kue talam dan pacarcina," tuturnya.
Sementara untuk penetapan 1 Ramadan, kata Abah, di Betawi pada masa kolonial dilakukan oleh mufti.
"Tahun 1940-an ada mufti yang namanya Habib Usman bin Yahya. Mufti itu kalau sekarang mungkin MUI. Dan yang lebih dipakai asalah rukyat, belum ada atau jarang sekali yang pakai hisab. Dan untuk tahu kalau besok sudah puasa, diumumkan dengan bedug yang ditabuh dari siang sampai malam. Dulu saat kecil, saya rebutan menabuh bedug di masjid," lanjutnya.
Selain bedug, alat komunikasi yang lazim digunakan saat itu untuk memberi tanda masuknya bulan Ramadan adalah petasan. Menurut wartawan senior Republika ini, petasan digunakan sebagai alat komunikasi saat itu karena belum ada alat komunikasi canggih seperti sekarang.
"Kalau petasan sekarang saja dilarang. Kalau dulu kan komunikasi tidak seperti sekarang. Jadi petasanlah yang digunakan sebagai pengumuman," Abah Alwi menambahkan.
Menurut ceritanya, akan sulit menemukan masjid di pinggir jalan di Jakarta tempo dulu. Masjid besar mungkin hanya ada di Kwitang atau Kepoja. Kalau di kampung, banyak masjid. Namun akan sulit mencari masjid di pinggir jalan. Abah mengungkapkan, bangunan tempat ibadah yang banyak terdapat di pinggir jalan adalah gereja. "Belanda memang melarang mendirikan gereja di dalam kampung," ujarnya.
Tentang takbiran, Abah punya cerita menarik. Anak-anak muda Betawi saat itu pun berpawai merayakan malam Idul Fitri. Bedanya, kalau saat ini pawai takbiran menggunakan mobil atau motor, dulu mereka berpawai menggunakan becak. "Kita keliling Jakarta pakai becak sewaan. Sewanya Rp 5. Mulainya pukul 22.00 sampai pukul 05.00 pagi," tuturnya.
Abah juga bercerita betapa warga Jakarta saat itu sangat menjunjung tinggi kekeluargaan. "Di hari Lebaran, semua orang saling mengunjungi. Bertukar makanan yang dimasak sendiri. Tak ada yang jual makanan ya jaman dulu, sangat jarang," kata Abah Alwi bersemangat.
Saat Idul Fitri, para ulama membuka pintu rumahnya untuk para tamu yang ingin bersilaturahmi dari pagi hingga malam.
"Yang datang ya murid-muridnya dan para mualim, ustadz. Zaman dulu, kedudukan mualim lebih tinggi daripada jagoan silat," tuturnya.
Selain acara bincang bersama Abah Alwi, juga terdapat stand Alquran, buku Islami, dan baju muslim.
Kontestan Abang None Jakarta pun hadir di tengah puluhan pengunjung. Para None tampak cantik dengan kebaya encimnya, dan para abang mengenakan baju koko yang serasi.
Sumber: Detik .com
0
4.5K
Kutip
22
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan