- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Wajah ane keturunan banyak negara gan


TS
assembled
Wajah ane keturunan banyak negara gan
[quote=][quote=]


[quote=]

[quote=]
[/quote]
Sebelumnya Bantu Rate Dulu Ya Gan 
[/quote]


[quote=]
Muka Ane Keturunan Campuran Dari Negara" Mane aj
[/quote]
[quote=]
Mudahan Akan Jadi Hot Thread
[/quote]Quote:
Original Posted By assembled►Dont judge the book by its cover. Itu mungkin sudah menjadi kata-kata bijak yang sudah jadi bagian integral dalam kosa kata tiap orang. Sepertinya, semua sepakat bahwa kita seyogyanya menilik buku dari kualitas isinya, bukan dari bagus jeleknya jilid. Sama halnya, dalam menilai orang pun, sudah sepatutnya kita melihat hatinya atau kepribadiannya. Bukan wajah atau rupanya. Pada kenyataannya, wajah itu memberikan kesan pertama. Dari situ, orang menilai siapa kita. Kenapa? Ya karena untuk sampai mengetahui hati dibutuhkan interaksi yang tidak cukup sekali. Itu pun tidak jaminan.
Irfan Bachdim, misalnya. Dia menjadi fenomena terkini di negara kita. Bahkan sempat menjadi trending twitter beberapa saat. Apa sebabnya? Apa karena dia mampu mengolah si kulit bundar dengan lincah? Atau karena sudah mengoleksi puluhan gol? Ah tidak. Jawabannya simpel. Dia ganteng. Makanya kaum hawa yang tadinya cuek dengan perkembangan sepak bola tanah air, tiba-tiba menjadi keranjingan bola. Alhasil, Irfan pun memenuhi laman depan media nasional. Tidak aneh memang.
Lain halnya dengan Irfan Bachdim, saya hanyalah orang kampung yang berprofesi guru. Dari segi wajah, jangan tanya. Kalau saya ganteng, mungkin sudah jadi model atau artis sinetron. Ya biasa-biasa saja lah. Paling tidak, sudah bisa laku karena ternyata ada yang mau saya nikahi.
Yang unik sebenarnya adalah penilaian orang mengenai asal saya hanya berdasar dari wajah. Satu waktu, ketika rombongan sebuah kampus di Jawa Tengah berkunjung ke kantor jurusan di UPI, saya menjadi bagian panitia penyambut. Sebelum memulai diskusi serius mengenai program jurusan, staf, dan lain sebagainya, acara dimulai dengan perkenalan. Tiba-tiba, ada satu orang dari pihak tamu yang bertanya, Pak Eri ini dari Jawa ya? Sontak saja kolega saya semuanya tertawa. Ah bukan dia asli Sunda, sahut salah satu kolega saya.
Dalam kesempatan lain, ketika mendampingi mahasiswa mengikuti lomba debat di pulau Bali, saya bersama mereka sempat melancong ke tempat tujuan wisata. Ya sekedar refreshing setelah letih mengikuti acara lomba tersebut. Salah satu tempat yang kami kunjungi adalah Pantai Sanur. Pas datang, kami sudah disambut dengan seorang agen, yang penuh semangat menawari paket jalan-jalan, wisata air, dan sejenisnya. Dia pun terus mengikuti kami. Anehnya, dia tidak pernah menawari saya. Malah terus saja mengejar-ngejar mahasiswa saya. Saya sih enak-enak saja, tidak diganggu. Setelah akhirnya dia menyerah, karena tidak berhasil membujuk mahasiswa saya untuk membeli paket wisatanya, dia kemudian bertanya kepada saya, Bli, dari mana? Saya jawab, Saya dari Bandung. Dia pun tertawa, Saya pikir bapak orang Bali yang jadi tour guide mereka. Saya pun jadi ikut tertawa.
Kisah penilaian orang ikhwal asal saya pun berlanjut di Amerika sini. Acap kali ketika saya belanja, orang Amerika latin sesekali melemparkan senyum kepada saya. Mungkin mereka pikir saya satu kebangsaan sama mereka. Satu waktu, ketika saya melihat-lihat pakaian termal (pakaian dalam musim dingin), ada orang Amerika Latin (mungkin Meksiko) yang mendekati. Dengan semangatnya, dia menyapa dan sepertinya bertanya kepada saya dalam bahasa Spanyol. Dengan tersenyum, saya bilang, Sorry, Sir. I dont speak Spanish. Tapi, rupanya, dia tidak percaya dengan omongan saya. Dia terus saja mengajak saya ngobrol dalam bahasa Spanyol. Akhirnya, dia sadar bahwa saya bukan orang mereka.
Lain waktu, ketika saya sedang mendonasikan plasma di salah satu pusat plasma di kota sebrang, ada staf yang kelihatannya dari Asia yang mendekati saya. Sembari tersenyum, dia bertanya, Are you Philiphino?. Saya jawab, No, Im from Indonesia. Dia bilang wajah saya mirip dengan orang Filipina.
Saya sangat bersyukur kepada Allah, walaupun saya tak seganteng dan tak setenar Brad Pitt atau Irfan Bachdim, ternyata saya diakui oleh berbagai orang dari berbagai suku dan bangsa. Bangga rasanya memiliki wajah yang inklusif.
Irfan Bachdim, misalnya. Dia menjadi fenomena terkini di negara kita. Bahkan sempat menjadi trending twitter beberapa saat. Apa sebabnya? Apa karena dia mampu mengolah si kulit bundar dengan lincah? Atau karena sudah mengoleksi puluhan gol? Ah tidak. Jawabannya simpel. Dia ganteng. Makanya kaum hawa yang tadinya cuek dengan perkembangan sepak bola tanah air, tiba-tiba menjadi keranjingan bola. Alhasil, Irfan pun memenuhi laman depan media nasional. Tidak aneh memang.
Lain halnya dengan Irfan Bachdim, saya hanyalah orang kampung yang berprofesi guru. Dari segi wajah, jangan tanya. Kalau saya ganteng, mungkin sudah jadi model atau artis sinetron. Ya biasa-biasa saja lah. Paling tidak, sudah bisa laku karena ternyata ada yang mau saya nikahi.
Yang unik sebenarnya adalah penilaian orang mengenai asal saya hanya berdasar dari wajah. Satu waktu, ketika rombongan sebuah kampus di Jawa Tengah berkunjung ke kantor jurusan di UPI, saya menjadi bagian panitia penyambut. Sebelum memulai diskusi serius mengenai program jurusan, staf, dan lain sebagainya, acara dimulai dengan perkenalan. Tiba-tiba, ada satu orang dari pihak tamu yang bertanya, Pak Eri ini dari Jawa ya? Sontak saja kolega saya semuanya tertawa. Ah bukan dia asli Sunda, sahut salah satu kolega saya.
Dalam kesempatan lain, ketika mendampingi mahasiswa mengikuti lomba debat di pulau Bali, saya bersama mereka sempat melancong ke tempat tujuan wisata. Ya sekedar refreshing setelah letih mengikuti acara lomba tersebut. Salah satu tempat yang kami kunjungi adalah Pantai Sanur. Pas datang, kami sudah disambut dengan seorang agen, yang penuh semangat menawari paket jalan-jalan, wisata air, dan sejenisnya. Dia pun terus mengikuti kami. Anehnya, dia tidak pernah menawari saya. Malah terus saja mengejar-ngejar mahasiswa saya. Saya sih enak-enak saja, tidak diganggu. Setelah akhirnya dia menyerah, karena tidak berhasil membujuk mahasiswa saya untuk membeli paket wisatanya, dia kemudian bertanya kepada saya, Bli, dari mana? Saya jawab, Saya dari Bandung. Dia pun tertawa, Saya pikir bapak orang Bali yang jadi tour guide mereka. Saya pun jadi ikut tertawa.
Kisah penilaian orang ikhwal asal saya pun berlanjut di Amerika sini. Acap kali ketika saya belanja, orang Amerika latin sesekali melemparkan senyum kepada saya. Mungkin mereka pikir saya satu kebangsaan sama mereka. Satu waktu, ketika saya melihat-lihat pakaian termal (pakaian dalam musim dingin), ada orang Amerika Latin (mungkin Meksiko) yang mendekati. Dengan semangatnya, dia menyapa dan sepertinya bertanya kepada saya dalam bahasa Spanyol. Dengan tersenyum, saya bilang, Sorry, Sir. I dont speak Spanish. Tapi, rupanya, dia tidak percaya dengan omongan saya. Dia terus saja mengajak saya ngobrol dalam bahasa Spanyol. Akhirnya, dia sadar bahwa saya bukan orang mereka.
Lain waktu, ketika saya sedang mendonasikan plasma di salah satu pusat plasma di kota sebrang, ada staf yang kelihatannya dari Asia yang mendekati saya. Sembari tersenyum, dia bertanya, Are you Philiphino?. Saya jawab, No, Im from Indonesia. Dia bilang wajah saya mirip dengan orang Filipina.
Saya sangat bersyukur kepada Allah, walaupun saya tak seganteng dan tak setenar Brad Pitt atau Irfan Bachdim, ternyata saya diakui oleh berbagai orang dari berbagai suku dan bangsa. Bangga rasanya memiliki wajah yang inklusif.
[/quote]
0
33.2K
Kutip
3.3K
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan