Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

kaum.milenialAvatar border
TS
kaum.milenial
Celaka Jika RI Pikul Biaya Bengkak Kereta Cepat Jakarta - Bandung


Jakarta, CNN Indonesia -- Masalah Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) seperti tak ada habisnya. Yang terbaru, China Development Bank (CDB) disebut meminta Indonesia ikut menanggung pembengkakan biaya (cost overrun) proyek tersebut.

Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Wahyu Utomo mengatakan pemerintah masih membahas pembengkakan biaya proyek KCJB.

"Memang beberapa waktu lalu disampaikan permasalahan cost overrun. Tentang cost overrun ini setahu saya masih dibahas karena ada permintaan agar cost overrun ini juga di-cover oleh Pemerintah Indonesia," ujar Wahyu dalam konferensi pers, Selasa (26/7).


Berdasarkan hitungan PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI, pembengkakan biaya proyek KCJB maksimal sebesar US$1,9 miliar atau Rp28,5 triliun (asumsi kurs Rp15 ribu per dolar AS).

Meski sudah ada proyeksi, KAI masih akan menunggu audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). 


KAI adalah pemimpin (lead) konsorsium proyek KCJB bernama PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI). Anggota konsorsium terdiri dari PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero) atau PTPN VII.

PSBI memiliki 60 persen saham di operator proyek KCJB, PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Lalu, 40 persen saham KCIC digenggam oleh Beijing Yawan HSR Co.Ltd


Hitungan KAI rupanya berbeda dengan KCIC. Menurut Direktur Utama KCIC Dwiyana Slamet Riyadi, proyek KCJB berpotensi bengkak US$2,6 miliar atau Rp39 triliun selama 2019-2022.

Beruntung, biaya itu berhasil ditekan menjadi US$1,67 miliar atau Rp25,05 triliun. Kendati demikian, KCIC memproyeksi pembengkakan biaya proyek KCJB berpotensi bertambah Rp2,3 triliun yang berasal dari pajak dan pengadaan lahan.

Jika benar demikian, maka total pembengkakan biaya proyek KCJB versi KCIC menjadi sekitar Rp27,35 triliun atau beda tipis dengan hitungan KAI yang sebesar Rp28,5 triliun.

VP Public Relations KAI Joni Martinus mengatakan pihaknya telah mengusulkan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp4,1 triliun untuk mendanai sebagian pembengkakan biaya proyek KCJB kepada pemerintah. 


"PMN tersebut dibutuhkan karena saat ini KAI sedang dalam proses pemulihan setelah beberapa tahun terakhir terimbas pandemi," kata Joni.

Terlebih, KAI mendapatkan dua proyek penugasan sekaligus dan masuk daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Dua proyek yang dimaksud, yakni LRT Jabodebek dan KCJB.

Joni menjelaskan beberapa faktor yang membuat biaya proyek KCJB bengkak, yakni dana untuk engineering, procurement, and construction (EPC), pembebasan lahan, biaya head office, dan pra operasi.

Namun, usulan PMN tersebut belum juga cair dari pemerintah. Padahal, proyek KCJB ditargetkan beroperasi tahun depan. 


Pada saat yang sama, Joni juga belum bisa memastikan berapa porsi pembengkakan biaya yang harus ditanggung oleh pihak Indonesia.

Redaksi telah mencoba menanyakan hal ini kepada Sekretaris Perusahaan KCIC Rahadian Ratry serta Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto terkait porsi yang harus ditanggung Indonesia dalam menutup pembengkakan biaya proyek KCJB. Namun, belum ada respons hingga berita ini diturunkan.

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi adalah Ketua Komite KCJB. Anggota komite terdiri dari Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. 


Khawatir RI Tanggung Biaya Bengkak 100 Persen

Managing Director Political Economic and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan khawatir pihak China meminta Indonesia menanggung pembengkakan biaya 100 persen. Hal ini berarti pemerintah 100 persen atau patungan dengan BUMN yang tergabung dalam konsorsium PSBI.

"Yang dikhawatirkan China minta Indonesia menanggung 100 persen. Ada masalah pembengkakan biaya dalam pembebasan lahan, itu takutnya Indonesia yang disalahkan," ucap Anthony.


Tapi, secara hitung-hitungan bisnis seharusnya itu tak terjadi. Minimal, pembengkakan biaya ditanggung oleh pemegang saham secara rata.

Pihak Indonesia idealnya menanggung 60 persen dan China 40 persen. Hal ini sesuai dengan kepemilikan porsi saham.

BUMN Indonesia yang tergabung dalam konsorsium PSBI menggenggam 60 persen saham proyek KCJB dan sisanya dikempit China.


Yang belum jelas, apakah negara akan ikut turun tangan mengatasi masalah ini atau tidak. Sebab, belum tentu BUMN anggota konsorsium punya duit untuk menanggung pembengkakan biaya proyek KCJB. 

"Kalau sampai Pemerintah Indonesia menanggung 100 persen ini celaka. Ini merugikan keuangan negara," tutur Anthony.

Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform Economics (CORE) Mohammad Faisal seharusnya sebagian besar pembengkakan biaya proyek KCJB ditanggung BUMN yang menjadi anggota konsorsium dan China sebagai pemegang saham. Jadi, Pemerintah Indonesia tak perlu keluar uang banyak lagi untuk proyek tersebut.

"Porsi pemerintah harusnya dikit. Jadi sebagian besar ditanggung pemegang saham. Uang BUMN dan China. Entah mungkin BUMN mengeluarkan obligasi dan lain-lain," terang Faisal.

Kalau memang butuh suntikan PMN lagi, pemerintah sifatnya cuma membantu sebagian kecil. Jangan sampai mayoritas dipikul oleh pemerintah. 


Apalagi, KCJB sebenarnya bukan proyek mendesak yang kalau tak diselesaikan akan berdampak negatif pada banyak pihak.

Lebih-lebih, negara juga sedang sibuk menekan inflasi dengan menambah subsidi di tengah kenaikan harga pangan dan energi.

"Masalah APBN bukan cuma mengurus proyek kereta cepat. Apalagi sekarang sedang konsolidasi fiskal. Proyek kereta cepat tidak urgent, tidak seperti belanja covid-19 atau kebutuhan untuk mengendalikan inflasi. Jadi PMN seharusnya hanya sebagian kecil, sisanya BUMN dan China," jelas Faisal.

Awas Mangkrak

Faisal mengingatkan pemerintah dan KCIC untuk segera mencari solusi menyelesaikan masalah pembengkakan biaya proyek KCJB. Jika tidak, maka proyek itu berpotensi mangkrak.


"Pasti berpotensi (mangkrak). Makanya perlu dicari solusi tapi ingat jangan jadinya PMN dikeluarkan banyak. PMN jangan jadi yang utama, cari solusi lain," ujar Faisal.

Senada, Anthony menilai proyek KCJB berpotensi mangkrak. Sebab, 2023 tinggal sebentar lagi.

"Pasti (mangkrak), karena targetnya dipasang 2023. Target juga mundur terus, pertama 2019, lalu 2022, lalu jadi 2023," ujar Anthony.

Selain itu, belum ada kejelasan pihak mana saja yang harus ikut menyelamatkan proyek KCJB. Berapa porsi untuk masing-masing pihak tersebut, apakah mayoritas menggunakan uang negara, apakah BUMN, apakah China, atau semua pihak tanggung renteng menutupi tambahan biaya proyek tersebut. 


Cari Investor Baru

Sementara, Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia (UI) Toto Pranoto mengatakan KCIC bisa mencari investor baru untuk menambah modal proyek KCJB. Misalnya, BUMN yang tergabung dalam PSBI melepas sebagian saham ke pihak swasta.

"Salah satunya dengan mencari strategic investor, kalau bisa dari investor domestik," kata Toto.

Konsekuensinya, kepemilikan saham pihak RI di proyek KCJB akan berkurang. Sebagai gantinya, proyek itu akan bisa diimplementasikan.

Toto mengatakan bahaya jika 100 persen pembengkakan biaya proyek KCJB menjadi tanggung jawab Pemerintah Indonesia. Sebab, risiko proyek sepenuhnya akan ditanggung negara.


"Karena kalau sepenuhnya disokong APBN maka risiko sepenuhnya di negara, padahal konsep awal bisnis ini adalah B to B (business to business)," jelas Toto.

Semula, biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelesaikan proyek KCJB hanya US$6 miliar atau setara Rp90 triliun.

Namun jika dihitung dengan potensi pembengkakan biaya, maka total dana yang dibutuhkan untuk membangun KCJB tembus US$7,9 miliar atau Rp118,5 triliun.

Dalam perjanjian awal, sebagian besar atau 75 persen dari nilai proyek KCJB dibiayai oleh CDB dan 25 persen dari pemegang saham. Dengan kata lain, 25 persen itu akan berasal dari BUMN yang tergabung dalam konsorsium dan Beijing Yawan HSR.


https://www.cnnindonesia.com/ekonomi...akarta-bandung

sebagian saham dipegang china giliran pembengkakan harus indonesia yang nanggung..belum lagi kalau nanti sudah beroperasi pihak indonesia yang memberi subsidi sedangkan pihak china tinggal ongkang kaki terima cuan dari penjualan tiket

emoticon-Cape d... emoticon-Cape d... emoticon-Cape d...
aldonistic
viniest
BALI999
BALI999 dan 7 lainnya memberi reputasi
8
3.6K
131
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
greenlantern7Avatar border
greenlantern7
#2
Ya makanya banyak negara yg bangkrut karena debt trap China.

Kontraknya janjinya A, eh setelah jalan, butuh biaya lagi, minta dibiayai sama pemerintah yg bersangkutan, yg bertentangan dgn kontrak.

Indo juga miris punya presiden planga plongo begini.

Akibat presidential threshold 20% lawan dari kubu kadrun pun hanya si sampah ini.

Karena si sampah ini sudah mengamankan koalisi dgn partai2 dengan menyisakan partai2 dgn jumlah suara hanya kurang dari 40%
Diubah oleh greenlantern7 30-07-2022 07:02
Veritonix
skull18
aldonistic
aldonistic dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Tutup