- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
1979 Juara SEA Games, Kini Tukang Becak


TS
fadliaja
1979 Juara SEA Games, Kini Tukang Becak
Suharto menerima penghargaan di Haornas 2011.

Menpora memberi penghargaan di peringatan Haornas 2011 (FOTO ANTARA/M Agung Rajasa)
"Kalau ada kesempatan dan modal, saya pingin menjadi pelatih. Jelek-jelek begini, saya pernah mengikuti pelatihan di luar negeri loh," kata Suharto
VIVAnews - Dielu-elukan ketika berhasil mengharumkan nama bangsa, ditelantarkan di masa tua. Kondisi itulah yang dialami mantan atlet sepeda Indonesia, Suharto, yang merupakan salah satu penerima penghargaan pada puncak Hari Olahraga Nasional Indonesia (Haornas) 2011.
Kisah atlet Indonesia yang terlantar setelah mengharumkan nama bangsa sebenarnya bukanlah suatu yang baru. Suharto pun merasakan hal tersebut dan kini harus menjadi tukang becak setelah mengharumkan nama Indonesia di SEA Games 1979.
Suharto merupakan salah satu putra bangsa berprestasi yang sukses menyabet medali emas cabang balap sepeda di pentas SEA Games 1979. Mengakhiri karier sebagai atlet pada 1981, pria 60 tahun ini menyambung hidup dengan menarik becak.
Fakta yang sungguh ironi, mengingat prestasi Suharto yang membanggakan. Selain itu Suharto juga sempat mewakili Indonesia di ajang Tour d'Thailand pada 1977 silam. Selama ini Suharto, istri serta ketiga anaknya tinggal di sebuah rumah kontrakan di daerah Ampel, Surabaya, Jawa Timur.
"Kami sudah 20 tahun mengontrak karena belum punya rumah sampai sekarang," ungkap Suharto usai meraih penghargaan di puncak acara peringatan Hari Olahraga Nasional (Haornas) ke XXVII di Tennis Indoor, Senayan, Jakarta, Jumat 9 September 2011.
Suharto menerima penghargaan berupa satu unit rumah pada peringatan Haornas 2011 yang diserahkan secara simbolis oleh Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menpora), Andi Mallarangeng.
"Saya sangat bangga mendapat penghargaan ini. Insya Allah belum terlambat untuk menikmatinya," tutur Suharto yang mengaku sudah 25 tahun mengayuh becak.
Selain Suharto, sejumlah mantan atlet berprestasi juga menerima penghargaan, antara lain Utut Adianto (catur), Susy Susanti (bulutangkis), Richard Sambera (renang) dan Marina yang merupakan peraih medali emas pencak silat di Asian Games 1980. Saat ini Marina berprofesi sebagai sopir taksi.

Suharto, mantan juara balap sepeda SEA Games yang sekarang jadi tukang becak di Surabaya (ANTARA/Didik Kusbiantoro)
Suharto, dari juara SEA Games jadi penarik becak
Dipuja saat berjaya, ditelantarkan saat tidak berdaya. Barangkali itulah gambaran nasib sebagian mantan atlet nasional yang pernah mengharumkan nama bangsa dan negara saat ini.
Cerita sedih dan memilukan itu juga menimpa salah satu atlet balap sepeda nasional asal Surabaya, Jawa Timur bernama Suharto yang kini berprofesi sebagai penarik (tukang) becak.
Siapa sangka, mantan pebalap yang kini berusia 59 tahun itu pernah merebut medali emas pada SEA Games 1979 di Malaysia untuk nomor "Team Time Trial" jarak 100 kilometer.
Bersama tiga rekannya saat itu, yakni Sutiono, Munawar Saleh dan Dasrizal, tim balap sepeda Indonesia mampu mempecundangi pesaingnya dari Malaysia dan Thailand untuk merebut medali emas.
Dua tahun sebelumnya di SEA Games 1977 yang berlangsung di Thailand, Suharto menyumbangkan dua medali perak untuk kontingen "Merah Putih" dari nomor jalan raya beregu dan perorangan.
"Saat itu, tim balap sepeda Indonesia tampil cukup solid sehingga bisa merebut medali emas," kata Suharto saat ditemui ANTARA di tempat kosnya di Jalan Kebon Dalem VII, Surabaya, Selasa.
