- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Ngapain Sih Dukung JokoWi?


TS
AhmedKhaeran
Ngapain Sih Dukung JokoWi?
Quote:

Quote:
BACA DULU SEBELUM KOMENG!!
Quote:
Seru, hiruk pikuk, ramai, dan kusutnya kampanye cagub DKI usai sudah, kini kampanye halus para pendukung mulai pindah ke media sosial, sebuah tren baru. Keren! Para cagub kini tinggal berdoa dan meminta restu dari banyak pihak selain pendukung. Walau sepertinya akan ada juga tim cagub yang mulai melancarkan bagi-bagi uang untuk tetap mencoba peruntungan mendapatkan dukungan warga.
Saya merupakan orang yang sebetulnya tidak terlalu ambil pusing dengan yang namanya pilkada DKI atau pemilu. Karena bagi saya, DKI dan negeri ini sedang mengalami masa-masa pancaroba dari kehidupan berpolitiknya sejak reformasi. Semua sedang merasa pintar dan punya peran dalam perubahan negeri ini. Lantas pertanyaannya cara apa yang paling manjur mengobati negeri ini? Pergerakan? demonstrasi? Lawan aparat? Lawan pemerintah? Atau melawan parpol?
Dari semua cara yang pernah dilakukan warga dalam melawan sistem pemerintahan, hal yang sangat LANGKA dilakukan secara signifikan dan masif adalah, minimnya tokoh politik yang punya integritas. Dengan kata lain, negeri ini krisis tokoh-tokoh berintegritas tinggi dan punya pandangan luas dan indah akan harapan pembaharuan negeri. Tapi pertanyaanya, ada gak sih tokoh seperti itu? Menurut saya ADA! Bahkan ada dua, yaitu Joko Widodo dan Pak Dahlan Iskan. Overrated? ya biasa lah hal over the top itu seringkali jadi overrated, anyway..
Ada twips bertanya pada saya: kang besok pilgub DKI dukung siapa? Saya jawab ringkas: Saya dukung Faisal-Biem tapi coblos JokoWi. Ditanya lagi: ngapain sih dukung JokoWi? - Ah menarik.. mari!
Melawan dan Ikut Sistem?
Pertama kali saya kenal nama JokoWi karena sikap dia sebagai walikota yang melawan sistem lama pemerintahan di Surakarta. Saya yakin sudah banyak yang mendengarnya, maka saya tidak perlu lagi menceritakannya panjang lebar di sini. Singkat kata, sepak terjang JokoWi di pemerintahan Surakarta benar-benar sebuah tindakan terobosan yang tabu dan jarang sekali dilakukan banyak tokoh atau peminpin di Indonesia. Sikap melawan sistem JokoWi ini bukan tidak berdampak, karir politiknya jelas terancam karena ia berdiri sebagai walikota atas dukungan parpol besar PDIP - partai yang menguasai Solo saat itu.
Tidak sedikit kisah perseteruan JokoWi dengan DPD yang sesama kader PDIP, begitu pula dengan gubernur JATENG Pak Bibit yang rekan satu partainya sendiri. Perseteruan JokoWi dan Pak Bibit pun sangat heboh dan meledak di Solo. Warga siap pasang badan melindungi pemimpin kotanya. Padahal Pak Bibit adalah seniornya Pak JokoWi di PDIP. Secara lugas, sikap JokoWi ini sudah menggambarkan sikap pemimpin yang tegas, berani, dan berintegritas. Walau ia berdiri atas dukungan partai, tapi tidak serta-merta musti turut apa kata partai.
Menariknya, cara JokoWi mendobrak sistem kolot pemerintah tadi tidak dengan jalur anti-sistem atau radikal, justru dengan masuknya JokoWi di PDIP adalah sebuah sikap main cantik, ia masuk sistem untuk mengubah sistem. Jelas ini sebuah tantangan yang sangat berat bagi seorang pemimpin dan politisi untuk melakukan perubahan dari dalam sistem. Kalau cuma mencoba mengubah sistem dari luar, saya rasa sudah banyak dan basi. Hasilnya? Ya.. tidak usah berharap banyak juga.
One Vote = Three Hopes?
Twips: Tapi integritas JokoWi kalah dengan perintah Ibu Mega!! Mana kredibilitas dan sikap melawannya??
Sederhana saja, sistem pemilihan pemerintahan di negeri ini adalah sistem kepartaian yang sangat kental suasana politisnya. Politik itu bukan science yang musti komitmen bahwa 1 adalah 1 dan 2 adalah 2. Politik adalah sikap dan keputusan dengan penyesuaian. Jangan kaget dan heran jika dalam politik kita sering melihat politikus yang plin-plan, berubah-ubah, atau sikap lobi-lobi pendekatan guna menelurkan sebuah kebijakan. Disitulah karakter, uniknya, seni, dan kotornya dunia politik. Namun dibalik semua itu, politikus atau manusianya lah yang patut kita jadikan pegangan. Politik kotor lahir dari politikus kotor, politik baik pun tentu lahir dari politkus baik. Jangan salahkan agama hanya karena ada ulama kotor yang oportunis dengan agamanya. Begitu pun dengan politik.
Saya hanya berfikir, alasan JokoWi ikut petuah pimpinannya itu karena ada sebuah misi dan agenda tertentu yang besar bagi JokoWi. Saya pun percaya bahwa misi dan agenda itu musti bagus untuk DKI atau jangan-jangan untuk Indonesia? Yang JokoWi butuhkan saat ini adalah tiket masuk menuju kompetisi pimpinan DKI. Sebuah kompetisi yang sangat bergengsi dan bisa menetukan tren demokrasi negeri ini. Tanggung jawab kita.. warga DKI adalah memberikan contoh bagaimana sebuah pilkada musti berjalan. Dukungan kita, satu vote, adalah tiket untuk JokoWi. One vote = three hopes, satu untuk kita sebagai warga DKI, satu untuk Jakarta, satu lagi untuk Indonesia.
Ini Jakarta Bung!
Jakarta bukan kota sembarangan, ini kota keras! Sadis!! Akan tetapi sejujurnya, tahun ini dengan enam kandidat cagub sungguh mengesankan, plus dua kandidat independen, Hendardji dan Faisal Basri. Lalu ada dua kandidat cagub dari daerah yaitu Alex Noerdin dan JokoWi, Ini sebuah terobosan keren. Sebuah tren baru dalam pilkada.
Tapi kan itu Solo? Kota kecil Tulz! Jakarta besar!!
Kecil atau besar itu cuma masalah scalable, kita orang Indonesia mustinya mampu mengubah cara pandang lama tersebut. Ini jebakan besar lho kawan-kawan.. bahwa untuk mengubah hal besar musti dari orang besar, untuk mengubah TNI musti dari TNI, ingin merombak PSSI musti dipimpin dari PSSI juga. Ini pemikiran picik gaya orba yang masih tersisa. Lepaskan teman! Sebesar apa sih Ibu Sri Mulyani bisa-bisanya jadi pemimpin bank dunia? kebesaran? kekecilan? Kuncinya adalah kapabilitas dan integritas. Kalau orang sudah dasarnya tidak punya kapabilitas dan integritas, gak akan ngaruh tanggung jawab besar atau kecil ya tetap saja kusut!
Oportunis dan Utopis
Banyak yang curiga bahwa JokoWi masuk pilcagub DKI atas banyak kepentingan. Ya iya jelas! Ini politik.. dan dukungan parpol, siapa yang akan mengambil keuntungan dan kepentingan atas menangnya JokoWi? ya jelas parpol yang mendukungnya duluan. Pertanyaan selanjutanya, apakah parpol pasti mendapatkan keuntungan dan kepentingannya tersebut? Belum tentu, tergantung apa JokoWi melihat hal itu cocok atau tidak. Bisakah ia seperti itu? Faktanya, dua periode di Solo kemarin ia bisa!
Lalu, bagaimana dengan cagub yang non dukungan parpol? Seperti Faisal Basri dan Hendardji? Apakah tanpa parpol di belakangnya akan lebih baik? Saya tidak tahu, saya hanya bisa khawatir. Kenapa? Kembali kepada konsep kepentingan tadi, cagub tanpa kelembagaan parpol jelas akan punya peluang disusupi banyak pihak oportunis. Sebagai parpol, mereka pasti akan melakukan filtering kepada siapa pun pihak yang hendak merapat dan mengambil keuntungan kepartaian. Tapi jika cagub tanpa partai, saya cuma khawatir lubang-lubang oportunis ini sangat terbuka lebar. Dukungan tinggal dukungan.. siapa pun bisa berubah, kelak cagub independan dapat kursi, tiba-tiba para pendukungnya minta jatah ini itu, alasannya cuma: eh lu bisa naik disini gara-gara gw sama kelompok gw lho. Apa berlebihan? Tidak! Sudah banyak contoh-contoh seperti itu terjadi.
Umpama saja ya, Herdardji atau Faisal Basri menang, mungkinkah ada pihak yang muncul - misalnya Forum Betawi Kemayoran yang minta jatah entah apa kepada Pak Faisal? lalu komunitas anu, tokoh anu, bapak ini, lembaga itu, dan seterusnya, yang dengan memaksa minta jatah cukup dengan alasan: warga kami dukung bapak kemarin.
Ini sangat mungkin terjadi mengingat banyaknya pihak, kaum, atau kelompok oportunis di negeri ini. Fatalnya lagi, kelompok-kelompok oportunis ini bisa dengan mudah ganti baju saat juragannya jatuh dia akan pindah ke juragan barunya. Nah siapa yang bisa menjaga hal seperti itu? menurut saya sistem kepartaian politik.
Lantas kenapa dengan non-parpol? Saya melihat hal tersebut sebagai sikap utopis, sikap para analis, peneliti dan akademia. Sikap ideal yang belum tentu bahkan sangat sukar diterapkan dalam waktu cepat. Menuntut sebuah perubahan pada sistem politik yang non-parpol itu sebuah pekerjaan besar yang musti dilakukan secara bertahap dan halus. Dengan kata lain: evolutif. Jika ingin segera berubah dan memaksakan diri maka jadi revolutif. Faktanya tindakan revolutif ini jelas akan memakan banyak kerugian, rugi uang, rugi korban, rugi kerusakan, dan rugi pace.
Terus terang, saya cemas dan khawatir atas posisi para cagub independen dari sisi situ tadi. Maka komitmen untuk kandidat Pak Faisal Basri dan Hendardji sangat dibutuhkan, tapi saya yakin mereka bisa. Saya pun melihat semangat indie ini musti tetap maju atas nama sebuah perubahan yang evolutif. Sebuah gerakan pembelajaran yang faktual bahwa kandidat non-parpol pun punya kekuatan dan kesempatan yang sama, ini keren.
0
22K
Kutip
732
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan