Kaskus

News

MarketeersAvatar border
TS
Marketeers
Concepts : Islamic Marketing and Culture of Branding
Jonathan A.J. Wilson, atau sering disapa Jon Bilal, hari ini mengisi half-day seminar di MarkPlus Institute of Marketing (MIM) Campus. Seminar pagi ini diselenggarakan oleh Bank Syariah Mandiri, Marketeers, Harian Republika, dan MIM serta mengambil tema “How and Why Islamic Thought has to Change the Culture of Branding”. Setidaknya terdapat beberapa insight kemudian didapat dari seminar pagi ini.

Pertama, kita harus memahami mengenai kultur dan filosofi yang terdapat di dalamnya. Bahwa di dalam setiap kultur, nilai-nilai yang dijunjung tinggi adalah interaksi yang positif dan saling menghargai antar kultur. Kultur masyarakat London berbeda dengan Jakarta, bahkan dengan kota-kota lain di Inggris. Dan itulah yang harus diperhatikan dalam marketing dan branding, yakni perbedaan kultur dan norma yang ada. Dengan memahami perbedaan-perbedaan yang ada, maka perspektif dan pendekatan berbeda dapat dilakukan. Secara akademik, perlunya pemahaman kultur untuk keberhasilan berbisnis diulas oleh Geert Hofstede.

Kedua, marketing harus dilihat dari tiga perspektif. Nilai yang pertama adalah sejarah, yang akan menuntun seseorang memahami masa lalu dan mempersiapkan diri untuk masa depan. Nilai berikutnya adalah struktur, untuk melihat tiap komponen bisnis. Bagaimana mengidentifikasi produk apa yang harus diproduksi, sistem organisasi apa yang harus dibuat, dan lain sebagainya. Psikologi kemudian menjadi nilai ketiga; yang mana para marketer harus memahami kondisi genetika dan biologis pelanggan, yang selalu mempengaruhi kondisi psikologis seseorang. Semuanya itu harus dimulai dengan pertanyaan, proses dua arah antara marketer dan pelanggan, sehingga strategi yang tepat dapat ditemukan. Marketing harus seperti surrogacy, yakni bagaimana orang tua menjaga anak-anaknya sebagai darah daging mereka sendiri. Seperti halnya horisontalisasi dalam New Wave Marketing bukan?

Ketiga, 78% pertumbuhan brand dan value produk berkembang di Timur Tengah. Sedangkan dari sisi jumlah pemuda, 52.5% Muslim di dunia termasuk di dalamnya. Hal ini berarti, sistem marketing sekarang seharusnya melihat tren ini. Akan tetapi, perlu diingat bahwa “Islamicised Branding” bukanlah “Islamic Branding and Marketing”. Maksudnya di sini adalah, produk yang dilempar ke pasar tidak hanya melabelkan dirinya Islam atau muslim, tetapi juga harus muslim friendly, menyentuh tiap aspek kultur dan kebiasaan Islam. Seperti halnya kosher food, label “halal” a la Yahudi. Jenis makanan ini pun laris dibeli di negara muslim atau hindu karena aturan-aturan kosher ternyata sejalan denagn kepercayaan dan tradisi mereka.

Keempat, seorang marketer harus memahami degree, motif, dan nature dan konsumerisme masyarakat. Apakah misalnya, konsumen lebih memperhatikan merek atau tidak. Sehingga, marketer dapat memilih jalur penjualannya. Lagi-lagi, tidak hanya soal produk dan labelnya, tetapi juga seberapa jauh itu akan mempengaruhi keinginan masyarakat. Pengembangan fondasi brand ini tidak hanya dilakukan oleh manajemen, atau para brand ambassador. Pengembangan brand juga harus dilakukan oleh seluruh stakeholders pemilik merek, karena brand adalah karakter, jiwa sebuah produk.

Akan tetapi, Bilal menggarisbawahi, semua hal itu harus mengubah the rules of the West terlebih dahulu. Dan ini harus mulai dilakukan melalui berbagai universitas ataupun seminar, menumbuhkan pemahaman secara benar terlebih dahulu.

Sumber : http://the-marketeers.com/archives/i...-branding.html
0
1.2K
7
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan