yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ




TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
174.5K
3K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#523
Jelang Final_Part 11
Kehidupan gue saat ini sangat berwarna jika dibanding beberapa tahun lalu sebelum bertemu dengan Emi. Jika mengingat masa-masa sebelum mengenal Emi, gue malah merasakan betapa menyedihkannya hidup gue. Percintaan yang terus menerus gagal dengan cara yang mungkin bagi sebagian orang sangat menyedihkan dan menyakitkan, sampai dengan pekerjaan di kantor yang begitu-begitu saja, walaupun memang tantangannya banyak, hanya saja gue merasa stuckdalam pekerjaan. Seperti tidak ada perkembangan sama sekali. Akan tetapi, hari ini gue malah dipanggil untuk menghadap Pak Yudi. Entah mau apa beliau ini. Gue tidak mau menebak-nebak apapun. Bisa saja gue mau diberikan tanggung jawab baru, diangkat menjadi staf tetap, atau malah diberhentikan kerjasamanya karena dianggap tidak berkembang dan merugikan. Tetapi untuk opsi terakhir ini gue rasa tidak mungkin karena gue merupakan salah satu staf andalan Pak Yudi di kantor, terlepas dari status gue yang masih freelance, karena keinginan gue.

“Masuk, Ja.” Pak Yudi mempersilakan masuk ke ruangannya, lalu memberikan tanda dengan tangannya untuk duduk.

“Ada apa ya, Pak? Tumben siang-siang gini udah dateng? Hehehe.” Gue berusaha mencairkan suasana. Pak Yudi seperti biasa, terlihat datar tanpa ekspresi.

“Hahaha. Bisa aja lo. Kan gue yang punya kantor, jadi ya suka-suka dong.” Ujarnya sambil tergelak. Gue pun tertawa lepas. Pak Yudi ini memang orangnya datar, tapi sekalinya bercanda, ya kadang lucu, kadang tidak. Tapi, kali ini pernyataannya benar-benar membuat gue tertawa.

“Iya, jadi to the point aja nih, Pak. Ada apa manggil saya kesini, tumben?”

“Gini, Ja. Gue mau kasih kabar ke lo, bahwa asosiasi kita sekarang ini punya aturan baru terkait dengan status karyawan.” Pernyataan Pak Yudi ini sontak membuat jantung gue berdegup lebih kencang dari biasanya. Ada apa ini? Apa ini pertanda gue harus menyelesaikan masa bakti gue selama delapan tahun terakhir bersama Pak Yudi?

“Wah kayaknya ada berita negatif ini untuk saya, ya?” Ujar gue dengan nada melemah.

“Ya mau gimana ya. Jadi aturannya itu, sekarang di perusahaan kayak kita gini udah nggak boleh lagi ada freelance atau subcon. Kita harus pakai karyawan tetap untuk bisa terus jalanin proyek-proyek yang ada, Ja…” Pak Yudi menghela nafas, kemudian melanjutkan kalimatnya, “Nah makanya gue mau omongin ke lo ini.”

“Kalo begitu, berarti saya udah nggak bisa lagi dong, kerja disini ya, Pak? Emang pengalaman saya, pendidikan saya untuk bidang kerja ini yang dikeluarin dari asosiasi, kurang tinggi, Pak? Bahkan saya cuma kalah senior dari Mas Yogi loh Pak. Teman-teman yang lebih senior secara pengalaman dari saya aja, jika dilihat tingkat senioritas di register pendidikannya masih lebih oke saya…” Ucap gue dengan nafas memburu dan sedikit terengah.

“Tenang dulu, Ja. Nanti asma lo kambuh.” Kata Pak Yudi tenang, seolah tidak ada apapun yang terjadi.

Gila juga ini orang. Gue sudah panik tidak karuan seperti ini, bisa-bisanya dengan santainya beliau menyuruh gue untuk tenang. Pikiran gue sudah kemana-mana, utamanya memikirkan untuk rencana pernikahan yang uangnya masih belum cukup. Sekarang saja gue bingung bagaimana mencari uang sisanya yang lumayan banyak dalam waktu kurang dari tiga bulan, nah ini malah ada berita seperti ini yang akan menimpa gue. Sungguh diluar dugaan sekali nasib gue.

“Terus jadinya saya gimana ini ya, Pak?” Gue benar-benar gusar sekarang.

“Tegang bener, lo. Hahaha.” …dan si bos ini malah tertawa.

“Loh, malah ketawa sih, Pak. Gimana saya nggak tegang. Saya sekarang dapat kabar yang nggak enak kayak begini.”

“Gue sebenernya udah ada rencana untuk pengembangan kantor ini, menyesuaikan dengan aturan baru asosiasi, dan juga manpower yang kantor ini punya. Salah satu manpower yang menonjol selama ini kan lo. Makanya gue dari dulu ajak lo buat gabung, tapi kan lo selalu menolak. Sekarang gue mau kasih penawaran terakhir, Ja, ke lo.”

“Penawaran buat jadi karyawan tetap gitu maksudnya, Pak?”

“Coba aja lo cerna sendiri tiap-tiap kalimat yang gue jabarin tadi, Ja.”

Gue malah disuruh mikir kayak gini. Saat perasaan gue sedang kalut dan kondisi dada gue yang berdebar kencang sehingga berimbas kepada perut gue yang mendadak tidak enak seperti menderita GERD, gue disuruh mikir.

“Saya diangkat nih, jadinya, Pak?”

“Makanya kan gue bilang tadi, tenang dulu. Nanti asma lo kambuh. Nah pas udah tenang gini kan enak jadinya, bisa mikir. Hehehe.” Ujarnya terkekeh. Sama sekali tidak lucu, walaupun ini menyenangkan di dalam hati dan pikiran gue.

“Kalau memang sudah saatnya saya bergabung, saya siap Pak.” Kata gue mantap.

“Gue kan udah ajak dari kapan tau. Sekarang lo nggak bisa nolak lagi karena aturan. Lagian udah lama gue pingin kasih tanggung jawab lebih ke lo, cuma karena status lo yang freelance itu, makanya jadi mentok. Gue bingung jadinya kalau nggak ada yang isi, posisi ini siapa yang mau isi. Karena, menurut hemat gue, yang paling pas di posisi ini adalah lo.”

“Emang saya mau ditaruh di posisi apaan, Pak?”

“Gue mau taro lo di posisi QC. Quality control. Tapi tetep tugas utamanya ya pekerjaan yang sebelumnya. Ini sebagai tambahan. Gue nggak mau rekrut lagi kalo yang nggak pengalaman.”

“Sebentar. Berarti saya double job, nih? Kompensasinya gimana, Pak? hehehe.” Gue harus langsung meluruskan, karena gue juga tidak mau bekerja seperti kuli yang tidak ada istirahatnya.

“Itu sih aman. Lo mau berapa emang? Gue emang nggak bisa kasih yang tinggi banget, tapi InsyaAllah itu semua cukup. Apalagi diluar gaji pokok, kan masih ada insentif pekerjaan.”

Gue sempat berpikir beberapa lama. Tanggung jawab sebagai QC dari semua produksi laporan yang orang-orang kerjakan di kantor gue, itu adalah sesuatu yang cukup berat. Apalagi gue menjalaninya dengan juga bekerja seperti biasa, turun ke lapangan juga, membuat laporan juga. Hanya saja, menurut gue ini adalah rejeki yang Tuhan berikan kepada gue. Kalau gue menolak, itu sama saja dengan menolak rejeki di depan mata yang mana sedang gue butuhkan.

“Hmmm. Sepertinya saya akan ambil tanggung jawab ini, Pak. Tapi saya juga butuh tim, Pak.”

“Iya, kan ada si Ican. Dia bisa bantuin lo nanti. Secara pekerjaan dia di administrasi kan cukup bagus performanya, nanti gue bisa perintahkan dia untuk bantu lo juga.”

“Boleh deh, saya juga udah percaya sama Ican, Pak.”

“Jadi, resmi nih ya?”

“Hitam diatas putih dulu dong, Pak. Hehehe.”

Prosesnya amat sangat cepat. Berkas-berkas dipersiapkan tidak sampai dua jam. Semuanya yang harus dilengkapi, serta dokumen pelengkap yang memang sudah diarsipkan sejak lama, membuat proses menjadi lebih cepat. Hal krusial mengenai gaji pokok, bonus, tunjangan, insentif pekerjaan, serta fasilitas-fasilitas pendukung lainnya termasuk upgrade ruang kerja, semuanya diiyakan oleh Pak Yudi. Berasa seperti anak emas gue saat ini. Hal yang amat sangat menggembirakan. Gue pun teringat dengan kata-kata Emi beberapa waktu lalu, jika kita punya niat baik, semuanya pasti akan diberikan jalan dan rejekinya, entah bagaimanapun caranya, biar Tuhan yang atur. Kita sebagai manusia hanya bisa berdoa dan berikhtiar. Mungkin saat ini, apa yang sudah gue berikan selama ini untuk kantor, paid off. Alhamdulillah. Gue pun berencana untuk memberitahukan kabar baik ini ke Emi sesegera mungkin. Walaupun gue sadar, dengan begini tidak menjamin gue bisa mendapatkan uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan resepsi yang tidak ada di rencana hidup gue dan Emi ini ke depannya.

Mulai bulan depan, gue akan menerima gaji pokok secara rutin, ditambah dengan insentif pekerjaan. Memang insentif ini besarannya tidak akan sebesar ketika gue menjadi seorang freelancer, tetapi dengan adanya gaji pokoknya yang sudah pasti masuk tiap bulannya, membuat hati gue lebih tenang untuk memikirkan masa depan keluarga gue kedepannya.

--

Langkah selanjutnya adalah menyicil barang-barang pribadi gue untuk dipindahkan ke rumah Emi. Sebagian memang sudah ada yang dipindahkan, tetapi karena waktunya semakin dekat dan gue ingin segera keluar dari rumah gue, makanya perpindahan ini harus segera terlaksana. Gue tidak mau menunda apapun lagi. Gue sudah cukup bertarung dengan keadaan hati yang hampir selalu tidak menentu jika terus menerus berada di rumah. Bergulat dengan fakta bahwa selalu ada hambatan atau juga tentangan dari Mama dan adik semata wayang gue. Semoga dengan adanya perpindahan ini bisa menyadarkan mereka bahwa gue juga bisa menentukan pilihan yang terbaik untuk gue dan tidak selalu harus menuruti kemauan mereka, meskipun dari lain sisi keluarga Emi, terutama Bapaknya, ini semakin hari semakin banyak saja kemauannya yang membuat gue semakin pusing.

“Itu nanti baju kamu taruh di dekat lemari aja dulu ya, Zy. Biar aku nanti yang susun.” Tegas Emi kepada gue saat gue mulai menurunkan barang-barang dari mobil.

“Oke, tenang aja, semuanya bakal di susun yang rapih kok sama gue, dan nggak akan ngerepotin lo, apalagi bokap lo. Hahaha.” Gue mencoba sarkas.

“Apaan sih, Zy? Kenapa jadi bawa-bawa bokap segala?”

“Ya kan bokap lo nyusahin kita berdua sekarang, jadi ya gue nggak boleh tambah nyusahin dong? Adanya nanti lo tambah pusing. Kalo pusing jadi stress. Kalo stress jadi penyakit. Nanti pas udah nikah malah sibuk ngobatin penyakit, bukan mengarungi ujian pernikahan.”

“Kenapa jadi kemana-mana sih mikirnya?”

“Gue nggak kemana-mana. Bokap lo dan saudara-saudara lo yang kemana-mana mikirnya. Udah nggak bantuin, nuntutnya banyak. Kayak orang banyak uang aja lagaknya. Gue aja yang keluarganya banyak orang-orang berada, termasuk gue sendiri dulu, nggak gitu-gitu amat mikirnya.”

“Kamu kenapa jadi bandingin sama keluarga kamu lagi? Kan kita udah pernah bahas ini?” Emi merasa tidak terima lagi dengan pernyataan gue. Entah kenapa, dalam pikiran gue tiba-tiba saja terlintas mau berbicara seperti ini. Mungkin ini adalah unek-unek gue akhir-akhir ini yang gagal untuk diselesaikan.

“Ya cobain aja kalo kamu ada di posisi aku, bingung nggak? Kalo nggak bingung, salut aku. Sudah calon mertua maunya macam-macam, ini juga orang tua sendiri masih ragu sama rencana pernikahan ini dan lainnya. Hal positif yang aku bisa kabarin Cuma aku udah resmi jadi kartap.” Ulas senyum pada kalimat terakhir berusaha gue tunjukkan, agar Emi merasa surprise.

“HAH?! Gimana? Kamu udah resmi jadi kartap? Kok nggak bilang aku, sih?” Benar saja, Emi terlihat terkejut mendengar kabar ini.

“Ya makanya ini gue mau kasih tau ke lo, Mi. Hehehehe.” Kata gue terkekeh.

“Ya Allah. Alhamdulillah. Tuh kan, Zy, percaya sama kuasa Allah, kita dikasih rejeki kayak gini.” Ujar Emi dengan nada setengah tidak percaya.

“Iya, Mi, Alhamdulillah banget. Aku aja senang banget ini. Tapi itu semua bakal jadi percuma kalo tuntutannya juga makin banyak sih, ya nggak?”

“Nggak usah dibahas bisa nggak, Zy?”

“Gimana nggak ngebahas kalo keluarga kamu ngototan nggak karuan kayak gitu?”

“Iya, tapi kan.... Ah udah deh, aku nggak mau berita bagus ini dicemarin sama urusan resenya keluarga aku, Zy.”

“Keluarga kamu itu rese, plus nggak tau diri sih. Kere aja pada banyakan gaya. Aku ngomong terang-terangan aja ya. Hehehehe.”

“Iya, emang keluarga aku banyak yang nggak mampu, orang kampung, tapi ya nggak semuanya gitu.”

“Nggak semuanya, tapi mayoritas kampungan. Hahaha. Susah, mentalnya miskin, mau dikasih duit kayak apapun juga kalo dasarnya mental miskin ya miskin aja. Mau tinggal di desa kek, mau di kota kek, kalo dasarnya begitu ya akan tetap seperti itu mindset-nya.” Gue berucap dengan gagah dan sangat menjengkelkan.

“Iya tau deh orang kota yang terbiasa kaya.” Balas Emi jengkel.

“Oh iya, emang gue pernah jadi orang tajir kok. Faktanya begitu. Makanya mentalnya beda. Orang tua gue, nyokap, itu nggak masalahin perkara duit dan segala macam yang terkait sama harta benda urusan pernikahan kan? Tapi lebih ke urusan hubungan kitanya. Lah ini keluarga lo, melihat keadaan kita juga nggak, nanya-nanya keadaan keuangan kita juga nggak, tapi nuntut macam-macam. Mentang-mentang gaya gue dan keluarga gue parlente, bukan berarti seenaknya gue mau menghamburkan uang, Papa gue nggak pernah ngajarin hambur-hambur uang kayak gitu selama hidupnya. Lo juga liat gue dari dulu kan awalnya juga nggak nyangka gue ternyata punya orang tua yang seperti itu, bukan? Ini perkara mindset aja. Tapi mindset kampung keluarga lo itu bikin susah kita. Sampai disini ngerti kan arah omongan gue?”

“Iya Zy.” Emi tidak banyak berkata-kata lagi.

Sejurus kemudian, Bapaknya Emi muncul dari lantai bawah. Entah beliau ini mendengar omongan gue dan Emi atau tidak. Gue juga sebenarnya tidak peduli. Jikapun nanti beliau mendengar percakapan kami soal mindset tadi, tidak jadi masalah bagi gue. Gue siap untuk memperjuangkan apa yang menjadi tujuan hidup gue, Emi, walaupun pastinya akan dipersulit lagi kedepannya. Gue hanya bisa tersenyum template basa basi ala calon menantu saja.
kaduruk
khodzimzz
delet3
delet3 dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Tutup