- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Sistem Jaminan Sosial Nasional dan BPJS, Pemerasan Gaya Baru Pemerintah


TS
matdaoz
Sistem Jaminan Sosial Nasional dan BPJS, Pemerasan Gaya Baru Pemerintah
Tahun 2004 sudah disahkan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan pada Jumat malam(28/10) telah disahkan UU Badan Penyelenggaranya (berlaku mulai 2014-Askes Asabri Jamsostek- dan UU BPJS II Taspen- mulai 2016) . Namanya terdengar bagus dan menyenangkan. Siapa sangka kalau sebenarnya semua itu malah pahit. Negara tampak lepas tangan dalam memenuhi kebutuhan rakyat, khususnya kesehatan. Rakyat justru bertambah bebannya. Ujung-ujungnya kalangan kapitalis juga yang lebih banyak menikmatinya.
Kesalahan mendasar dari paradigm Barat tentang jaminan sosial.
Pertama: Mengalihkan tanggung jawab negara dalam masalah jaminan sosial dalam hal ini jaminan hari tua, jaminan pemenuhan kesehatan dan pendidikan kepada individu atau swasta melalui iuran yang mereka bayar. Karyawan swasta dibayar oleh perusahaan, sementara pegawai negara dibayar oleh pemerintah yang sebagiannya dipungut dari prosentase gaji para pegawai dan karyawan itu sendiri.
Kedua: Jaminan tersebut hanya diberikan kepada orang-orang tertentu saja, misalnya pensiunan pegawai negara, karyawan swasta yang mengikuti iuran jaminan sosial atau asuransi dan orang miskin yang teregistrasi untuk mendapat bantuan dari negara. Bagi mereka yang tidak terdaftar atau dianggap bukan orang miskin, jaminan tersebut tidak akan mereka dapatkan.
Ketiga: Jaminan tersebut bersifat parsial hanya pada kebutuhan tertentu, misalnya kesehatan. Jadi tidak memberikan jaminan dalam pemenuhan semua kebutuhan pokok individu baik berupa barang (papan, sandang dan pangan) maupun berupa jasa (kesehatan, pendidikan dan keamanan).
Di negeri ini sudah ada UU no. 40 tahun 2004 tentang SJSN dan telah disahkan juga UU tentang Badan Penyelenggaranya.
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ini konsepnya mengikuti paradigma Barat atau sistem kapitalis dalam masalah jaminan sosial. Bahkan ini bagian dari paket liberalisasi atau swastanisasi sektor pelayanan publik yang seharusnya menjadi tanggung jawab Negara, seperti halnya UU BHMN dalam masalah pendidikan.
Namanya sih terdengar bagus, Jaminan Sosial Nasional, tetapi isinya ternyata hanya mengatur tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Artinya, itu adalah swastanisasi pelayanan sosial khususnya dibidang kesehatan. Hal ini bisa kita lihat dari isi UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN itu. Contoh, Pasal 1 berbunyi: Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Lalu Pasal 17 ayat (1): Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala.
Coba dilihat di Bab 5 pasal 17, ayat 1, 2 dan 3 UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Ayat 1: Tiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya berdasarkan prosentase upah atas suatu jumlah nominal tertentu. Ayat 2: Pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya dan menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan ke BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, red.) secara berkala. Ayat 3: besarnya iuran ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
Dari pasal itu bisa kita pahami. Pertama: terjadi pengalihan tanggung jawab negara kepada individu atau rakyat melalui iuran yang dibayarkan langsung bagi rakyat yang mampu, atau melalui pemberi kerja bagi karyawan swasta, atau oleh negara bagi pegawai negeri, dan sebagai tambal sulamnya, negara membayar iuran program jaminan sosial bagi yang miskin. Pengalihan tanggung jawab negara kepada individu dalam masalah jaminan sosial juga bisa dilihat dari penjelasan undang-undang tersebut tentang prinsip gotong-royong, yaitu: Peserta yang mampu (membantu) kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat; peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang sehat membantu yang sakit.
Jadi, jelas undang-undang ini justru ingin melepaskan tanggung jawab negara terhadap jaminan sosial atau kesehatan.
Kedua: Yang akan menerima jaminan sosial adalah mereka yang terregister atau tercatat membayar iuran.
Ketiga: Jaminan sosial tersebut hanya bersifat parsial, misalnya jaminan kesehatan, tetapi tidak memberikan jaminan kepada rakyat dalam pemenuhan kebutuhan pokok sandang, pangan dan papan maupun pendidikan.
Jangankan bisa memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok, jaminan kesehatan yang menjadi fokus dari SJSN sendiri tidak akan terpenuhi. Justru yang terjadi rakyat akan semakin dibebani dengan iuran premi. Rakyat yang sudah dibebani dengan berbagai pungutan pajak dan tingginya biaya pendidikan akan dibebani lagi dengan pungutan iuran premi asuransi yang menjadi amanat UU SJSN.
Apalagi batas orang yang dikategorikan miskin di negara ini sangat rendah, yakni mereka yang pengeluarannya di bawah Rp 233.000 perbulan. Dengan demikian rakyat baik petani, nelayan, buruh, karyawan atau siapa saja yang pengeluarannya lebih dari itu, tidak masuk dalam kategori miskin versi pemerintah dan oleh karenanya wajib membayar premi asuransi.
Apalagi kalau kita melihat dokumen Asian Development Bank (ADB) tahun 2006 yang bertajuk, Financial Governance and Social Security Reform Program (FGSSR). Dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan: ADB Technical Assistance was provided to help develop the SJSN in line with key policies and priorities established by the drafting team and other agencies. (Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain). Nilai bantuan program FGSSR ini sendiri sebesar US$ 250 juta atau Rp 2,25 triliun (kurs 9.000/US$). Mereka berani mengeluarkan dana sebesar itu karena yakin dengan SJSN dana yang dihimpun oleh BPJS jumlahnya akan sangat besar.
UU BPJS adalah turunan atau implementasi dari UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN yang keberadaannya atas sponsorship kepentingan pengusaha asing. Meskipun namanya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, isinya bukan tentang jaminan sosial, tetapi cara mengumpulkan dana masyarakat secara paksa, termasuk dana APBN untuk masyarakat miskin. Dana dari 250 juta rakyat Indonesia itu nanti disetor ke BPJS lalu dikuasakan ke segelintir orang yang namanya wali amanah. Lembaga ini sangat independen, tidak boleh ada campur tangan Pemerintah. Nanti dana yang terkumpul ini akan digunakan untuk kepentingan bisnis kelompok tertentu, termasuk perusahaan asing, yang sulit dipertanggungjawabkan.
Kalau jadi desain empat BUMN (ASABRI, TASPEN, JAMSOSTEK, ASKES) digabungkan, itu sudah menyangkut dana sekitar 190 triliun! Dari 250 juta rakyat Indonesia, baru sebagian kecil saja yang di-cover oleh empat BUMN itu. Padahal SJSN itu sama saja dengan mewajibkan seluruh rakyat ikut asuransi. Bisa dibayangkan, berapa besar dana yang akan dikumpulkan. Dengan berbagai trik dan sulap, dana sangat besar itu akan bisa mengalir ke swasta. Diantaranya melalui skema investasi oleh BPJS seperti dinyatakan dalam RUU BPJS pasal 8.
Jadi, kelihatan jelas, di balik SJSN dan BPJS itu ada kepentingan kapitalis global. Yang jadi korban ya lagi-lagi rakyat. Ironisnya, yang menjadi fasilitator dan eksekutornya adalah Pemerintah, para wakil rakyat dan para politisi.
......bersambung di bawah
Kesalahan mendasar dari paradigm Barat tentang jaminan sosial.
Pertama: Mengalihkan tanggung jawab negara dalam masalah jaminan sosial dalam hal ini jaminan hari tua, jaminan pemenuhan kesehatan dan pendidikan kepada individu atau swasta melalui iuran yang mereka bayar. Karyawan swasta dibayar oleh perusahaan, sementara pegawai negara dibayar oleh pemerintah yang sebagiannya dipungut dari prosentase gaji para pegawai dan karyawan itu sendiri.
Kedua: Jaminan tersebut hanya diberikan kepada orang-orang tertentu saja, misalnya pensiunan pegawai negara, karyawan swasta yang mengikuti iuran jaminan sosial atau asuransi dan orang miskin yang teregistrasi untuk mendapat bantuan dari negara. Bagi mereka yang tidak terdaftar atau dianggap bukan orang miskin, jaminan tersebut tidak akan mereka dapatkan.
Ketiga: Jaminan tersebut bersifat parsial hanya pada kebutuhan tertentu, misalnya kesehatan. Jadi tidak memberikan jaminan dalam pemenuhan semua kebutuhan pokok individu baik berupa barang (papan, sandang dan pangan) maupun berupa jasa (kesehatan, pendidikan dan keamanan).
Di negeri ini sudah ada UU no. 40 tahun 2004 tentang SJSN dan telah disahkan juga UU tentang Badan Penyelenggaranya.
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ini konsepnya mengikuti paradigma Barat atau sistem kapitalis dalam masalah jaminan sosial. Bahkan ini bagian dari paket liberalisasi atau swastanisasi sektor pelayanan publik yang seharusnya menjadi tanggung jawab Negara, seperti halnya UU BHMN dalam masalah pendidikan.
Namanya sih terdengar bagus, Jaminan Sosial Nasional, tetapi isinya ternyata hanya mengatur tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Artinya, itu adalah swastanisasi pelayanan sosial khususnya dibidang kesehatan. Hal ini bisa kita lihat dari isi UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN itu. Contoh, Pasal 1 berbunyi: Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Lalu Pasal 17 ayat (1): Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala.
Coba dilihat di Bab 5 pasal 17, ayat 1, 2 dan 3 UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Ayat 1: Tiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya berdasarkan prosentase upah atas suatu jumlah nominal tertentu. Ayat 2: Pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya dan menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan ke BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, red.) secara berkala. Ayat 3: besarnya iuran ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
Dari pasal itu bisa kita pahami. Pertama: terjadi pengalihan tanggung jawab negara kepada individu atau rakyat melalui iuran yang dibayarkan langsung bagi rakyat yang mampu, atau melalui pemberi kerja bagi karyawan swasta, atau oleh negara bagi pegawai negeri, dan sebagai tambal sulamnya, negara membayar iuran program jaminan sosial bagi yang miskin. Pengalihan tanggung jawab negara kepada individu dalam masalah jaminan sosial juga bisa dilihat dari penjelasan undang-undang tersebut tentang prinsip gotong-royong, yaitu: Peserta yang mampu (membantu) kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat; peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang sehat membantu yang sakit.
Jadi, jelas undang-undang ini justru ingin melepaskan tanggung jawab negara terhadap jaminan sosial atau kesehatan.
Kedua: Yang akan menerima jaminan sosial adalah mereka yang terregister atau tercatat membayar iuran.
Ketiga: Jaminan sosial tersebut hanya bersifat parsial, misalnya jaminan kesehatan, tetapi tidak memberikan jaminan kepada rakyat dalam pemenuhan kebutuhan pokok sandang, pangan dan papan maupun pendidikan.
Jangankan bisa memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok, jaminan kesehatan yang menjadi fokus dari SJSN sendiri tidak akan terpenuhi. Justru yang terjadi rakyat akan semakin dibebani dengan iuran premi. Rakyat yang sudah dibebani dengan berbagai pungutan pajak dan tingginya biaya pendidikan akan dibebani lagi dengan pungutan iuran premi asuransi yang menjadi amanat UU SJSN.
Apalagi batas orang yang dikategorikan miskin di negara ini sangat rendah, yakni mereka yang pengeluarannya di bawah Rp 233.000 perbulan. Dengan demikian rakyat baik petani, nelayan, buruh, karyawan atau siapa saja yang pengeluarannya lebih dari itu, tidak masuk dalam kategori miskin versi pemerintah dan oleh karenanya wajib membayar premi asuransi.
Apalagi kalau kita melihat dokumen Asian Development Bank (ADB) tahun 2006 yang bertajuk, Financial Governance and Social Security Reform Program (FGSSR). Dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan: ADB Technical Assistance was provided to help develop the SJSN in line with key policies and priorities established by the drafting team and other agencies. (Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain). Nilai bantuan program FGSSR ini sendiri sebesar US$ 250 juta atau Rp 2,25 triliun (kurs 9.000/US$). Mereka berani mengeluarkan dana sebesar itu karena yakin dengan SJSN dana yang dihimpun oleh BPJS jumlahnya akan sangat besar.
UU BPJS adalah turunan atau implementasi dari UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN yang keberadaannya atas sponsorship kepentingan pengusaha asing. Meskipun namanya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, isinya bukan tentang jaminan sosial, tetapi cara mengumpulkan dana masyarakat secara paksa, termasuk dana APBN untuk masyarakat miskin. Dana dari 250 juta rakyat Indonesia itu nanti disetor ke BPJS lalu dikuasakan ke segelintir orang yang namanya wali amanah. Lembaga ini sangat independen, tidak boleh ada campur tangan Pemerintah. Nanti dana yang terkumpul ini akan digunakan untuk kepentingan bisnis kelompok tertentu, termasuk perusahaan asing, yang sulit dipertanggungjawabkan.
Kalau jadi desain empat BUMN (ASABRI, TASPEN, JAMSOSTEK, ASKES) digabungkan, itu sudah menyangkut dana sekitar 190 triliun! Dari 250 juta rakyat Indonesia, baru sebagian kecil saja yang di-cover oleh empat BUMN itu. Padahal SJSN itu sama saja dengan mewajibkan seluruh rakyat ikut asuransi. Bisa dibayangkan, berapa besar dana yang akan dikumpulkan. Dengan berbagai trik dan sulap, dana sangat besar itu akan bisa mengalir ke swasta. Diantaranya melalui skema investasi oleh BPJS seperti dinyatakan dalam RUU BPJS pasal 8.
Jadi, kelihatan jelas, di balik SJSN dan BPJS itu ada kepentingan kapitalis global. Yang jadi korban ya lagi-lagi rakyat. Ironisnya, yang menjadi fasilitator dan eksekutornya adalah Pemerintah, para wakil rakyat dan para politisi.
......bersambung di bawah

0
2.3K
11


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan