- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
JANGAN BIARKAN KARTINI MENANGIS >> Aganwati masuk
TS
harunyahya
JANGAN BIARKAN KARTINI MENANGIS >> Aganwati masuk
[SPOLIER=baca]
Mungkin kita kerap mendengar ungkapan, kalau wanita cantik berbuat salah, para pria bilang nobody is perfect. Tapi kalau yang berbuat salah perempuan jelek, langsung dicap pantas tampangnya saja kriminil! Ya, punya predikat cantik memang menguntungkan. Bahkan ketika berbuat salah pun tetap dibela. Luna Maya, meski terlibat skandal mesum dengan Ariel, kini sudah eksis lagi. Masyarakat seolah sudah memaafkannya.
Di dunia kriminal, dulu kita pernah dikagetkan dengan ulah ratu ekstasi Zarima Mirafsur. Tapi, tak lama masyarakat juga melupakannya. Sekeluar dari penjara, bukan dikucilkan, malah laris dapat tawaran sinetron. Belakangan ada Malinda Dee yang sukses menjebol Citibank. Label cantik dan seksi di usia 47, membuat MD jadi artis dadakan. Ulasannya jadi headline berbagai media massa sepekan lebih. Lantas, apa hubungannya perempuan-perempuan cantik tadi dengan Kartini?[/SPOILER]
Spoiler for baca sis:
Ironi Kesetaraan
[IMG]http://pusatpromosiiklan.com/images/iklan/kelinci2.jpg[/IMG
Kini, di tengah kesuksesan emansipasi dalam mengeluarkan para perempuan dari rumah-rumah mereka, sederet persoalan menyertai. Suatu keniscayaan, interaksi perempuan dan laki-laki yang makin intens di ruang publik, kerap menimbulkan gesekan. Kisah-kisah perselingkuhan, perzinaan hingga pelecehan seksual tak henti menghiasi media massa. Masih ingat dengan skandal mesum Maria Eva dan Yahya Zaini yang menghebohkan itu? Juga, skandal Antasari Azhar dan caddy golf Rani? Betapa menyedihkan jika kiprah perempuan sebatas selir di antara kaum adam.
Demikian pula angka kejahatan seksual, kekerasan, ekspolitasi, perdagangan perempuan dan diskriminasi, terus meroket. Dan, perempuan bukan hanya korban, tapi juga pelaku. Bagaimana ibu tega menghabisi nyawa suaminya, mengaborsi janinnya dan bahkan membunuh darah dagingnya. Begitu pula perceraian dan single parent, menjadi problem sosial berikutnya yang dipicu oleh ulah kaum perempuan itu sendiri.
Memang, tak sedikit perempuan yang mendapat berkah dari emansipasi. Mereka menjadi perempuan mandiri, khususnya dari sisi finansial. Sayang, kemandirian ini kerap dijadikan daya tawar terhadap kaum lelaki. Hingga banyak rumah tangga berantakan karena gugat cerai istri.
Seperti pernah diungkapkan Menteri Agama Suryadharma Ali. Ia mengaku prihatin terhadap tingginya kasus cerai gugat (istri minta cerai). Seperti di Riau, angka gugat cerai mencapai 82 persen setiap tahun ([url]www.liputan24.com[/url]).
Selain karena meningkatnya kesadaran perempuan akan hak-haknya, kemandirian ekonomi istri juga tak dimungkiri sebagai faktor pendorong terjadi perceraian. Padahal semua sepakat, perceraian banyak meninggalkan problem. Seperti keterlantaran anak, kurangnya kasih sayang, dan terpenting, terputusnya proses regenerasi.
Redefinisi
Perjuangan Kartini nampaknya telah ditafsirkan melampaui batas oleh kaum perempuan saat ini. Karena itu, hendaknya mereka meredefinisikan kesetaraan dan keadilan gender yang dikehendaki. Jangan sampai mematikan nurani perempuan sebagai sosok lemah-lembut, penuh kasih dan manusiawi. Kita tidak ingin mendengar lagi perempuan-perempuan (cantik) menjadi ikon para kriminalis.
Untuk itu, kita patut merenungkan kembali ruh perjuangan Kartini. Seperti petikan suratnya: Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama (Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902).
Sejatinya, yang diperjuangkan Kartini adalah agar perempuan tidak didiskriminasi dalam menuntut ilmu, khususnya terkait keterampilan keperempuanan. Kartini meyakini, jika seorang ibu memiliki bekal ilmu yang cukup, akan mampu melahirkan generasi yang berkualitas.
Kita berterima kasih, saat ini kaum perempuan mendapat kesempatan luas dalam menikmati pendidikan. Sayang, perempuan terdidik ini kerap menuntut lebih diluar hak-hak yang semestinya sudah ia dapatkan. Emansipasi kebablasan. Mungkin jika Kartini masih hidup, akan menangis melihat sepakterjang kaumnya saat ini. Bisa jadi dia akan menyesal telah dijadikan ikon perjuangan emansipasi kaum perempuan.(*)
Asri Supatmiati, S.Si,
Jurnalis, Penulis Buku Indonesia dalam Dekapan Syahwat.
0
1.9K
15
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan