Kaskus

News

ardana1989Avatar border
TS
ardana1989
Profesional-profesional Hot Indonesia di Medan Global
Maaf kalo emoticon-Repost.
Maklum ane masih nubie. emoticon-Malu

Cek TKP, Gan

Mereka mampu menempati posisi-posisi strategis yang diincar profesional dari negara lain. Selain dengan mengandalkan ilmu dan penguasaan bahasa asing, jurus apa saja yang mereka mainkan untuk membangun karier cemerlang di luar negeri?

Andreas Raharso:

Orang Asia Pertama Pimpin Pusat Riset Hay Group
“ Titel resmi saya adalah Dean of Hay Group Global Research Center for Strategy Execution,” ujar Andreas Raharso lewat surat elektronik. Ini jabatan bergengsi di pusat riset global milik Hay Group yang berbasis di Singapura. Menurutnya, posisi itu setara dengan CEO, tetapi di kalangan peneliti, penyebutan CEO atau managing director jarang digunakan. Posisi yang diraihnya satu tahun yang lalu itu menempatkannya sebagai orang Asia pertama yang berhasil mencapai jabatan itu. Maklum, sebelumnya The Hay Group Global sangat didominasi profesional dari Eropa atau Amerika.
Dengan posisi itu, ia bertanggung jawab atas riset yang dilakukan Hay Group di benua Asia, Eropa, Afrika, Australia dan Amerika (di 85 kota yang tersebar di 47 negara). Hay Group Global Research Center (HG-GRC) adalah pusat riset yang didanai Hay Group dan Pemerintah Singapura (50:50) dengan tujuan menjadikan Singapura sebagai pusat penelitian dunia. Kliennya tak tanggung-tanggung: kalangan perusahaan raksasa dunia seperti Microsoft dan Unilever, plus para pemimpin negara seperti Perdana Menteri Inggris dan Jepang, serta Presiden Prancis dan Rusia. Yang paling membanggakannya, saat ini HG-GRC dipercaya membantu para menteri Pemerintah Obama dan staf Gedung Putih untuk lebih mengefektifkan organisasi dan eksekusi strategi pemerintahan Amerika Serikat.

Melihat prestasinya saat ini, tak akan ada yang menyangka bahwa pria berusia 44 tahun ini pernah tidak naik di kelas III SMA. “Saya tidak pernah malu dengan ini. Ini bisa menjadi inspirasi bagi siapa pun yang pernah gagal, bahwa kunci untuk bangun kembali terletak pada bagaimana Anda melihat kegagalan itu sendiri,” ujarnya. Terbukti, pencapaiannya di puncak perusahaan konsultan manajemen global yang didirikan pada 1943 ini terhitung singkat. Mantan dekan di Universitas Bina Nusantara, Jakarta, ini bergabung dengan Hay Group pada Oktober 2008 sebagai konsultan senior. Dan, pada Maret 2009 posisi prestisius ini berhasil direngkuh penyandang gelar MBA di bidang corporate finance & management science dari University of Texas at San Antonio, AS, (1993) dan Ph.D pemasaran dari Universitas Indonesia (2007) ini.
Menurut Andreas, jabatan ini diberikan kepadanya karena keberhasilannya membangun pusat riset skala global berdasarkan konsep Open Research yang terdiri dari tiga pilar, yaitu radical collaboration, integrative thinking, serta multi-context and multi-cultural environment. “Konsep ini muncul dari penelitian saya bahwa banyak pusat riset di dunia yang gagal walaupun didukung dana yang besar. Mestinya, pusat riset dunia dibangun berdasarkan prinsip open mind dan open heart,” katanya. Ia mengklaim, saat ini 85% dari target yang ditetapkan sudah terwujud, bahkan terlampaui.
Singkat kata, prestasi Andreas adalah membangun dan mengendalikan state-of-the-art riset di berbagai belahan dunia lewat markasnya di Singapura. Sebagai gambaran, pusat risetnya melakukan penelitian pada lima bidang: bisnis keluarga (berpusat di Madrid, Spanyol), merger & akuisisi (Paris, Prancis), manajemen performa strategis (Frankfurt, Jerman); peran sentra korporat (London, Inggris) dan trasformasi budaya (Boston, AS). Di samping itu, ia memiliki collaborative researchers yang tersebar dari Mumbai (India) sampai Sao Paolo (Brasil). “Ini bukan hal yang mudah, bukan saja tantangan cultural yang sangat berbeda, tapi juga disiplin ilmu yang berbeda-beda, dan juga perbedaan waktu,” ujarnya. (*)
Yuyun Manopol & Tutut Handayani

Ari Purmono:

Menjelajah Perbankan Timur Tengah
Setelah sempat merasakan dunia perbankan di Indonesia, pada 2005 Ari Purnomo mulai menjejakkan kakinya di industri perbankan Timur Tengah. Tepatnya, ia menjadi Direktur Pemasaran Retail Banking Group Mashreq Bank di Qatar. Setahun kemudian, kelahiran Jakarta, 12 Oktober 1973, ini hijrah ke Standard Chartered Bank regional office di Bahrain sebagai Head of Portfolio Management untuk produk-produk pinjaman (lending products) yang membawahkan empat negara, yaitu Bahrain, Qatar, Yordania dan Lebanon.
Dan, pada Mei 2008 Ari pindah ke bank terbesar ketiga di Timur Tengah, yaitu Samba Financial Group di Arab Saudi sebagai Asisten GM, membawahkan produk premium dan inisiatif strategis di departemen bisnis kartu kredit. Portofolio bisnis kartu kredit bank ini tak sedikit, yakni mencapai US$ 500 juta. Prestasi lulusan Fakultas Teknik Mesin Universitas Diponegoro Semarang ini tak diragukan lagi. Di Grup Samba, dalam kurun 1,5 tahun, ia telah meluncurkan produk segmented, yaitu kartu kredit khusus untuk para pebisnis atau entrepreneur segmen papan atas. “Grup Samba adalah salah satu bank pertama di Arab Saudi yang meluncurkan produk seperti itu,” ujar peraih gelar Master of Business Administration in General Management dari Universitas Swinburne, Australia, ini.

Bicara tentang karier, Ari berpandangan bahwa orang Indonesia umumnya selalu melihat jabatan (job title), bukan seberapa besar bisnis yang digeluti. Atau, kalau dalam istilah perbankan, seberapa besar revenue dan portofolio yang dikelola. Mashreq Bank, misalnya, adalah bank yang cukup besar di Timur Tengah. Namun, bank ini hanya membangun bisnisnya di Qatar. Waktu itu Mashreq Bank hanya memiliki lima cabang dengan pendapatan per tahun tidak lebih dari US$ 50 juta.

Sementara Grup Samba Financial, pendapatan per tahunnya mencapai US$ 1,3 miliar atau 26 kali lebih besar dari Mashreq Bank. Tentunya, dengan pendapatan dan portofolio yang jauh lebih besar, tantangan dan kompleksitas kerjanya juga akan jauh lebih tinggi. Lalu, profil karyawannya pun sama sekali berbeda karena harus punya pengalaman yang lebih. Contoh di Indonesia, apakah asisten vice president di Citibank Indonesia lebih rendah daripada vice president di Bank Kesawan? Tentu tidak. “Maaf, ini hanya contoh tanpa merendahkan Bank Kesawan tentunya,” kata lelaki yang pernah berkarier di Citibank dan Stanchart Jakarta ini.

Ari juga membandingkan soal etos kerja di wilayah tersebut yang berbeda dibandingkan dengan di Indonesia karena pengaruh budayanya. Hal itu terutama mengenai ritme kerja yang agak lamban, sehingga merupakan tantangan tersendiri apabila ingin mencapai suatu target dalam pekerjaannya. Situasi kerja di Indonesia, terutama di Jakarta, menuntut orang bekerja ektrakeras agar bisa survive. Tantangan tidak hanya dimulai di tempat kerja, tetapi saat ke luar pagar rumah, yaitu macet di jalan sudah menghadang. Belum lagi long working hour di kantor. Di tempat Ari bekerja, selain tidak ada macet, jam kerja bisa dibilang normal. Artinya, bekerja tidak sampai terlalu larut malam seperti di Jakarta. Selain itu, penghasilannya jauh lebih tinggi, sekitar 2-3 kali dari Indonesia. “Jadi as overall, ada balance life di sini dibanding di Jakarta. At least dalam case saya pribadi,” ia menegaskan.
Kendati demikian, Ari juga berkeinginan, suatu saat pulang ke Tanah Air. Apalagi dengan basis pengetahuan perbankan syariah yang ia miliki sekarang, dirinya ingin membangun perekonomian syariah di Indonesia, terutama di daerah, agar tingkat perekonomiannya bisa tumbuh lebih pesat. Hanya saja, semua itu tergantung pada perkembangan dan kesempatan yang ada. “Jadi, saya juga tetap tidak menutup kemungkinan untuk kembali berkarier di Indonesia, terutama di industri perbankan,” ujar peraih gelar Master of Engineering in Engineering Management dari Royal Melbourne of Technology Australia ini.

Dede Suryadi dan Darandono
0
5.4K
12
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan