- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Desa Pegayaman Desa yg Unik Di Bali "Nyama Slam"
TS
igedesetiawan
Desa Pegayaman Desa yg Unik Di Bali "Nyama Slam"
ane mau sedikit cerita tentang pedesaan di bali gan
Jika berkenalan dgn orang Bali dari Desa Pegayaman, Buleleng, jangan lantas kaget kalau menemukan nama-nama yang terkesan aneh, semisal Nengah Ibrahim, Wayan Iman Muhajir atau Ketut Syahruwardi Abbas. Dari kombinasi nama-nama penduduknya saja kita langsung paham bahwa Desa Pegayaman merupakan wilayah sosial-budaya yang unik. Nama Ketut, Nengah atau Wayan identik dengan nama Bali, sementara Ibrahim, Muhajir atau Abbas dikenal akrab dengan karakter nama muslim. Tetapi jangan kaget, meski leluhur orang Pegayaman datang dari Jawa ratusan tahun lalu dan beragama Islam, mereka tetap merasa warga asli Bali. Lalu apanya yang unik?
Jalan menuju Desa Pegayaman Kecamatan Sukasada, Buleleng, tak terlalu sulit dicari dari arah Denpasar atau Singaraja. Jika meluncur dari arah Denpasar melalui Bedugul, tiba di Desa Gigit akan ditemukan jalan kecil beraspal, meski agak rusak, belok kanan. Masuklah di jalan itu. Sepanjang jalan tampak berberapa sawah menghampar. Di dataran lebih tinggi, yang tanahnya agak berbukit-bukit kecil, berjejer pohon-pohon cengkeh, kopi serta pohon khas lainnya.
Memandang ke selatan, di kejauhan akan tampak menghampar gugusan perbukitan yang membelah wilayah Bali Selatan dan Bali Utara. Di situlah letak pemukiman Wayan Iman Muhajir dan kawan-kawan. Pegayaman memang dikenal sebagai salah satu perkampungan muslim tua di Bali. Lebih dari 90 persen penduduknya beragama Islam.
Namun, Wayan Imam Muhajir dan kawan-kawan tetap merasa sebagai orang Bali -- dengan kehidupan sosial dan budaya Bali yang kental. Masuk ke daerah itu suasananya terkesan damai, tak jauh beda dengan suasana desa lain di Bali. Kegiatan penduduknya sama saja dengan orang Bali lainnya bertani, berkebun, sebagai perajin dan sejenisnya. Secara geografis letak Desa Pegayaman cukup strategis. Wilayah yang berpenduduk sekitar 4.800 jiwa itu bukan termasuk daerah pedalaman sekaligus juga bukan wilayah kota. Jaraknya hanya 12 kilometer di sebelah selatan Kota Singaraja dan sekitar 65 kilometer dari arah Denpasar. Dulunya, memang, Pegayaman merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Buleleng yang berhutan lebat.
Sekitar tahun 1.600, Raja Buleleng Ki Barak Panji Sakti -- yang berkuasa saat itu -- memberikan wilayah tersebut kepada warga muslim yang datang dari Jawa setelah berakhirnya perang melawan Kerajaan Blambangan. Ceritanya, setelah terjadi perang melawan Kerajaan Blambangan itu terjadi semacam misi muhibah warga muslim dari Jawa ke Bali. Seperti dituturkan tokoh adat Desa Pegayaman Ketut Raji Jayadi, warga dari Jawa ada yang membawa gajah atau cenderamata berbentuk gajah.
Sampai di Buleleng, warga yang dikenal sebagai penggembala gajah itu ditempatkan di Banjar Jawa, Banjar Petak dan Peguyangan. Beberapa waktu kemudian Raja Buleleng memberi semacam opsi kepada warga itu untuk memilih wilayah pemukiman sebagai tempat tinggal yang tetap. Warga muslim itu lantas memilih tempat di wilayah hutan wilayah selatan yang kini dikenal sebagai Desa Pegayaman.
Budaya Bali
Ada beberapa versi kenapa desa itu disebut Pegayaman. Satu versi menyebutkan, konon, dulu di daerah itu disebut Alas Pegatepan karena banyak ditumbuhi pohon gatep. Gatep di Jawa biasa disebut buah gayam. Maka warga itu lantas menyebutnya Desa Pegayaman.
Versi lain, menurut Ketut Raji Jayadi, nama Pegayaman dikaitkan dengan nama keris Pakubuwono yang saat itu berkuasa di Kerajaan Mataram. Saat menjadi raja, Pakubuwono memiliki pusaka yang bernama Keris Gayam.
Menurut Raji, mungkin saja leluhur orang Pegayaman itu dulu membawa keris dari Jawa lalu menamakan daerah tempat tinggalnya dengan nama yang mirip dengan keris tersebut. Meski 90 persen penduduknya beragama Islam, Desa Pegayaman punya ciri khas yang membedakannya dengan umat muslim di tempat lain. Raji menyebutkan, warga muslim Pegayaman dalam pergaulannya tetap memakai unggah-ungguh bahasa Bali. Mereka biasa memakai bahasa Bali halus. Atau dalam istilah Raji, warganya biasa berbicara matiang nika. Untuk urusan hari raya Islam, warga Pegayaman juga tak bisa lepas dari budaya Bali. Tahapan-tahapan hari rayanya sama seperti yang dilakoni masyarakat Bali lainnya. Ada hari pengejukan dan penampahan sebelum hari raya. Sehari setelah hari raya disebut hari umanis. Dalam perayaan hari raya, semacam Idul Fitri dan lain-laiannya, warga juga menyiapkan kue-kue khas Bali, seperti jaja uli dan tape, seperti yang ada dalam perayaan hari raya Galungan bagi umat Hindu.
Pokoknya, selain dari segi agama yang dianut, dari segi sosial-budaya tak ada hal yang berbeda dengan masyarakat Bali lainnya yang beragama Hindu. Hal paling menarik yang terjadi di Pegayaman adalah ketika mereka memperingati hari besar Maulid Nabi Muhammad SAW. Tradisi peringatan Maulid di Pegayaman memiliki keistimewaan tersendiri. Khusyuk sekaligus meriah. Bahkan peringatan Maulid terkesan lebih meriah ketimbang Idul Fitri. Saat Maulid mereka menggelar berbagai kegiatan, seperti pawai serta lomba qasidah dan lain-lainnya.
Kehidupan gotong royong antara umat Hindu dan Islam masih menjadi perekat sosial yang erat di Pegayaman. Jika nyama Slam -- sebutan warga Hindu untuk umat muslim yang berarti sauadara Islam -- merayakan hari besar, mereka biasa ngejot kepada warga Hindu di sekitarnya. Begitu juga sebaliknya, jika umat Hindu yang berhari raya, giliran nyama Slam yang menerima jotan.
Dari segi nama, menurut Raji, warga Pegayaman juga mengikuti urutan khas nama-nama Bali. Untuk anak pertama mereka membubuhkan nama Wayan, untuk anak kedua disebut Nengah, ketiga Nyoman dan keempat Ketut. Untuk anak kelima dan seterusnya tetap mamakai nama Ketut, bukan Wayan (balik) sebagaimana nama orang Bali lainnya.
Cara hidup warga Pegayaman juga sama dengan masyarakat Bali umumnya. Kades Pegayaman Ketut Ahmad Ibrahim mengatakan, pertanian yang sangat potensial di daerahnya adalah cengkeh dan kopi. Tentu saja, sebagai daerah agraris yang memiliki wilayah persawahan, warga Pegayaman juga banyak yang bertani. Namun, secara umum Desa Pegayaman memiliki tanah yang cocok ditanami berbagai jenis tanaman. Di bidang kerajinan, masyarakat Pegayaman sebagai besar hidup sebagai perajin sapu ijuk. Perpaduan budaya Hindu-Muslim sangat kental, tercermin pada bentuk kesenian khas Pegayaman, yakni kesenian Bordah dan Hadrah. Wayan Iman Muhajir, salah seorang seniman Bordah memaparkan, kesenian Bordah itu sesungguhnya kesenian Bali.
Jika berkenalan dgn orang Bali dari Desa Pegayaman, Buleleng, jangan lantas kaget kalau menemukan nama-nama yang terkesan aneh, semisal Nengah Ibrahim, Wayan Iman Muhajir atau Ketut Syahruwardi Abbas. Dari kombinasi nama-nama penduduknya saja kita langsung paham bahwa Desa Pegayaman merupakan wilayah sosial-budaya yang unik. Nama Ketut, Nengah atau Wayan identik dengan nama Bali, sementara Ibrahim, Muhajir atau Abbas dikenal akrab dengan karakter nama muslim. Tetapi jangan kaget, meski leluhur orang Pegayaman datang dari Jawa ratusan tahun lalu dan beragama Islam, mereka tetap merasa warga asli Bali. Lalu apanya yang unik?
Jalan menuju Desa Pegayaman Kecamatan Sukasada, Buleleng, tak terlalu sulit dicari dari arah Denpasar atau Singaraja. Jika meluncur dari arah Denpasar melalui Bedugul, tiba di Desa Gigit akan ditemukan jalan kecil beraspal, meski agak rusak, belok kanan. Masuklah di jalan itu. Sepanjang jalan tampak berberapa sawah menghampar. Di dataran lebih tinggi, yang tanahnya agak berbukit-bukit kecil, berjejer pohon-pohon cengkeh, kopi serta pohon khas lainnya.
Memandang ke selatan, di kejauhan akan tampak menghampar gugusan perbukitan yang membelah wilayah Bali Selatan dan Bali Utara. Di situlah letak pemukiman Wayan Iman Muhajir dan kawan-kawan. Pegayaman memang dikenal sebagai salah satu perkampungan muslim tua di Bali. Lebih dari 90 persen penduduknya beragama Islam.
Namun, Wayan Imam Muhajir dan kawan-kawan tetap merasa sebagai orang Bali -- dengan kehidupan sosial dan budaya Bali yang kental. Masuk ke daerah itu suasananya terkesan damai, tak jauh beda dengan suasana desa lain di Bali. Kegiatan penduduknya sama saja dengan orang Bali lainnya bertani, berkebun, sebagai perajin dan sejenisnya. Secara geografis letak Desa Pegayaman cukup strategis. Wilayah yang berpenduduk sekitar 4.800 jiwa itu bukan termasuk daerah pedalaman sekaligus juga bukan wilayah kota. Jaraknya hanya 12 kilometer di sebelah selatan Kota Singaraja dan sekitar 65 kilometer dari arah Denpasar. Dulunya, memang, Pegayaman merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Buleleng yang berhutan lebat.
Sekitar tahun 1.600, Raja Buleleng Ki Barak Panji Sakti -- yang berkuasa saat itu -- memberikan wilayah tersebut kepada warga muslim yang datang dari Jawa setelah berakhirnya perang melawan Kerajaan Blambangan. Ceritanya, setelah terjadi perang melawan Kerajaan Blambangan itu terjadi semacam misi muhibah warga muslim dari Jawa ke Bali. Seperti dituturkan tokoh adat Desa Pegayaman Ketut Raji Jayadi, warga dari Jawa ada yang membawa gajah atau cenderamata berbentuk gajah.
Sampai di Buleleng, warga yang dikenal sebagai penggembala gajah itu ditempatkan di Banjar Jawa, Banjar Petak dan Peguyangan. Beberapa waktu kemudian Raja Buleleng memberi semacam opsi kepada warga itu untuk memilih wilayah pemukiman sebagai tempat tinggal yang tetap. Warga muslim itu lantas memilih tempat di wilayah hutan wilayah selatan yang kini dikenal sebagai Desa Pegayaman.
Budaya Bali
Ada beberapa versi kenapa desa itu disebut Pegayaman. Satu versi menyebutkan, konon, dulu di daerah itu disebut Alas Pegatepan karena banyak ditumbuhi pohon gatep. Gatep di Jawa biasa disebut buah gayam. Maka warga itu lantas menyebutnya Desa Pegayaman.
Versi lain, menurut Ketut Raji Jayadi, nama Pegayaman dikaitkan dengan nama keris Pakubuwono yang saat itu berkuasa di Kerajaan Mataram. Saat menjadi raja, Pakubuwono memiliki pusaka yang bernama Keris Gayam.
Menurut Raji, mungkin saja leluhur orang Pegayaman itu dulu membawa keris dari Jawa lalu menamakan daerah tempat tinggalnya dengan nama yang mirip dengan keris tersebut. Meski 90 persen penduduknya beragama Islam, Desa Pegayaman punya ciri khas yang membedakannya dengan umat muslim di tempat lain. Raji menyebutkan, warga muslim Pegayaman dalam pergaulannya tetap memakai unggah-ungguh bahasa Bali. Mereka biasa memakai bahasa Bali halus. Atau dalam istilah Raji, warganya biasa berbicara matiang nika. Untuk urusan hari raya Islam, warga Pegayaman juga tak bisa lepas dari budaya Bali. Tahapan-tahapan hari rayanya sama seperti yang dilakoni masyarakat Bali lainnya. Ada hari pengejukan dan penampahan sebelum hari raya. Sehari setelah hari raya disebut hari umanis. Dalam perayaan hari raya, semacam Idul Fitri dan lain-laiannya, warga juga menyiapkan kue-kue khas Bali, seperti jaja uli dan tape, seperti yang ada dalam perayaan hari raya Galungan bagi umat Hindu.
Pokoknya, selain dari segi agama yang dianut, dari segi sosial-budaya tak ada hal yang berbeda dengan masyarakat Bali lainnya yang beragama Hindu. Hal paling menarik yang terjadi di Pegayaman adalah ketika mereka memperingati hari besar Maulid Nabi Muhammad SAW. Tradisi peringatan Maulid di Pegayaman memiliki keistimewaan tersendiri. Khusyuk sekaligus meriah. Bahkan peringatan Maulid terkesan lebih meriah ketimbang Idul Fitri. Saat Maulid mereka menggelar berbagai kegiatan, seperti pawai serta lomba qasidah dan lain-lainnya.
Kehidupan gotong royong antara umat Hindu dan Islam masih menjadi perekat sosial yang erat di Pegayaman. Jika nyama Slam -- sebutan warga Hindu untuk umat muslim yang berarti sauadara Islam -- merayakan hari besar, mereka biasa ngejot kepada warga Hindu di sekitarnya. Begitu juga sebaliknya, jika umat Hindu yang berhari raya, giliran nyama Slam yang menerima jotan.
Dari segi nama, menurut Raji, warga Pegayaman juga mengikuti urutan khas nama-nama Bali. Untuk anak pertama mereka membubuhkan nama Wayan, untuk anak kedua disebut Nengah, ketiga Nyoman dan keempat Ketut. Untuk anak kelima dan seterusnya tetap mamakai nama Ketut, bukan Wayan (balik) sebagaimana nama orang Bali lainnya.
Cara hidup warga Pegayaman juga sama dengan masyarakat Bali umumnya. Kades Pegayaman Ketut Ahmad Ibrahim mengatakan, pertanian yang sangat potensial di daerahnya adalah cengkeh dan kopi. Tentu saja, sebagai daerah agraris yang memiliki wilayah persawahan, warga Pegayaman juga banyak yang bertani. Namun, secara umum Desa Pegayaman memiliki tanah yang cocok ditanami berbagai jenis tanaman. Di bidang kerajinan, masyarakat Pegayaman sebagai besar hidup sebagai perajin sapu ijuk. Perpaduan budaya Hindu-Muslim sangat kental, tercermin pada bentuk kesenian khas Pegayaman, yakni kesenian Bordah dan Hadrah. Wayan Iman Muhajir, salah seorang seniman Bordah memaparkan, kesenian Bordah itu sesungguhnya kesenian Bali.
0
2.5K
17
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan