- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Sejarah Pemimpin Jakarta Sepanjang Masalah di jakarta


TS
ituapaya
Sejarah Pemimpin Jakarta Sepanjang Masalah di jakarta
Melacak Jejak Pemimpin Pemerintah Kota Jakarta oleh PAULUS LONDO

Quote:
PEMERINTAHAN KOTA JAKARTA memang unik dan khas. Ini sudah terjadi sejak masa penjajahan. Pada masa penjajahan Belanda, pemerintahan kota Jakarta berada pada Gemeente van Batavia badan pemerintahan kota Batavia saat itu-yang langsung berada di bawah Pemerintah Pusat (Gubernur Jenderal). Meski saat itu Jakarta pernah menjadi satu Keresidenan dengan luas wilayahnya mencakup hingga kawasan Karawang. Dengan kedudukannya yang istimewa ini, maka wajar bila intervensi pemerintah pusat terhadap persoalan lokal sangat kuat. Pencegahan banjir di Jakarta, misalnya. Dimasa penjajahan Belanda, soal pencegahan banjir langsung ditangani olehDepartement Waterstaat (Departemen Pengairan Negara).
Sedangkan di masa penjajahan Jepang, kota Jakarta yang berstatus Jakarta Tokubetsu Syi,(Kota Istimewa Jakarta) juga langsung berada di bawah Pemerintah (tertinggi) Militer Jepang yang dikenal antara lain dengan kebijakannya membentuk tonarigumi sebagai alat untuk mengendalikan dan memobilisasi penduduk demi kepentingan peperangan. Institusi tonarigumi itu kemudian diadopsimenjadi Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT) saat ini.
Dengan demikian, dalam sejarahnya yang panjang, sesungguhnya Jakarta terus menerus mengalami perubahan, baik fisik geografis maupun dalam aspek sosial, kultural dan politik. Kendati pun demikian, Jakarta tetap memiliki ciri khas yang istimewa yakni, ia tetap berada di bawah kendali langsung maupun tidak langsung pemerintah pusat, tidak menjadi bagian dari provinsi tertentu.
Dalam sejarah yang panjang itu, tentu peran pemimpin cukup memberi warna bagi perkembangan kota Jakarta. Hal itu terjadi, tentu selain karena perbedaan karakteristik dari para tokoh yang pernah tampil memimpin Jakarta, juga tantangan yang mereka hadapi juga berbeda-beda begitu pula kondisi obyektif lingkungan strategis yang melingkupinya. Memahami pertautan mata rantai para pemimpin dan kepemimpinannya tentu penting bagi mereka yang berniat memimpin pemerintahan dan pembangunan kota Jakarta di masa mendatang.
Sedangkan di masa penjajahan Jepang, kota Jakarta yang berstatus Jakarta Tokubetsu Syi,(Kota Istimewa Jakarta) juga langsung berada di bawah Pemerintah (tertinggi) Militer Jepang yang dikenal antara lain dengan kebijakannya membentuk tonarigumi sebagai alat untuk mengendalikan dan memobilisasi penduduk demi kepentingan peperangan. Institusi tonarigumi itu kemudian diadopsimenjadi Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT) saat ini.
Dengan demikian, dalam sejarahnya yang panjang, sesungguhnya Jakarta terus menerus mengalami perubahan, baik fisik geografis maupun dalam aspek sosial, kultural dan politik. Kendati pun demikian, Jakarta tetap memiliki ciri khas yang istimewa yakni, ia tetap berada di bawah kendali langsung maupun tidak langsung pemerintah pusat, tidak menjadi bagian dari provinsi tertentu.
Dalam sejarah yang panjang itu, tentu peran pemimpin cukup memberi warna bagi perkembangan kota Jakarta. Hal itu terjadi, tentu selain karena perbedaan karakteristik dari para tokoh yang pernah tampil memimpin Jakarta, juga tantangan yang mereka hadapi juga berbeda-beda begitu pula kondisi obyektif lingkungan strategis yang melingkupinya. Memahami pertautan mata rantai para pemimpin dan kepemimpinannya tentu penting bagi mereka yang berniat memimpin pemerintahan dan pembangunan kota Jakarta di masa mendatang.
Era Walikota Kotapraja Jakarta Raya


Quote:
Beberapa minggu setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Presiden Soekarno membentuk Pemerintahan (Peralihan) Djakarta Raja dengan tujuan mempercepat peralihan kekuasaan dari Jepang ke tangan pemeirntah RI. Soewirjo, seorang pemimpin PNI Jakarta-yang menjabat Wakil Walikota (Jakarta Tokubetsu Syi) di jaman Jepang ditetapkan sebagai Walikota Djakarta. Ia dibantu oleh Bagindo Dahlan sebagai Wakil Walikota dan Soeratno Sastroamidjojo sebagai Sekretaris.
Saat itu struktur pemerintahan Kota Jakarta dibagi atas 7 Kewedanaan, yakni, Kewedanaan Gambir, Jatinegara, Tanah Abang, Senen, Mangga Besar, Tanjung Priok dan Penjaringan. Sebagai pemimpin pemerintahan peralihan tugas Walikota Soewirjo dan jajarannya cukup berat. Apalagi pemerintah pusat kemudian pindah ke Yogyakarta, sementara Pemerintah Kolonial Belanda NICA (Netherlands Indiesche Civil Administration), pimpinan Dr. Hubertus Van Mook memperkuat kedudukannya di Jakarta.
Aksi teror oleh NICA, akhirnya berpuncak pada 21 Juli 1947 Balai Kota yang menjadi Pusat Pemerintahan Peralihan Jakarta direbut NICA, bersamaan dengan Agresi I Belanda terhadap Indonesia. Dalam peristiwa ini Walikota Soewirjo dan pejabat pemerintah ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan.
Setelah sekitar 5 bulan dalam tahanan di Jakarta dan Tangerang, Soewrjo kemudian dipindahkan ke Semarang dan akhirnya dibebaskan. Soewirjo pun ke Yogyakarta bergabung dengan pemerintah RI. Tentu, selama itu pula, kota Jakarta berada dibawah kekuasaan Belanda, hingga pengakuan kedaulatan Indonesia ditahun 1949. Baru tahun 1950 Soewirjo kembali ke Jakarta dan ia dilantik kembali sebagai Walikota Kotapradja Djakarta Raya yang didasarkan pada UUD Pemerintah RIS No. 125 Tahun 1950.
Tanggal 27 Juni 1951, Soewirjo mengakhiri jabatan Walikota. Penggantinya Walikota Sjamsurizal seorang tokoh partai Masyumi yang sebelumnya pernah menjabat Walikota di Solo dan Bandung. Masa bhakti Walikota Syamsurizal tergolong singkat, yakni dari 27 Juni 1951 hingga 1 Nopember 19952.Namun meski singkat, Sjamsurizal sedikit dapat mengatasi persoalan pelik yakni, konsolidasi aparatur pemerintahan yang kala itu terkotak-kota antara mereka yang sejak awal mendukung RI dengan mereka yang berstatus eks pegawai Belanda.
Selain konsolidasi aparatur pemerintahan, tantangan yang dihadapi oleh Soewirjo dan Sjamsurizal adalah menjamurnya pemukiman kumuh, kondisi kota yang kotor dan infrastrukturnya banyak terbengkalai, serta fasilitas pelayanan publik yang sangat terbatas. Saat itu, status kepemilikan tanah banyak yang tidak jelas. Ketersediaan catu daya listrik amat terbatas sehingga dilakukan pemadaman bergilir.Untuk mengatasi masalah tersebut, Pemerintah Kota Jakarta melakukan pendaftaran ulang kepemilikan tanah, mendata gelandangan, dan Sjamsurizal membangun pembangkit listrik di kawasan Ancol.
Tahun 1953, Sjamsurizal meletakkan jabatan. Presiden Soekarno melantik Sudiro, seorang tokoh PNI Jakarta, mantan Gubernur Sulawesi-menjadi Walikota Jakarta Raya. Soediro adalah Walikota Jakarta Raya dengan masa jabatan terlama dalam sejarah pemerintahan Jakarta yakni dari 1953 hingga 1960.Soediro memang sosok tak asing bagi warga Jakarta. Sebab di jaman awal kemerdekaan, ia adalahpemimpin Barisan Pelopor, yakni satu barisan pemuda bersenjata andalan pemerintah disaat menjelang dan sesudah proklamasi kemerdekaan.
Pada masa Walikota Soediro, Jakarta telah dihadapkan pada masalah urbanisasi yang serius. Jumlah penduduk meningkat tajam tanpa disertai dengan fasilitas memadai menimbulkan berbagai masalah sosial yang rumit. Lonjakan penduduk itu antara lain dipicu oleh kehadiran pegawai baru yang direkrut untuk mengisi jabatan Pemerintahan Pusat, juga karena situasi dan kondisi di beberapa daerah yang belum aman dari gangguan pemberontakan, seperti gerakan Darul Islam (DI/TII) di Jawa Barat yang menyebabkan sebagian penduduknya eksodus ke Jakarta. Berdirinya lembaga-lembaga pendidikan lanjutan, juga menjadi faktor penarik para pendatang berbondong-bondong datang ke Jakarta.