Ia menceritakan bahwa kekuatan balap sepeda Indonesia pada era 1970-1980-an cukup disegani di kawasan Asia Tenggara.
Kenangan menjadi juara SEA Games tidak pernah dilupakan oleh Suharto. Di kamar kos yang hanya berukuran 2x3 meter, Suharto menyimpan rapi seluruh medali dan piagam penghargaan yang pernah diperoleh dari berbagai ajang balapan nasional dan internasional.
Bapak tiga orang anak itu juga mengumpulkan kliping berita dari berbagai media cetak yang memuat keberhasilan tim balap Indonesia, termasuk juga foto bersama Presiden RI Soeharto.
"Semuanya masih saya simpan dan sekali waktu kalau kangen, saya buka lagi kliping-kliping itu," ujar pria kelahiran Surabaya pada 18 Februari 1952 itu.
Suharto menuturkan, ketika berhasil merebut medali di ajang SEA Games, dia dan teman-temannya tidak pernah memperoleh bonus uang dari pemerintah, seperti yang diterima atlet-atlet nasional saat ini.
"Kami hanya mendapatkan semacam piagam penghargaan yang diserahkan Gubernur Jatim di Gedung Negara Grahadi Surabaya. Waktu itu cuma diajak makan-makan, tidak diberi uang saku," tambahnya.
Perkenalan pada cabang olahraga balap sepeda memang tidak disengaja. Saat itu di awal tahun 1970-an, Suharto memulai latihan dengan menggunakan sepeda "pancal" milik ayahnya yang dimodifikasi menjadi sepeda balap.
Kendati tidak mendapatkan izin dari ayahnya, Suharto nekat mengikuti lomba balap sepeda tingkat lokal Piala Wali Kota Surabaya dan tampil sebagai juara.
Setelah itu, Suharto yang seangkatan dengan mantan pebalap nasional Sutarwi dan Sapari (keduanya dari Jatim) itu, bergabung dengan klub balap sepeda Porseni Korpri Surabaya dan mengikuti beberapa balapan level nasional.
"Saya dipanggil bergabung di tim nasional setelah mengalahkan pebalap nasional pada kejuaraan di Jawa Barat sekitar tahun 1975. Kemudian saya masuk tim SEA Games 1977," tuturnya.
Bersama sejumlah pebalap nasional, Suharto mendapatkan kesempatan dari Pengurus Besar Ikatan Sport Sepeda Indonesia (PB ISSI) mengikuti pemusatan latihan di Swiss selama beberapa bulan.
Setelah hanya merebut medali perak pada 1977, dua tahun berselang Suharto akhirnya mampu mempersembahkan medali emas untuk Indonesia.
"Saya memutuskan berhenti dari balapan pada tahun 1981, karena tuntutan ekonomi. Apalagi, saat itu juga tidak ada janji apa-apa dari pemerintah untuk diberikan pekerjaan," katanya.
Kerja Serabutan
Setelah memutuskan gantung sepeda, nasib Suharto menjadi tidak menentu. Untuk menyambung hidup, ia terpaksa bekerja serabutan.
Menjadi kernet angkutan kota, membantu tetangganya berjualan ayam kampung atau berjualan alat pendingin ruangan (AC) bekas, pernah dia jalani sebelum akhirnya menjadi tukang becak hingga sekarang.
Bersama istrinya, ia hidup sangat sederhana dan berpindah-pindah tempat kos. Sebelum menyewa kamar kos di kawasan Kebon Dalem VII yang sudah ditempati lebih dari 15 tahun, Suharto pernah kos di kawasan Sukodono, Surabaya.
Sehari-hari dia kini menjadi penarik becak di sekitar kawasan wisata religi Makan Sunan Ampel yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.
"Uang dari hasil menarik becak hanya cukup untuk makan keluarga. Kalau ada sisanya kami tabung untuk bayar sewa kamar kos," ujarnya.
Namun, hampir tiga bulan terakhir dia harus istirahat dari rutinitas menarik becak, karena penyakit hernia yang dideritanya sejak dua tahun lalu.
Karena merasa tidak tahan dengan sakit yang terus menderanya, Suharto memberanikan diri datang ke kantor KONI Jatim pada sekitar Mei 2011 untuk meminta bantuan.
Ketua Harian KONI Jatim Dhimam Abror Djuraid sangat terkejut dan trenyuh mengetahui kondisi mantan atlet balap sepeda nasional itu.
Apalagi, saat datang ke kantor KONI Jatim, bagian perut Suharto diikat dengan bekas ban dalam sepeda sebagai penahan rasa nyeri akibat penyakit hernianya.
"Saya dibantu Pak Abror untuk menjalani operasi pengangkatan hernia. Sekarang kadang-kadang masih terasa sakit dan belum boleh bekerja berat dulu," kata Suharto.
Abror mengatakan, pihaknya akan berupaya membantu Suharto untuk mendapatkan penghargaan dari pemerintah, karena pernah memiliki prestasi internasional.
"Pak Harto ini layak mendapatkan penghargaan dari pemerintah. Dia pernah menjadi juara SEA Games, tapi sekarang hidupnya memprihatinkan," ujarnya.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) memiliki program pemberian hadiah rumah kepada mantan-mantan nasional yang pernah mengharumkan nama bangsa dan negara Indonesia di pentas internasional.
"Saya tidak pernah baca koran, jadi tidak tahu kalau ada program rumah gratis bagi mantan atlet nasional dari pemerintah," tambah Suharto.
Kendati sudah 30 tahun pensiun dari balap sepeda, Suharto masih memiliki niatan untuk kembali menekuni olahraga yang pernah membesarkan namanya itu.
"Kalau ada kesempatan dan modal, saya pingin menjadi pelatih. Jelek-jelek begini, saya pernah mengikuti pelatihan di luar negeri loh," kata Suharto menutup pembicaraan.


Hargai Usaha TS Dalam Membuat Thread Dengan Memberi Cendol. Bagi Yang Memberi Cendol Saya Doakan Sukses Slalu Dunia Akhirat Amiin.
Quote:
JUM'AT, 9 SEPTEMBER 2011, 12:18 WIB
Quote:

Menpora memberi penghargaan di peringatan Haornas 2011 (FOTO ANTARA/M Agung Rajasa)
Quote:
"Kalau ada kesempatan dan modal, saya pingin menjadi pelatih. Jelek-jelek begini, saya pernah mengikuti pelatihan di luar negeri loh," kata Suharto
VIVAnews - Dielu-elukan ketika berhasil mengharumkan nama bangsa, ditelantarkan di masa tua. Kondisi itulah yang dialami mantan atlet sepeda Indonesia, Suharto, yang merupakan salah satu penerima penghargaan pada puncak Hari Olahraga Nasional Indonesia (Haornas) 2011.
Kisah atlet Indonesia yang terlantar setelah mengharumkan nama bangsa sebenarnya bukanlah suatu yang baru. Suharto pun merasakan hal tersebut dan kini harus menjadi tukang becak setelah mengharumkan nama Indonesia di SEA Games 1979.
Suharto merupakan salah satu putra bangsa berprestasi yang sukses menyabet medali emas cabang balap sepeda di pentas SEA Games 1979. Mengakhiri karier sebagai atlet pada 1981, pria 60 tahun ini menyambung hidup dengan menarik becak.
Fakta yang sungguh ironi, mengingat prestasi Suharto yang membanggakan. Selain itu Suharto juga sempat mewakili Indonesia di ajang Tour d'Thailand pada 1977 silam. Selama ini Suharto, istri serta ketiga anaknya tinggal di sebuah rumah kontrakan di daerah Ampel, Surabaya, Jawa Timur.
"Kami sudah 20 tahun mengontrak karena belum punya rumah sampai sekarang," ungkap Suharto usai meraih penghargaan di puncak acara peringatan Hari Olahraga Nasional (Haornas) ke XXVII di Tennis Indoor, Senayan, Jakarta, Jumat 9 September 2011.
Suharto menerima penghargaan berupa satu unit rumah pada peringatan Haornas 2011 yang diserahkan secara simbolis oleh Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menpora), Andi Mallarangeng.
"Saya sangat bangga mendapat penghargaan ini. Insya Allah belum terlambat untuk menikmatinya," tutur Suharto yang mengaku sudah 25 tahun mengayuh becak.
Selain Suharto, sejumlah mantan atlet berprestasi juga menerima penghargaan, antara lain Utut Adianto (catur), Susy Susanti (bulutangkis), Richard Sambera (renang) dan Marina yang merupakan peraih medali emas pencak silat di Asian Games 1980. Saat ini Marina berprofesi sebagai sopir taksi.
Quote:

Suharto, mantan juara balap sepeda SEA Games yang sekarang jadi tukang becak di Surabaya (ANTARA/Didik Kusbiantoro)
Quote:
"Saya tidak pernah baca koran, jadi tidak tahu kalau ada program rumah gratis bagi mantan atlet nasional dari pemerintah"
Quote:
Suharto, dari juara SEA Games jadi penarik becak
Dipuja saat berjaya, ditelantarkan saat tidak berdaya. Barangkali itulah gambaran nasib sebagian mantan atlet nasional yang pernah mengharumkan nama bangsa dan negara saat ini.
Cerita sedih dan memilukan itu juga menimpa salah satu atlet balap sepeda nasional asal Surabaya, Jawa Timur bernama Suharto yang kini berprofesi sebagai penarik (tukang) becak.
Siapa sangka, mantan pebalap yang kini berusia 59 tahun itu pernah merebut medali emas pada SEA Games 1979 di Malaysia untuk nomor "Team Time Trial" jarak 100 kilometer.
Bersama tiga rekannya saat itu, yakni Sutiono, Munawar Saleh dan Dasrizal, tim balap sepeda Indonesia mampu mempecundangi pesaingnya dari Malaysia dan Thailand untuk merebut medali emas.
Dua tahun sebelumnya di SEA Games 1977 yang berlangsung di Thailand, Suharto menyumbangkan dua medali perak untuk kontingen "Merah Putih" dari nomor jalan raya beregu dan perorangan.
"Saat itu, tim balap sepeda Indonesia tampil cukup solid sehingga bisa merebut medali emas," kata Suharto saat ditemui ANTARA di tempat kosnya di Jalan Kebon Dalem VII, Surabaya, Selasa.
Ia menceritakan bahwa kekuatan balap sepeda Indonesia pada era 1970-1980-an cukup disegani di kawasan Asia Tenggara.
Kenangan menjadi juara SEA Games tidak pernah dilupakan oleh Suharto. Di kamar kos yang hanya berukuran 2x3 meter, Suharto menyimpan rapi seluruh medali dan piagam penghargaan yang pernah diperoleh dari berbagai ajang balapan nasional dan internasional.
Bapak tiga orang anak itu juga mengumpulkan kliping berita dari berbagai media cetak yang memuat keberhasilan tim balap Indonesia, termasuk juga foto bersama Presiden RI Soeharto.
"Semuanya masih saya simpan dan sekali waktu kalau kangen, saya buka lagi kliping-kliping itu," ujar pria kelahiran Surabaya pada 18 Februari 1952 itu.
Suharto menuturkan, ketika berhasil merebut medali di ajang SEA Games, dia dan teman-temannya tidak pernah memperoleh bonus uang dari pemerintah, seperti yang diterima atlet-atlet nasional saat ini.
"Kami hanya mendapatkan semacam piagam penghargaan yang diserahkan Gubernur Jatim di Gedung Negara Grahadi Surabaya. Waktu itu cuma diajak makan-makan, tidak diberi uang saku," tambahnya.
Perkenalan pada cabang olahraga balap sepeda memang tidak disengaja. Saat itu di awal tahun 1970-an, Suharto memulai latihan dengan menggunakan sepeda "pancal" milik ayahnya yang dimodifikasi menjadi sepeda balap.
Kendati tidak mendapatkan izin dari ayahnya, Suharto nekat mengikuti lomba balap sepeda tingkat lokal Piala Wali Kota Surabaya dan tampil sebagai juara.
Setelah itu, Suharto yang seangkatan dengan mantan pebalap nasional Sutarwi dan Sapari (keduanya dari Jatim) itu, bergabung dengan klub balap sepeda Porseni Korpri Surabaya dan mengikuti beberapa balapan level nasional.
"Saya dipanggil bergabung di tim nasional setelah mengalahkan pebalap nasional pada kejuaraan di Jawa Barat sekitar tahun 1975. Kemudian saya masuk tim SEA Games 1977," tuturnya.
Bersama sejumlah pebalap nasional, Suharto mendapatkan kesempatan dari Pengurus Besar Ikatan Sport Sepeda Indonesia (PB ISSI) mengikuti pemusatan latihan di Swiss selama beberapa bulan.
Setelah hanya merebut medali perak pada 1977, dua tahun berselang Suharto akhirnya mampu mempersembahkan medali emas untuk Indonesia.
"Saya memutuskan berhenti dari balapan pada tahun 1981, karena tuntutan ekonomi. Apalagi, saat itu juga tidak ada janji apa-apa dari pemerintah untuk diberikan pekerjaan," katanya.
Kerja Serabutan
Setelah memutuskan gantung sepeda, nasib Suharto menjadi tidak menentu. Untuk menyambung hidup, ia terpaksa bekerja serabutan.
Menjadi kernet angkutan kota, membantu tetangganya berjualan ayam kampung atau berjualan alat pendingin ruangan (AC) bekas, pernah dia jalani sebelum akhirnya menjadi tukang becak hingga sekarang.
Bersama istrinya, ia hidup sangat sederhana dan berpindah-pindah tempat kos. Sebelum menyewa kamar kos di kawasan Kebon Dalem VII yang sudah ditempati lebih dari 15 tahun, Suharto pernah kos di kawasan Sukodono, Surabaya.
Sehari-hari dia kini menjadi penarik becak di sekitar kawasan wisata religi Makan Sunan Ampel yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.
"Uang dari hasil menarik becak hanya cukup untuk makan keluarga. Kalau ada sisanya kami tabung untuk bayar sewa kamar kos," ujarnya.
Namun, hampir tiga bulan terakhir dia harus istirahat dari rutinitas menarik becak, karena penyakit hernia yang dideritanya sejak dua tahun lalu.
Karena merasa tidak tahan dengan sakit yang terus menderanya, Suharto memberanikan diri datang ke kantor KONI Jatim pada sekitar Mei 2011 untuk meminta bantuan.
Ketua Harian KONI Jatim Dhimam Abror Djuraid sangat terkejut dan trenyuh mengetahui kondisi mantan atlet balap sepeda nasional itu.
Apalagi, saat datang ke kantor KONI Jatim, bagian perut Suharto diikat dengan bekas ban dalam sepeda sebagai penahan rasa nyeri akibat penyakit hernianya.
"Saya dibantu Pak Abror untuk menjalani operasi pengangkatan hernia. Sekarang kadang-kadang masih terasa sakit dan belum boleh bekerja berat dulu," kata Suharto.
Abror mengatakan, pihaknya akan berupaya membantu Suharto untuk mendapatkan penghargaan dari pemerintah, karena pernah memiliki prestasi internasional.
"Pak Harto ini layak mendapatkan penghargaan dari pemerintah. Dia pernah menjadi juara SEA Games, tapi sekarang hidupnya memprihatinkan," ujarnya.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) memiliki program pemberian hadiah rumah kepada mantan-mantan nasional yang pernah mengharumkan nama bangsa dan negara Indonesia di pentas internasional.
"Saya tidak pernah baca koran, jadi tidak tahu kalau ada program rumah gratis bagi mantan atlet nasional dari pemerintah," tambah Suharto.
Kendati sudah 30 tahun pensiun dari balap sepeda, Suharto masih memiliki niatan untuk kembali menekuni olahraga yang pernah membesarkan namanya itu.
"Kalau ada kesempatan dan modal, saya pingin menjadi pelatih. Jelek-jelek begini, saya pernah mengikuti pelatihan di luar negeri loh," kata Suharto menutup pembicaraan.



Quote:
Quote:
Original Posted By kucinkngakak►Wah akhirnya ada threadnya di lounge, ane ama temen2 fixed gear surabaya pernah gan maen ke rumahnyaa, sekedar silahturahmi dan mmberikan sedikit bantuan, miriss jugaa gan.
Beliau cerita banyak waktu latihan dan sekolah sepeda di luar negri itu, dan banyak lagi cerita2 di masa kejayaannya, tapi ane ga brani tanya kenapa kok jadi tukang becak, sungkan gan hihihi
Beliau cerita banyak waktu latihan dan sekolah sepeda di luar negri itu, dan banyak lagi cerita2 di masa kejayaannya, tapi ane ga brani tanya kenapa kok jadi tukang becak, sungkan gan hihihi

Diubah oleh fadliaja 01-11-2013 03:23
0
11.7K
Kutip
153
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan