Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Aku terbangun, saat panas terasa di ujung jari tangan kiri ku. Sontak, ku lempar puntung rokok ke sudut ruangan. Kemudian mengambil puntung itu dan membuangnya ke asbak yang berada di meja laptop di sisi ranjang.
Kuraih handuk yang tergantung di balik pintu kamar dan bergegas mandi.
Jam menunjukkan pukul 6 pagi saat aku sudah berada di commuter line yang akan membawaku ke stasiun Pondok Ranji. Dari sana nanti, Ayah akan datang untuk menjemputku.
Aku menatap ponsel, mencoba merangkai kata untuk membalas pesan dari Aris semalam. Sudah beberapa kali aku mengetik, namun selalu ku hapus kembali, karena merasa kalimatnya terlalu penuh basa-basi. ‘Sorry, Ris. Semalem ketiduran’ akhirnya aku membalas dengan tata bahasa paling sederhana yang bisa kutemukan.
Sementara, lagu Luka-nya Shifter mengalun melalui earphone yang tersambung ke ponsel. Menemani perjalananku, menatap jendela besar gerbong kereta, menampilkan gedung-gedung dan bangunan yang bergerak cepat.
Sudah hampir 5 tahun terakhir aku tak mendengarkan lagu ini. Sebelumnya, setelah kejadian itu, lagu Luka-nya Shifter nggak pernah berhenti kuputar setiap ada kesempatan. Dan kini, hanya gara-gara seorang barista yang mirip dengannya, ada keinginan besar yang tak dapat kulawan, keinginan untuk kembali mendengarkan lagu ini. Tentu saja dengan terus berharap kalau si barista kemarin hanya pria yang mirip dengannya.
Ayah berdiri sambil berbincang dengan beberapa tukang ojek yang mangkal di depan warung nasi padang dekat stasiun. Ia langsung berpamitan ke para tukang ojek begitu menyadari kehadiranku. Aku meraih tangan ayah dan menciumnya.
“Kok nggak dianter Aris sih?” Tanya ayah, lalu bersiap menaiki motor dan menyalakan mesin.
“Gapapa” Jawabku singkat.
Dengan sepeda motornya, Ayah lalu membawaku menyusuri jalan raya yang masih lengang. Setiap melewati tukang dagangan tak henti-hentinya ayah memberi penawaran. “Bubur Ta?”, “Nasi Uduk Ta?”, “Lontong Sayur Ta?”, “Mie Ayam Ta?” yang semuanya ku respon dengan “Nggak ah, sarapan di rumah aja”.
Ayah merupakan kelahiran Betawi asli. Anak dari Haji Abdullah Muhasyim yang tersohor. Ia sosok yang seringkali menunjukkan ketegasannya dan selalu memberi kesan kalau dia nggak akan berkompromi terhadap hal-hal yang dianggapnya penting. Pun, saat ini ia sudah pensiun, tetapi ayah selalu menjaga penampilannya, rambutnya yang mulai memutih disisir rapi menampilkan kesan ‘memberi ketenangan’.
Selain pribadi yang tegas, ayah juga sangat menjaga kehormatan. Kehormatan dirinya, keluarga kecilnya dan tentu saja Almarhum ayahnya; Kakekku. Dan ia begitu ingin agar aku, anaknya, mengikuti prinsip-prinsip yang sama dengannya. Yang juga harus ikut menjaga kehormatan keluarga. Sejak bersekolah, aku sama sekali nggak diperbolehkan untuk berpacaran, nggak boleh keluyuran malam-malam, nggak boleh keluar rumah dengan pakaian minim dan banyak hal lain yang ditakutkan ayah akan mencoreng nama keluarga besar Haji Muhasyim.
Tapi dibalik standar moral yang tinggi, Ayah hanya terlihat keras dari luar. Sejatinya ia punya hati yang lembut dan sangat amat peduli dengan kebahagiaan dan keselamatan keluarganya. Hanya saja, standar kebahagiaannya selalu saja disamakan dengan standar kebahagiaanku.
Menurutnya, hidup bahagia itu; lebih dari segalanya. Punya harta lebih banyak, pendidikan dan kehormatan yang lebih tinggi, dari orang lain. Terbukti dari hubunganku dengan Aris, yang banyak; sangat banyak melibatkan peran ayah di dalamnya. Selama ini Aku dan Ayah selalu punya perbedaan pandangan tentang ‘kebebasan’, hak-hak perempuan dan pandangan hidup yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianutnya. Dan selama itu pula, aku mencoba untuk diam, menuruti semua keinginannya.
Ayah juga punya misi yang dianggap penting dalam hidupnya, yaitu; mencoba mengangkat derajat dan martabat orang Betawi secara umum. Selama ini, orang Betawi selalu dianggap ‘terbelakang’ dan berpikiran sempit. Misi ini juga merupakan ‘warisan’ dari kakek yang sama sekali nggak mau dianggap remeh cuma gara-gara jadi orang betawi.
Dengan misi itu, Kakek berhasil hidup sukses. Sukses sebagai pemuka agama, sukses sebagai seorang profesional yang punya beberapa pabrik genteng dan batako, dan tentu saja sukses membuat Ayah menjadi sosok yang berpendidikan tinggi, cerdas dan punya kemampuan analitis yang baik. Hal itu tentu saja membuat ayah menjadi sosok yang kuat dan berpengaruh, juga menjadi profesional yang sukses. Jauh, berbeda dengan stereotipe orang betawi pada umumnya, yang “Tanahnye banyak, die jual, buat ngawinin anaknye, buat pegi haji, buat kimpoi lagi. Ujung-ujungnya, ngojek, paling banter kerja jadi satpam” Ucap Almarhum Kakek dulu saat memberikan wejangan kepada anak dan cucu-cucunya.
“Kagak ada barang atu, yang mikirin sekolah anaknye” Tambah kakek.
Sejauh yang bisa aku ingat, Kakek merupakan seorang pria yang punya aura kebijaksanaan dan spiritual. Wajahnya, penuh kerut namun tetap menunjukkan ekspresi ketenangan yang menenangkan. Matanya sama dengan mata milik ayah yang tajam memancarkan pengetahuan yang dalam, dan senyum lembutnya mampu meredakan ketegangan di sekitarnya.
Sehari-hari Kakek selalu mengenakan baju ala Betawi yang mirip dengan pakaian yang dikenakan para pendekar silat di film-film kolosal jaman baheula. Lengkap dengan peci dan sabuk besar berwarna hijau yang kerap digunakan untuk menyimpan rokok dan korek api.
Kini, walaupun sudah meninggal, sosok Kiai Abdullah Muhasyim; kakek, masih menyisakan wibawanya. Terkadang kesohoran Kakek kerap mendahului kami sebagai anak dan cucunya. Nggak jarang, kami sekeluarga mendapat perlakuan spesial saat tengah menghadiri sebuah acara. Kesohoran kakek nggak hanya membawa efek positif, nyatanya ada efek negatifnya juga; paling enggak itu yang kurasakan. Saat Lebaran contohnya, saking banyak tamu yang datang, terkadang kami sekeluarga nggak punya kesempatan untuk beristirahat; “Baru aja duduk, udah ada yang dateng lagi” gumamku kesal sewaktu lebaran tahun kemarin.
Nggak lama berselang, kami akhirnya tiba di rumah. Bunda menyambutku, masih dengan celemek yang menyelimuti bajunya, ia membuka kedua tangannya lebar-lebar dan langsung memberikan pelukan.
“Bunda kangen deh sama Tata…” Gumamnya seraya melepaskan pelukan, yang kini ganti menyentuh wajahku dengan kedua tangannya yang masih beraroma bumbu dapur.
“Tata juga kangen sama Bunda” Jawabku sambil tersenyum dan menatap bunda yang tetap cantik di usianya yang sudah menginjak kepala lima.
Bunda adalah kebalikan sempurna dari Ayah. Ia lahir dan dibesarkan oleh pasangan asal Manado yang pindah ke Jakarta. Bunda punya tatapan hangat yang selalu penuh dengan kepedulian dan senyum lembut yang mampu menenangkan siapa pun yang melihatnya.
Dia selalu tampil paripurna, rambutnya yang masih hitam dan panjang biasa diikatnya rapi, menunjukkan sikapnya yang praktis namun elegan. Wajahnya memiliki jejak-jejak kehidupan yang dialami, tetapi masih memancarkan kecantikan yang tenang dan alami.
Bunda merupakan contoh sempurna dari seorang ibu yang baik. Perempuan yang berhati besar, selalu siap memberikan kasih sayang dan dukungan kepadaku yang tentu saja tanpa pamrih. Ia berpandangan terbuka, selalu menjadi pendengar yang baik dan nggak pernah menghakimi. Jikalau ada yang kusuka dari hidup di keluarga ini, mungkin hanya dirinya dan cinta juga kehangatan dalam setiap gerak-geriknya.
“Kamu kenapa nggak minta anterin Aris, Ta?” Tanya Ayah begitu kami bertiga duduk di meja makan untuk sarapan.
“Nggak enak” Jawabku seraya menerima porsi nasi dari Bunda.
“Nggak enak kenapa?” Tanyanya lagi.
“Masih pagi udah minta anterin” Jawabku lagi.
“Iya yah, Aris kan juga harus istirahat. Masa hari libur cuma suru anter-jemput Tata” Bunda menambahkan, sembari menyendok porsi nasi untuk dirinya sendiri.
“Ya Ayah kan mau ngobrol sama Aris” Ucap Ayah. Sementara, aku nggak melanjutkan obrolan dan mulai makan. Enggan melayani perdebatan ayah.
Sejatinya hubunganku dengan Aris baik-baik saja. Paling nggak sampai saat Ayah ikut turut campur dalam hubungan ini. Pertama kali berkenalan dengan Aris adalah saat aku berada di tahun terakhir berkuliah. Saat itu, Aris kebetulan tengah menempuh pendidikan S2 nya di kampus yang sama denganku.
Melalui pendekatan yang jadul dan konservatif, kami mulai berkenalan. Saat itu, aku baru saja selesai dengan ‘terapi mental’ yang kujalani. Dan dengan perhatian juga sikapnya, Aris berhasil membuatku merasa kembali menjadi ‘manusia normal’ lagi. Nggak cuma itu saja, saat aku benar-benar butuh teman untuk berbagi cerita tentang masa laluku, Aris selalu hadir dan menjadi pendengar yang baik.
Rupanya, usut punya usut, Aris masih kerabat jauh Kakek yang juga keturunan dari keluarga betawi terpandang. Jadilah mulai saat itu, Ayah ikut masuk dan ‘mengobrak-abrik’ hubungan kami. Aris tentu saja sama sekali nggak merasa terganggu, Tapi nggak buatku. Ayah terlalu mendikte cara kami dalam menjalani hubungan. ‘Kalo makan yang bayar harusnya Aris’, ‘Kalau kemana-mana, harusnya Aris yang antar’ dan banyak hal lain yang malah membuatku kesal. Gara-gara hal ini juga, aku kini juga mulai membenci Aris. Karena ia nggak pernah berpihak kepadaku, setuju dengan Ayah.
“Nanti kamu telpon Aris ya, suru main kesini” Ucap Ayah.
Bunda menatap ke arah ayah lalu berpaling ke arahku, kemudian tersenyum. Seakan memberikan penghiburan kepadaku.
Aku berdiri, mendorong kursi ke belakang sambil menatap ayah; “Kalo ayah yang mau ngobrol sama Aris, ayah aja yang nelpon, kenapa mesti Tata” Jawabku, mencoba bersikap setenang mungkin dan dengan nada serendah mungkin.
“Tata udah makannya, Tata mau ke atas, mau tidur” Tambahku, kemudian bergegas meraih tas dan naik ke lantai dua, ke kamar.
Aku masuk ke kamar, menutup dan mengunci pintu lalu langsung menjatuhkan diri di atas ranjang, mencoba untuk tidur. Beberapa saat berikutnya, ponselku bergetar, sebuah notifikasi pesan masuk; dari Aris.
‘Kamu udah di rumah?’ tanyanya melalui pesan.
‘Iya’ balasku singkat.
Detik berikutnya, ponselku bergetar, dan nama Aris muncul di layarnya. Aku menekan tombol merah pada layar, menolak panggilan darinya. Kumatikan ponsel dan meletakkannya di atas meja kecil di sebelah ranjang. Kemudian beringsut, menggeser tubuh mendekat ke arah jendela kamar, membukanya lebar-lebar dan sambil berpangku tangan aku menatap ke luar. Nampak, atap-atap rumah tetangga dan beberapa bangunan tinggi yang merupakan bangunan sekolah dasar dan beberapa ruko yang dibangun tepat di sebelahnya.
Tanpa menatap, aku merogoh tas, meraih bungkusan rokok, mengambilnya sebatang dan mulai menyulutnya. Sudah beberapa tahun belakangan ini, aku mulai memberanikan merokok di dalam kamar, walaupun untuk jaga-jaga, pintu selalu dikunci dan tak lupa menyemprotkan pengharum ruangan begitu selesai merokok.
“Tok Tok” Terdengar suara ketukan pintu kamar yang disusul suara Bunda memanggil namaku.
Buru-buru ku lempar puntung rokok ke luar, meraih pewangi ruangan dan menyemprotkannya, kemudian membuka pintu sambil pasang senyum.
Wajah bunda terlihat penuh senyum.
“Boleh bunda masuk?” Tanyanya.
Penuh keraguan, aku mundur beberapa langkah dan membiarkannya masuk. Bunda menatap sekeliling, kemudian mulai mengendus.
“Ngerokok?” Tanyanya, masih dengan senyum yang tak pernah sedikitpun sirna.
Aku menundukkan kepala, tau kalau percuma berbohong kepadanya. Hanya dengan melihat mataku saja, Bunda bisa dengan mudahnya tau kalau aku berbohong.
Aku mengangguk, pelan.
Ia lalu duduk di tepian ranjang dan meraih tanganku. “Jangan ngerokok di rumah ya sayang. Bunda nggak mau, Ayah nanti tau terus ngamuk”
“Iya Bunda” Aku menjawab lirih.
Aku lalu duduk tepat di sebelahnya, Bunda langsung memberikan pelukannya, pelukan yang menghangatkan. Kubenamkan kepalaku dalam pelukannya, kemudian perlahan mulai terisak dan menangis. Entah apa yang kutangisi, saat ini aku hanya merasa hati ini nggak karuan, rasanya seperti sesak di dalam dada.
Bunda membelai kepalaku dengan lembut, matanya menatap lurus ke depan. Kemudian ia bicara; “Kenapa Ta? Coba cerita ke Bunda”
“Nggak tau Bund, aku rasanya sedih aja…” Jawabku.
“...” Bunda nggak merespon, ia hanya tersenyum sambil masih membelai kepalaku.
“... Kemarin, aku ngeliat cowok yang mirip sama ‘dia’” Aku menambahkan.
“Oya?”
“Iya…”
“Cuma mirip aja kan?” Bunda mencoba memastikan.
“Nggak tau”
“Ya mudah-mudahan cuma mirip. Tapi, seandainya orang itu beneran ‘dia’, kamu juga nggak bisa menghindarinya Ta” Bunda menambahkan.
Aku lalu mendongak dan menatap wajah Bunda. Mencoba memastikan apa yang kudengar barusan. Bunda lalu mengulang ucapannya; “Seandainya orang itu beneran ‘dia’, kamu juga nggak bisa menghindarinya”
“Terus Tata harus gimana bund?” Tanyaku.
“Ya hadapi aja. Hadapi rasa takutmu, Lawan!” Ucap Bunda, kini seraya mengepalkan tangannya.
“...”
“... Bunda tau, anak Bunda pasti bisa…” Ia menambahkan, memberikan semangat.
Lalu di sisa pagi menjelang siang hari itu, Bunda lalu mulai mendengarkanku berkeluh kesah.
—
Hanya Kamu Yang Bisa - Tiket
Tanpa terasa kau curi hatiku Dengan berbeda caramu menaklukkan hati kecilku Berjuta rayuan yang pernah ku rasa Namun tak pernah tersentuh tak ada yang mengesankanku
Tapi semua berbeda saat kau ada di sini Mempesonakan aku selalu
Hanya kamu yang bisa membuat aku jadi tergila-gila Membuat aku jatuh cinta Karena tak ada yang lain sepertimu
Berkali ku mencoba berpaling dengan makhluk indah lainnya Namun tak pernah ku rasakan Bila seindah bercinta ku denganmu
Tapi semua berbeda saat kau ada di sini Mempesonakan aku selalu
Hanya kamu yang bisa membuat aku jadi tergila-gila Membuat aku jatuh cinta Karena tak ada yang lain sepertimu
Berkali ku mencoba berpaling dengan makhluk indah lainnya Namun tak pernah ku rasakan Bila seindah bercinta ku denganmu
Hanya kamu yang bisa membuat aku jadi tergila-gila Membuat aku jatuh cinta Karena tak ada yang lain sepertimu
Berkali ku mencoba berpaling dengan makhluk indah lainnya Namun tak pernah ku rasakan Bila seindah bercinta ku denganmu