Menghadapi berbagai masalah itu, kebijakan pemerintahan lebih difokuskan pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Tentu terutama penyediaan fasiitas pemukiman dan perumahan serta penataan kota. Salah satu langkah pemerintah adalah membangun lokasi pemukiman baru sebagai kota satelit, yakni Cempaka Putih, Kebayoran Baru, Grogol dan Rawamangun.
Memenuhi kebutuhan pemondokan bagi mahasiswa, dibangun kampus dilengkapi dengan asrama mahasiswa yakni asrama Daksinapati di Rawamangun dan Marsudirini di Cawang. Sedangkan dalam penataan kota agar lebih cantik sejumlah bangunan peninggalan Belanda dibongkar dan kemudian dibangun fasilitas baru. Salah satu property yang dibongkar adalah lain Taman Wilhelmina yang kini telah berubah menjadi area Mesjid Istiqlal.
Tingginya lonjakan jumlah penduduk mendorong pemerintah perlu melakukan pembinaan dan pengendalian penduduk. Untuk itu, dengan mengadopsi konsep Tonarigumi ala masa pemerintahan Jepang, Walikota Soediro menghidupkan lembaga RT (Rukun Tetangga) dan RK (Rukun Kampung)yang kini telah diubah menjadi RW (Rukun Warga). Sedangkan untuk memudahkan jalannya roda pemerintahan ia membagi Kota Jakarta dalam tiga wilayah administratif (Kabupaten) yakni Kabupaten Jakarta Utara, Kabupaten Jakarta Tengah dan Kabupaten Jakarta Selatan yang masing-masing dipimpin oleh seorang Patih.
Dengan perkembangan yang begitu pesat serta berbagai perubahan yang terjadi dimasa Walikota Soediro, maka status pemerintahan kota Jakarta juga ditingkatkan menjadi Daerah Istimewa (Khusus) tingkat I, dan merupakan satu-satunya Daerah Tingkat I yang dipimpin oleh seorang Walikota. Diawal tahun 1960 Soediro mengakhiri masa tugasnya memimpin pemerintah kota Jakarta.
Saat itu struktur pemerintahan Kota Jakarta dibagi atas 7 Kewedanaan, yakni, Kewedanaan Gambir, Jatinegara, Tanah Abang, Senen, Mangga Besar, Tanjung Priok dan Penjaringan. Sebagai pemimpin pemerintahan peralihan tugas Walikota Soewirjo dan jajarannya cukup berat. Apalagi pemerintah pusat kemudian pindah ke Yogyakarta, sementara Pemerintah Kolonial Belanda NICA (Netherlands Indiesche Civil Administration), pimpinan Dr. Hubertus Van Mook memperkuat kedudukannya di Jakarta.
Aksi teror oleh NICA, akhirnya berpuncak pada 21 Juli 1947 Balai Kota yang menjadi Pusat Pemerintahan Peralihan Jakarta direbut NICA, bersamaan dengan Agresi I Belanda terhadap Indonesia. Dalam peristiwa ini Walikota Soewirjo dan pejabat pemerintah ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan.
Setelah sekitar 5 bulan dalam tahanan di Jakarta dan Tangerang, Soewrjo kemudian dipindahkan ke Semarang dan akhirnya dibebaskan. Soewirjo pun ke Yogyakarta bergabung dengan pemerintah RI. Tentu, selama itu pula, kota Jakarta berada dibawah kekuasaan Belanda, hingga pengakuan kedaulatan Indonesia ditahun 1949. Baru tahun 1950 Soewirjo kembali ke Jakarta dan ia dilantik kembali sebagai Walikota Kotapradja Djakarta Raya yang didasarkan pada UUD Pemerintah RIS No. 125 Tahun 1950.
Tanggal 27 Juni 1951, Soewirjo mengakhiri jabatan Walikota. Penggantinya Walikota Sjamsurizal seorang tokoh partai Masyumi yang sebelumnya pernah menjabat Walikota di Solo dan Bandung. Masa bhakti Walikota Syamsurizal tergolong singkat, yakni dari 27 Juni 1951 hingga 1 Nopember 19952.Namun meski singkat, Sjamsurizal sedikit dapat mengatasi persoalan pelik yakni, konsolidasi aparatur pemerintahan yang kala itu terkotak-kota antara mereka yang sejak awal mendukung RI dengan mereka yang berstatus eks pegawai Belanda.
Selain konsolidasi aparatur pemerintahan, tantangan yang dihadapi oleh Soewirjo dan Sjamsurizal adalah menjamurnya pemukiman kumuh, kondisi kota yang kotor dan infrastrukturnya banyak terbengkalai, serta fasilitas pelayanan publik yang sangat terbatas. Saat itu, status kepemilikan tanah banyak yang tidak jelas. Ketersediaan catu daya listrik amat terbatas sehingga dilakukan pemadaman bergilir.Untuk mengatasi masalah tersebut, Pemerintah Kota Jakarta melakukan pendaftaran ulang kepemilikan tanah, mendata gelandangan, dan Sjamsurizal membangun pembangkit listrik di kawasan Ancol.
Tahun 1953, Sjamsurizal meletakkan jabatan. Presiden Soekarno melantik Sudiro, seorang tokoh PNI Jakarta, mantan Gubernur Sulawesi-menjadi Walikota Jakarta Raya. Soediro adalah Walikota Jakarta Raya dengan masa jabatan terlama dalam sejarah pemerintahan Jakarta yakni dari 1953 hingga 1960.Soediro memang sosok tak asing bagi warga Jakarta. Sebab di jaman awal kemerdekaan, ia adalahpemimpin Barisan Pelopor, yakni satu barisan pemuda bersenjata andalan pemerintah disaat menjelang dan sesudah proklamasi kemerdekaan.
Pada masa Walikota Soediro, Jakarta telah dihadapkan pada masalah urbanisasi yang serius. Jumlah penduduk meningkat tajam tanpa disertai dengan fasilitas memadai menimbulkan berbagai masalah sosial yang rumit. Lonjakan penduduk itu antara lain dipicu oleh kehadiran pegawai baru yang direkrut untuk mengisi jabatan Pemerintahan Pusat, juga karena situasi dan kondisi di beberapa daerah yang belum aman dari gangguan pemberontakan, seperti gerakan Darul Islam (DI/TII) di Jawa Barat yang menyebabkan sebagian penduduknya eksodus ke Jakarta. Berdirinya lembaga-lembaga pendidikan lanjutan, juga menjadi faktor penarik para pendatang berbondong-bondong datang ke Jakarta.
Menghadapi berbagai masalah itu, kebijakan pemerintahan lebih difokuskan pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Tentu terutama penyediaan fasiitas pemukiman dan perumahan serta penataan kota. Salah satu langkah pemerintah adalah membangun lokasi pemukiman baru sebagai kota satelit, yakni Cempaka Putih, Kebayoran Baru, Grogol dan Rawamangun.
Memenuhi kebutuhan pemondokan bagi mahasiswa, dibangun kampus dilengkapi dengan asrama mahasiswa yakni asrama Daksinapati di Rawamangun dan Marsudirini di Cawang. Sedangkan dalam penataan kota agar lebih cantik sejumlah bangunan peninggalan Belanda dibongkar dan kemudian dibangun fasilitas baru. Salah satu property yang dibongkar adalah lain Taman Wilhelmina yang kini telah berubah menjadi area Mesjid Istiqlal.
Tingginya lonjakan jumlah penduduk mendorong pemerintah perlu melakukan pembinaan dan pengendalian penduduk. Untuk itu, dengan mengadopsi konsep Tonarigumi ala masa pemerintahan Jepang, Walikota Soediro menghidupkan lembaga RT (Rukun Tetangga) dan RK (Rukun Kampung)yang kini telah diubah menjadi RW (Rukun Warga). Sedangkan untuk memudahkan jalannya roda pemerintahan ia membagi Kota Jakarta dalam tiga wilayah administratif (Kabupaten) yakni Kabupaten Jakarta Utara, Kabupaten Jakarta Tengah dan Kabupaten Jakarta Selatan yang masing-masing dipimpin oleh seorang Patih.
Dengan perkembangan yang begitu pesat serta berbagai perubahan yang terjadi dimasa Walikota Soediro, maka status pemerintahan kota Jakarta juga ditingkatkan menjadi Daerah Istimewa (Khusus) tingkat I, dan merupakan satu-satunya Daerah Tingkat I yang dipimpin oleh seorang Walikota. Diawal tahun 1960 Soediro mengakhiri masa tugasnya memimpin pemerintah kota Jakarta.
0
5.6K
Kutip
25
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan