- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
KUAETNIKA Sebuah komunitas seni


TS
rexy007
KUAETNIKA Sebuah komunitas seni
Quote:

Quote:
Kua Etnika
Sebuah komunitas seni
SANGGAR UNTUK PERTUMBUHAN
Jika anda menyaksikan pertunjukan Kelompok musik KUA ETNIKA dan kemudian anda terheran-heran kenapa mereka bisa kompak padahal tanpa berpedoman partitur, jawabannya sederhana: karena mereka para pemusik itu bekerja dengan hati yang satu. Pribadi-pribadi yang berkumpul di situ sudah lebur dalam pergumulan kreatif yang cukup lama, sehingga di antara mereka seperti ada tali jiwa yang selalu mengikatnya.
Mereka memiliki perasaan yang sama, yaitu kepercayaan pada penjelajahan kreativitas atas dasar intuisi dengan mengutamakan situasi mood sebagai pedoman kreatif. Eksplorasi estetis musikal tidak berangkat dari sebuah disiplin baku, dari konvensi-konvensi yang terakui secara formal, melainkan dari kesadaran mengolah apa yang ada, apa yang tersedia. Ini tak ubahnya yang selalu mewarani proses olah cipta para seniman tradisional di Indonesia dalam melakukan kreasi-kreasi keseniannya.
Bisa dimaklumi karena memang umumnya para pendukung komunitas ini lahir dan tumbuh dalam latar tradisi (Jawa dan Bali) yang kental. Dan itulah musik kua etnika garapan Djaduk Ferianto yang merupakan penggalian atas musik etnik dengan pendekatan modern. Komunitas Seni Kua Etnika memang sebuah sanggar. Didirikan antara lain oleh Djaduk Ferianto, Butet Kartaredjasa, dan Purwanto pada tahun 1995, sanggar ini merupakan medan interaksi dari sejumlah pekerja seni: pemusik, penyair dan pemain teater.
Sejak awal tahun 80-an, secara temporal dan sporadis, para pendukung yang terhimpun di sini telah melakukan interaksi kreatif dalam berbagai kesempatan. Antara lain melalui Teater Gandrik, Padepokan Seni Bagong K, Komunitas Pak Kanjeng (1993-1995), dan Teater Paku.
Setelah berproses dalam kelompok-kelompok kesenian itu, mereka semakin memantapkan diri sebagai sebuah kelompok kesenian yang solid. Sebagai sebuah komunitas mereka bergerak dalam satu niat yang sama, yaitu melakukan penjelajahan kreatif ulang-alik, antara kesenian tradisional dan kesenian modern; antara eksplorasi bebas yang idealistik dengan eksplorasi pragmatis yang industrial.
Mereka meyakini bahwa dua kutub yang berseberangan itu, yang terkadang mengandung nilai-nilai yang bertentangan, pada satu momentum perlu disinergikan. Dipertemukan untuk dipetik manfaatnya. Karena itulah, sejak tahun 1997 komunitas ini memberanikan diri membangun sebuah sanggar seluas 600 meter persegi, di desa Kersan, Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan. Bantul, Yogyakarta, Indonesia.
Di sanggar yang dibangun secara swadaya, yang akhirnya dilengkapi sebuah studio rekaman ini, kemudian tersambunglah proses budaya ulang-alik itu. Suatu saat mereka menjelajah dari satu konser ke konser lain di berbagai gedung kesenian serius. Tetapi, pada suatu kali, mereka tidak merasa merosot derajatnya karena harus melakukan pertunjukan mengiringi penyanyi pop di layar televisi, atau pun ke acara bersifat hiburan dalam aneka kemasan. Mereka menjadikan seni musik sebagai atmosfer kreatif.
Dalam payung kelompok musik Kua Etnika mereka melakukan penggalian musik-musik etnik, perkusif dan memadukannya dengan instrument elektrik, seperti tampak dalam pertunjukan ke Eropa kali ini. Saat yang sama mereka juga menafsir kembali musik keroncong dalam semangat daur ulang sebagaimana tercermin dalam album musik Orkes Sinten Remen. Dengan model pendekatan ini musik keroncong tampil dalam kemasan yang lebih familier bagi generasi baru karena di dalamnya terkandung jazz, blues, rockn roll, country dan ndangdut.
Di kesempatan yang lain, dengan bendera Orkes Melayu Banter Banget, mereka pun menyentuh wilayah musik melayu yang kental sekali warna ndangdut-nya. Namun sanggar ini tak hanya menampung kegelisahan bermusik. Kegiatan berteater pun juga berproses di situ sebagaimana dilakukan Teater Gandrik, salah satu kelompok teater terkemuka di Indonesia. Juga kegiatan pengembangan pemikiran kebudayaan yang secara berkala dilakukan dalam forum Jagongan Wagen, baik berupa dialog interaktif maupun pementasan bagi seniman-seniman dari luar kota.
Komunitas ini senantiasa ingin memberikan ruang pertumbuhan bagi anggota dan warganya yang memang berniat mengembangkan diri dalam olah kesenian.
LANDASAN KREATIF
Tapi kenapa mereka menggali musik etnik? Tentang hal ini bisa diterangkan bahwa dalam sejarahnya, khasanah musik etnik di Indonesia telah mampu diuji oleh waktu. Hal itu disebabkan antara lain oleh dua hal. Pertama, masing-masing memiliki kekhasan, kelebihan, kekuatan dan bahkan keagungannya sendiri. Dan kedua, oleh dukungan masyarakatnya.
Akan tetapi, ketika nilai-nilai modernitas beserta produk budayanya (budaya massa/pop) menggelombang, dan bahkan mampu mendominasi budaya masyarakat, -- musik etnik di Indonesia pun tergeser ke wilayah pinggiran. Artinya, wilayah habitat musik etnik di Indonesia makin mengecil, begitu pula dengan jumlah pendukungnya.
Berkat keliatan sikap budaya pendukungnya, musik etnik sampai kini tetap bertahan, meskipun menempati posisi pinggiran. Melihat kenyataan itu, mereka merasa perlu menciptakan revitalisasi musik etnik. Untuk itu, dibutuhkan terobosan budaya, terobosan kreatif dalam mengolah musik etnik, sehingga hasil olahan itu memiliki relevansi dan memenuhi tuntutan perkembangan masyarakat modern. Upaya revitalisasi itu antara lain melalui pendekatan dan penafsiran yang berbeda (baru) dari yang selama ini ada.
Itu artinya, mengolah musik etnik dengan sentuhan atau nafas modern, tanpa harus kehilangan spirit dasarnya/spirit tradisi. Dalam prakteknya, pola-pola irama tradisi dikembangkan semaksimal mungkin, sehingga diharapkan lahir musik etnik alternatif. Dasar keyakinan kerja kreatif itu ialah bahwa musik etnik di Indonesia, baik instrumen, melodi, maupun iramanya, senantiasa terbuka terhadap kemungkinan baru.
Termasuk didalamnya upaya mendialogkan khasanah musik etnik dengan khasanah musik Barat, maupun mendialogkan antar musik etnik itu sendiri yang berasal dari daerah yang berbeda, misalnya musik etnik Bali dengan Jawa atau Sunda atau Minang. Dari berbagai rajutan dialog musikal itu diharapkan mampu melahirkan apa yang disebut harmoni keindonesiaan, tanpa melenyapkan karakter masing-masing musik etnik.
MENJALIN INTERAKSI
Bertolak dari kesadaran bahwa kesempatan belajar dan pengembangan diri tidak hanya diperoleh melalui bangku pendidikan formal, melainkan juga bisa didapat dari kesempatan berinteraksi dengan berbagai praktisi kesenian lainnya, maka komunitas ini senantiasa membuka diri untuk bekerjasama dalam penggarapan seni pertunjukan untuk panggung atau pun televisi. Baik sebagai pribadi maupun kelompok.
Salah satu bentuk kolaborasi yang pernah dilakukan, misalnya, penggarapan acara musik di RCTI Dua Warna (1996-1997) di mana Djaduk bersama Aminoto Kosin dan Erwin Gutawa mencoba mempertemukan musik etnik dan elektrik pada lagu-lagu pop. Dan menggarap variety show Pasar Rakyat 76 di televisi dengan menjadikan Orkes Sinten Remen sebagai pemusik utamanya.
Selain itu, juga melakukan penggarapan musik untuk tari dengan Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Eksotika Karmawibangga, Miroto and Dancers, Sbaik Sudiarto; dengan Teater Koma dan Teater Gandrik: juga dengan para sineas Teguh Karya, Garin Nugroho, Slamet Rahardjo, Uci Supra, Nano Riantiarno, untuk pembuatan illustrasi musik film ataupun sinetron. Bahkan dalam perkembangannya komunitas ini melakukan kolaborasi kreatif bersama pemusik-pemusik manca negara, antara lain dengan para pemusik Malaysia yang menghasilkan konser Many Skin. Dan tahun 2003 lalu berproses dengan grup Pata Masters dari Jerman dan menghasilkan sebuah pertunjukan dan album Pata Java.
Album-album musik itu melengkapi karya-karya sebelumnya yaitu: Nang-ning-nong Orkes Sumpeg, Ritus Swara dan Unen-Unen. Sejak akhir 90-an, tanpa segan komunitas seni Kuaetnika membuka pintunya bagi anak-anak muda, gerakan musik mereka, apapun bentuk musik dan potongan rambut mereka. Kuaetnika membuka diri pada berbagai selera musik anak muda ini bahkan sampai yang paling ekstrim. Shaggy Dog, Melancholic Bitch, Mock Me Not, Seek Six Sick, Cross Bottom, maupun anak-anak muda dari Yayasan Berkata-kata Cepat Yogyakarta (baca; Jogja Hip Hop Foundation), adalah beberapa dari nama-nama kelompok musik yang pernah, sempat, bahkan sebagian masih berproses di studio Kuaetnika.
Para personil Kuaetnika terbiasa terlibat dalam percakapan panjang dengan anak-anak muda ini, untuk bertukar pikiran , gagasan, dan bahkan bertukar kegelisahan. Setali tiga uang dengan kegelisahan mereka untuk membuka diri pada berbagai sumber dan medium kreasi, mereka pun tampak tak pernah lelah mendatangi berbagai ruang komunikasi, menabrak pula seluruh fiksi tentang komunikasi.
Mereka merambah dan mencairkan gedung-gedung pertunjukan yang kaku, sama bersemangatnya dengan acara-acara panggung terbuka di kampung-kampung dan di tengah pasar tradisional, atau berkolaborasi dengan musisi pop di acara tv. Ngamen di 5 kota di 5 negara Eropa di tahun 2004 disikapi sama seriusnya dengan ngamen di kota-kota pesisir utara pulau Jawa.
Spoiler for vidio perkenalan personilnya:

Sumber
0
13.7K
Kutip
302
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan