ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #56 : Istriku Robot


Aku tidak mengerti kenapa orang-orang bisa bahagia dalam pernikahan mereka. Aku sudah menikah dua kali dan dua-duanya berakhir dengan perceraian. Aku hanya tak bisa menemukan cara agar dua orang yang berbeda bisa hidup dalam satu sudut pandang yang sama. Ada orang lain yang mempengaruhi hidupmu, membatasimu, membebanimu, menguras perhatianmu, tapi kau merasa nyaman dengan hal itu. Itu adalah sesuatu yang tak bisa kumengerti.

Mungkin aku tak terlalu paham apa itu cinta.

Aku menghabiskan masa kecil dengan belajar serius, mendapat nilai yang bagus, dan akhirnya mendapatkan pekerjaan yang baik. Aku bangga dengan karirku, tapi mungkin aku seharusnya belajar lebih banyak tentang hubungan antar manusia. Sekarang setelah nyaris memasuki umur 40, tampaknya mustahil untuk memulai hubungan baru yang serius.

Saat jalur cinta ditutup, tampaknya Tuhan cukup berbaik hati dengan memberiku kesuksesan dalam karir. Aku punya posisi yang cukup tinggi di sebuah perusahaan besar. Aku sering bertemu para petinggi perusahaan besar lain dan dari apa yang kulihat tak banyak di antara mereka yang benar-benar bahagia dalam berumahtangga.

Ada yang menikah demi formalitas, ada yang menikah demi koneksi, ada juga yang menikah hanya demi memiliki anak. Ciri-ciri pernikahan bahagia tak terlihat di wajah mereka. Tak sedikit yang punya simpanan dan tampaknya istri mereka pun tak mencintai mereka juga.

Satu orang yang paling menarik perhatianku adalah Abimana. Dia menikah dan punya dua anak. Dia tidak punya simpanan (setahuku) dan tampaknya punya komunikasi cukup baik dengan istrinya. Kukira dia adalah kasus langka, tapi ternyata dia cuma seorang pebisnis sejati.

“Cinta? Apa itu?” tanyanya dengan nada mencemoh. “Kami dijodohkan, tapi karna kami sama-sama pebisnis kami buat kontrak pernikahan yang kuat. Satu, tak boleh ada skandal. Dua, sex seminggu sekali. Tiga, dia akan melahirkan dua anak. Empat, quality time setiap akhir pekan. Lima, harus selalu menjawab panggilan telepon. Dan masih banyak lagi.”

“Kalian buat kontrak pernikahan? Dan itu sukses?”

“Mungkin aku beruntung karna dapat istri yang sepemikiran. Kita realistis ajalah, cinta itu bukan hal penting. Aku nggak butuh cinta dari orang lain, aku cinta diriku sendiri. Yang penting semua sesuai dengan target yang kau mau.”

Aku tak pernah benar-benar punya target dalam pernikahan. Kukira orang-orang menikah karena ingin bahagia, tapi kurasa sendirian pun aku sudah cukup bahagia. Kurasa akan menyenangkan jika punya anak, tapi aku tak yakin bisa jadi ayah yang baik.

“Manusia itu memang rumit, semua orang punya ego masing-masing,” ucap Abimana kemudian. “Di luar negeri banyak yang bahagia hidup sendiri, tapi tetap ada nilai plus kalau kau punya orang lain. Kau lagi nyari istri yang sempurna ya? Mau nyoba ini?”

Dia menyodorkan ponselnya padaku. Itu adalah foto seorang wanita cantik yang tak kukenal. Aku tak mengerti apa maksudnya.

“Ini … robot,” ucapnya saat melihat wajah bingungku. “Produk baru kami dari luar negeri. Persis manusia, kecerdasan buatan, bisa kau program semaumu. Ini masih produk percobaan, kalau kau mau bisa kukasih satu.”

Aku tahu perusahaannya memang bergerak di bidang itu, tapi tak kusangka wanita di foto itu benar-benar robot. Aku benar-benar tak bisa melihat perbedaannya dengan manusia.

Gimana rasanya punya istri robot? Rasanya agak … kurang etis. Walaupun robot itu bisa diprogram sempurna, tetap saja aku tahu bahwa semua itu cuma program, bukan sesuatu yang murni seperti perasaan manusia.

Meski demikian aku menerima penawaran Abimana. Aku tak benar-benar bisa menjelaskan kenapa. Mungkin … aku benar-benar kesepian lebih dari yang kukira.

***


Butuh satu minggu sampai apa yang dia janjikan tiba di rumahku. Saat pertama kali membukanya, aku sama sekali tidak melihat apa bedanya dia dengan wanita pada umumnya. Sensasi rambut, kulit, kuku, dan giginya benar-benar seperti manusia. Jika sebenarnya dia manusia yang menyamar menjadi robot maka aku akan percaya.
Namun dia tidak bernapas.

“Bangun.”

Dia membuka matanya. Iris mata coklat itu terlihat indah, mungkin lebih indah dibanding manusia pada umumnya. Dengan segera dia menatapku. Kata Abimana, robot ini akan menaati siapa pun yang dia lihat pertama kali.

“Selamat siang, Tuan. Adakah yang bisa saya lakukan untuk Anda?”

Di momen inilah aku benar-benar merasa bimbang. Aku merasa jika ingin mundur maka sekaranglah saatnya. Aku bisa menutup dan mengembalikannya. Mereka akan meresetnya dan semua ini bisa kuanggap sekedar mimpi.

“Aku mau … kau jadi istriku.”

Betapa lemahnya diriku ini.

***


Aku memutuskan memberinya nama Enia untuk mengingatkanku bahwa dia bukanlah manusia. Meski demikian hari demi hari aku benar-benar merasa tinggal dengan manusia sungguhan. Cara dia berjalan, cara rambutnya berkibar, cara dia makan, suhu tubuhnya, suara tingginya, senyum dan gigi putihnya tak berbeda sedikit pun dari manusia.

Satu-satunya yang membuatku sadar dia bukanlah manusia adalah sifatnya yang benar-benar sempurna, persis seperti yang kuinginkan. Jika aku menginginkan sesuatu dia akan menurut. Jika aku ingin dia marah dia akan marah. Dia bisa memasak apa pun yang aku mau, membersihkan rumah, menyambutku setiap pulang, bahkan memberi saran atas keluh kesahku.

Dia bagaikan kanvas kosong yang bebas diisi sesuka hati. Dia adalah perwujudan dari semua yang kuinginkan. Dia adalah pemuas seluruh ego-ku. Dia sama sekali tak berbeda dengan diriku. Dia tidak punya apa-apa di dalam, dan karena itulah dia bisa menjadi aku.

Hidup bersamanya membuatku mengingat kembali apa yang membuat dua pernikahanku gagal. Perceraian pertamaku berakhir karena aku tak punya cukup waktu untuk istriku. Aku pulang terlalu malam, sering bekerja meski liburan, bahkan aku masih perlu mengurus pekerjaan di bulan madu kami. Tak aneh jika dia marah.

Namun Enia tidak mempermasalahkan itu. Dia bisa tidur, tapi tidak perlu tidur. Dia bisa terjaga sepanjang malam dan menungguku. Dia juga tak akan mengeluh jika aku harus tetap bekerja di akhir pekan. Dia hanya tersenyum dan berkata, “Lakukan yang terbaik.”

Pernikahan keduaku berakhir tanpa aku paham kenapa. Belajar dari perceraian pertama aku mencoba menghabiskan lebih banyak waktu di rumah, mencoba memancing percakapan yang hangat, tapi istriku berkata aku berusaha terlalu keras. Mungkin aku memang tidak ahli dalam bersosialisasi sehingga usaha yang kulakukan malah terasa tidak nyaman.

Namun Enia tak pernah merasa tak nyaman. Aku memintanya untuk aktif memancing obrolan, tapi saat aku menyuruhnya diam dia akan diam tanpa pertanyaan. Saat aku ingin obrolan yang hangat dia akan menyambut dengan sama hangatnya. Dia benar-benar sesempurna yang aku inginkan. Siap menjadi pelampiasan tapi tak akan melampiaskan apa-apa.

Dia sempurna dan karena itulah terasa menakutkan. Terkadang aku bertanya-tanya, apakah aku orang yang kejam karena hanya memikirkan diri sendiri? Atau apakah itu tidak kejam karena aku melakukannya pada robot dan bukan manusia?

“Hei Enia, apa kau punya keinginan?”

Di suatu malam langka di mana aku bisa pulang cepat, aku menanyakan itu padanya.

“Aku nggak punya keinginan apa-apa,” jawabnya dengan bahasa yang jauh lebih santai dibanding saat pertama kami bertemu, “sekarang aja aku udah bahagia banget.”

Aku tahu dia tak bisa merasakan kebahagiaan, tapi itu memang jawaban yang sesuai dengan apa yang kuinginkan. Kecerdasan buatan yang tertanam dalam dirinya sudah mempelajari diriku jauh lebih baik dibanding diriku sendiri.

Jawabannya membuatku senang, tapi kesenangan itu ternoda karena aku tahu itu hanyalah program. Itu tidak nyata. Itu palsu.

“Semua ucapanmu … palsu, iya kan?” aku bertanya di tengah ketidaknyamanan. “Nggak ada yang asli di sini. Sikapmu begini cuma gara-gara programmu memang begitu.”

Tanpa sadar aku mengucapkan apa yang mengganjal di hatiku. Aku menginginkan seorang teman, seorang pasangan hidup, dan Enia adalah sosok yang sempurna. Meski demikian tetap saja ada bagian tertentu dalam diriku yang merasa waspada dengannya karena aku tahu tak ada apa pun yang nyata dari semua yang dia lakukan.

Meski demikian Enia memiringkan kepala dengan wajah bingung. Dia sadar dirinya bukan manusia dan tak pernah menyangkal kebenaran itu.

“Aku penasaran, memang apa bedanya asli dengan palsu?”

“Apa?”

“Misalnya kalau Monalisa dicuri terus diganti dengan yang sama persis, memangnya nilainya berkurang? Walaupun itu nggak asli tapi keindahannya tetap sama kan? Kalau ada yang ngasih kita makanan, entah itu ikhlas atau punya niat tertentu, kita tetap kenyang kan? Kurasa nggak ada yang perlu dipermasalahkan di situ.”

Jawabannya sangat praktis. Sangat mengangungkan hasil tanpa memikirkan hal yang tak perlu. Itu adalah sifat yang juga aku miliki. Fokus pada hasil, tak perlu permasalahkan apakah itu bisa memuaskan semua orang atau tidak. Mencari jawaban yang bisa memuaskan semua pihak malah cenderung tidak menghasilkan apa-apa.

Kenapa aku tak bisa menerapkan sifat itu dalam pernikahan?

“Lagian menurutku yang palsu justru lebih bernilai, kan?” tanya Enia lagi. “Yang palsu mencoba menjadi asli, itu artinya dia bekerja keras. Bukannya kerja keras itu lebih penting ya?”

Apa bedanya parfum berharga jutaan dengan milyaran padahal aromanya sama? Dari sudut pandang bisnis parfum jutaan justru lebih bernilai karena bisa menghasilkan aroma yang sama dengan harga jauh lebih murah. Persis seperti yang Enia katakan. Itu memang palsu, tapi itu jauh lebih berharga.

Mungkin itu cuma kalimat yang dia karang untuk meyakinkanku, tapi aku sepenuh hati menerima bahwa aku telah terperdaya olehnya.

***


Ada beberapa batas yang tak pernah kulangkahi saat bersama Enia, tapi sejak malam itu aku sudah benar-benar menganggapnya istriku. Kami mulai berhubungan ranjang dan aku sangat terkejut bahwa dia memberi kenikmatan yang jauh lebih besar dibanding wanita asli. Aku memeluk dan menyerahkan jiwa ragaku padanya. Untuk sesaat aku bahkan menginginkan anak darinya.

Aku tidak menganggapnya sebagai manusia dan karena itulah aku tak akan mereasakan kekecewaan apa pun. Dia tidak merasakan apa pun dan karena itulah aku bisa memuaskan diriku sendiri. Tapi aku tetap menganggapnya sebagai sesuatu yang amat berharga. Sesuatu yang melengkapi hidupku.

Aku tahu pemikiran itu sangatlah keliru, tapi aku tidak peduli. Kebahagiaan yang kurasakan jauh lebih berarti dibanding sekedar pemikiran yang keliru.

Setahun kemudian Abimana mulai memasarkan produknya di kalangan terbatas. Dari ceritanya produk itu paling laris di kalangan orang seperti kami, orang-orang egois yang ingin dicintai tanpa pamrih. Dia optimis bahwa produknya akan laku besar di pasaran. Orang-orang yang mencari kesempurnaan akan berkumpul dan membelinya. Meski menyedihkan, tapi faktanya manusia adalah makhluk tidak sempurna tapi menginginkan kesempurnaan.

Semakin modern jaman, hubungan antar manusia akan semakin tipis. Jika manusia tak bisa menawarkan hal yang lebih baik dibanding robot maka manusia akan ditinggalkan. Aku tahu banyak film yang mengangkat tema ini dan kebanyakan dari mereka berakhir dengan pemeran utama tetap memilih manusia. Memilih sesuatu yang nyata.

Namun, mengapa dia memilih itu? Aku tak lagi bisa membayangkan ada istri yang lebih sempurna dibanding Enia. Tak peduli apa yang akan orang-orang katakan, aku tidak peduli. Aku ingin menghabiskan seluruh hidupku bersama Enia. Setiap hari menatap wajahnya yang tak menua. Mendapatkan segala hal yang kuinginkan darinya sampai di hari kematianku.

Kadang aku bertanya-tanya, apa yang akan terjadi pada Enia setelah aku mati? Apa yang akan kulakukan padanya? Aku tak akan menyerahkannya pada orang lain. Tak ada gunanya juga jika aku membiarkannya berdebu dan rusak dimakan jaman. Karena itulah aku menulis satu program terakhir pada Enia.

“Enia, apa kau mau tetap di sisiku meski aku mati?”

Dan dengan begitu lembut dia menjawab.

“Ya. Aku akan selalu menemanimu.”

Semua sesuai dengan yang kuharapkan.

***TAMAT***
Diubah oleh ih.sul 29-04-2024 04:13
sukhhoi
mnotorious19150
itkgid
itkgid dan 7 lainnya memberi reputasi
8
1.7K
24
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
riodgarpAvatar border
riodgarp
#5
ini terinspirasi dari game Detroit Become Human ya gan?
0
Tutup