- Beranda
- Komunitas
- News
- Ilmu Marketing & Research
Case Studies : Supremasi Perempuan Makin Kuat


TS
Marketeers
Case Studies : Supremasi Perempuan Makin Kuat

Penghargaan Nobel Perdamaian kepada tiga perempuan dari Afrika dan Timur Tengah (Ellen Johnson Sirleaf, Leymah Gbowee, dan Tawakal Karman) semakin menandaskan peran penting perempuan dalam perubahan, khususnya perubahan situasi masyarakat yang lebih baik. Sementara itu, gerakan perlawanan perempuan di berbagai negara, khususnya yang sistem patriakalnya kental seperti Arab dan Timur Tengah semakin besar. Di tengah riuhnya gelombang Occupy yang bermula dari Wall Street dan Spanyol dan makin meluas ke banyak negara, arus horisontalisasi semakin berbuah, khususnya dalam ranah kesetaraan gender.
Perempuan mengalami posisi sulit sangat lama di Arab. Pada tahun 2002, Arab Human Development Report melaporkan kurang majunya wilayah disebabkan oleh tiga faktor, yakni tidak diperhatikannya hak-hak perempuan, kurangnya kebebasan politik, dan pendidikan yang buruk. Namun, embusan masa depan yang baru makin kencang dengan ditulis ulangnya konsititusi yang memberi ruang lebih besar bagi perempuan untuk berpartisipasi secara politik.
Di Mesir, perempuan berdemonstrasi bukanlah pemandangan baru. Pada tahun 1919, perempuan berkerudung berkumpul di Kairo untuk melawan pemerintahan Inggris dan menyerukan kemerdekaan. Pada tahun 1957, Mesir menjadi negara pertama di jazirah Arab yang memberikan kesempatan bagi perempuan masuk parlemen. Pada masa pemerintahan Gamal Abdel Nasser, perempuan didorong masuk sekolah, menjadi tenaga kerja, dan membantu peningkatan ekonomi. Pada tahun 1970-an, di bawah Anwar Sadat, perempuan makin mendapat angin. Namun, kemudian meredup kembali karena kekuatan yang tumbuh dari kelompok-kelompok keagamaan konservatif.
Sekarang ini, perempuan Mesir bisa bekerja di luar rumah, pergi ke sekolah dan universitas, serta mempunyai kebebasan memilih. Namun, angka melek huruf di kalangan perempuan masih 58 persen dan hanya 23 persen dari total pekerja adalah perempuan. Hukum di Mesir dinilai masih ambigu dan mendua. Konstitusi melarang diskriminasi atas jender, tapi perempuan hanya berhak mewarisi setengah dari laki-laki. Suami dengan gampang menceraikan istri di depan pegawai catatan sipil. Namun tidak demikian bila sebaliknya.
Kondisi perempuan di Tunisia boleh dibilang sangat kontras. Banyak yang berterimakasih pada Habib Bourguiba, bapak pendiri Tunisia modern yang melarang poligami dan memberikan hak-hak yang sama untuk masalah perceraian dan aborsi. Tingkat melek huruf perempuan di Tunisia sekarang lebih dari 70 persen meskipun hanya 27 persen masuk menjadi angkatan kerja. Dan, dua per tiga mahasiswa adalah perempuan, lebih besar ketimbang Mesir yang besarnya dua per lima.
Banyak pihak yang menilai Musim Semi di Arab tak ubahnya menjadi musim semi bagi perempuan untuk mendapatkan dan menentukan hak-haknya yang selama ini tertindas.
Perempuan dalam banyak di era sekarang telah menjadi satu subkultur dominan selain orang muda dan netizen. Sebagai pihak yang bisa multitasking membuat perempuan bisa berbuat banyakjauh melampaui apa yang dikerjakan oleh laki-laki. Perusahaan-perusahaan besar seperti Goldman Sachs menyadari pentingnya merekrut tenaga kerja perempuan ketimbang laki-laki bila perusahaan ingin maju. Hal ini bisa dibaca pada tulisan sebelumnya berjudul Bila Ingin Maju, Rekrutlah Perempuan.
Tampaknya, horisontalisasi di ranah gender makin kuat dan tampak halangan-halanganbaik agama, politik, maupun ideologimakin sempoyongan menahan kencangnya arus ini.
Sumber : http://the-marketeers.com/archives/s...akin-kuat.html
0
997
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan