Butuh waktu bagi Galih, sampai akhirnya ia benar benar memutuskan untuk melamar Anjar dan menjadikan gadis itu sebagai istrinya. Sempat ragu karena Galih merasa kalau ia masih sangat muda dan belum cukup bekal untuk membangun sebuah biduk rumahtangga, namun semua keraguan itu akhirnya pupus setelah mendapat pencerahan dari Pakdhe Margono dan Paklik Harno.
Kedua orang tua itu sangat mendukung niat Galih. Selain karena mereka menganggap Galih dan Anjar sudah cukup dewasa untuk membangun sebuah biduk rumah tangga, pernikahan kedua anak tersebut juga bisa mengeratkan kembali tali kekeluargaan yang selama ini nyaris putus diantara mereka, dan menghapus semua hal hal buruk yang pernah terjadi diantara mereka di masa lalu.
Maka, pada hari yang telah ditentukan, kedua anak manusia itupun dipertemukan dan disatukan dalam sebuah ikatan perkimpoian. Suasana suka cita dirasakan tidak hanya oleh keluarga besar Galih dan Anjar, tapi juga oleh semua warga desa Margopuro, karena bagi mereka, Galih dan Anjar adalah putra putri terbaik dari desa itu, yang diharapkan mampu membawa desa tersebut ke arah yang lebih baik lagi dimasa yang akan datang.
Atas permintaan kedua mempelai, acara pernikahan akan digelar secara sederhana saja, meski awalnya Pakdhe Margono ingin mengadakan acara besar besaran.
"Cukup ijab qabul saja Pakdhe, tak perlu terlalu meriah," ujar Galih waktu itu, saat Pakdhe Margono mengutarakan niatnya untuk mengadakan pesta besar besaran dengan menggelar pertunjukan wayang. Apa boleh buat. Pakdhe Margono akhirnya mengalah. Acara akhirnya digelar di rumah Paklik Harno, dengan Pakdhe Margono sendiri yang menjadi wali dari Anjar.
Tepat jam sembilan pagi, Galih sudah siap duduk didepan penghulu yang juga sudah hadir, menunggu Anjar yang sedang dirias oleh Budhe Katmi di dalam kamar. Dan Galih sempat terkesima, manakala Anjar telah keluar dari dalam kamar itu diiringi oleh Ajeng dan Arum. Anjar, yang kesehariannya selalu tampil sederhana dan apa adanya, hari itu terlihat sangat cantik dengan kebaya dan sanggul yang dikenakannya. Galih tanpa sadar sampai terbengong bengong melihat kecantikan adik sepupu yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu.
"Plaakkk...!!! Kenapa bengong melihatku seperti itu? Ada yang aneh dengan diriku?" Bisik Anjar sambil mendaratkan tamparan kecil di pipi Galih, membuat pemuda itu seketika tersadar dari keterpukauannya.
"Kamu cantik hari ini Anjar! Sangat cantik! Seperti bidadari...."
"Halah! Gombal mukiyo! Sudah! Ndak usah banyak komentar. Kamu sudah siap belum?"
"Tentu saja. Aku sudah lebih dari siap Njar."
Jam sembilan tigapuluh tepat. Ikrar dan janji suci itu akhirnya terucap dengan khidmat. Galih dan Anjar, dua anak manusia itu kini telah menyatu dalam sebuah ikatan suci perkimpoian. Suasana penuh suka citapun dirasakan oleh semua keluarga dan warga yang hadir disitu. Dan suasana haru nan syahdu juga terasa, manakala kedua mempelai itu teringat akan kedua orang tua mereka yang tak sempat lagi ikut menyaksikan kebahagiaan yang mereka rasakan. Ada tangis diantara rasa bahagia yang mereka rasakan. Ada air mata yang tertumpah ditengah suasana suka cita itu. Tangis bahagia dan duka cita yang berbaur menjadi satu.
Begitulah hidup dan kehidupan. Suka dan duka kadang datang silih berganti tanpa memandang tempat dan waktu. Begitu juga yang dirasakan oleh Galih dan Anjar waktu itu. Mereka hanya bisa mengadukan perasaan mereka didepan batu nisan kedua orang tua Galih di pemakaman desa, juga didepan dua makam tua yang ada diatas gunung. Meski mereka tau itu bukanlah makam kedua orang tua Anjar, toh tak ada salahnya kalau mereka mengadukan rasa mereka didepan makam itu.
Selang beberapa hari setelah acara pernikahan itu, Galih memboyong Anjar dan Mbah Pariyem ke rumahnya. Sedikit sulit untuk membujuk perempuan tua itu untuk meninggalkan gubuk yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Namun setelah dijelaskan bahwa kapanpun Mbah Pariyem masih diijinkan untuk datang ke gubuk itu, barulah perempuan itu bersedia diboyong ke rumah Galih.
Acara kecil kecilanpun kembali digelar di rumah Galih. Sepasaran manten atau ngunduh mantu istilahnya. Hanya acara syukuran sederhana, untuk memanjatkan doa bagi kedua pasangan agar kelak menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warohmah, diselingi dengan nasehat nasehat dari para tetua untuk kedua pasangan, dan dilanjutkan dengan acara makan makan seadanya.
Sederhana, namun penuh makna. Suka cita kembali dirasakan oleh segenap warga yang hadir. Tak terkecuali dengan Prapto. Sahabat terdekat Galih itu jelas ikut merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh teman dari semenjak kecilnya itu. Bahkan Prapto juga ikut meneteskan air mata saat Galih mengucap ijab qabul kemarin.
Kebahagiaan Galih adalah kebahagiaannya juga, begitu yang ada di pikiran pemuda itu. Dan kini, saatnya Prapto untuk mencari kebahagiaannya sendiri. Ditengah acara makan makan itu, matanya celingak celinguk mencari dimana gerangan kebahagiaan yang sedang ia cari.
Namun, seseorang yang sedang ia cari itu tak nampak juga batang hidungnya. Prapto lalu bangkit dan beranjak menuju ke dapur, karena ia yakin, kebahagiaannya itu pasti ada disana.
Benar saja, saat sampai di dapur, dilihatnya Ajeng tengah duduk menikmati makanan ditemani oleh seorang pemuda tampan yang duduk disebelahnya.
Yudi. Kehadiran pemuda tampan itu, jelas membuat langkah Prapto terhenti untuk sesaat. Ada rasa ragu di hati Prapto, saat melihat keakraban kedua orang itu. Ajeng yang terlihat begitu sumringah dan tertawa tawa, dan Yudi yang penampilannya kini sudah sangat jauh berbeda dengan saat berada diatas gunung kemarin, membuat Prapto yakin bahwa sudah tak ada tempat lagi baginya untuk melabuhkan kebahagiaannya.
"Ah, Ajeng! Sepertinya kau memang lebih pantas dengan si Yudi itu," desah Prapto pelan. Tapi tak apa, melihat Ajeng yang terlihat begitu bahagia itu, Prapto sudah cukup senang. Prapto sama sekali tak merasakan sakit hati. Toh, ia masih bisa mendaratkan kebahagiaannya di tempat lain.
Mata Prapto lalu beralih ke sosok lain yang juga tengah asyik menikmati makanan di sudut dapur. Senyum pemuda itu mengembang, lalu pelan pelan kakinya melangkah mendekati sosok itu.
"Hai Rum, lagi makan?" Sapa Prapto pada sosok itu.
"Enggak! Lagi bertapa!" Jawab si sosok itu setengah bercanda.
"Hehehe, ditanyain baik baik kok jawabnya gitu sih?" Prapto terkekeh, lalu ikut duduk disamping sosok gadis itu.
"Lagian, sudah tau lagi makan, masih ditanya juga," Arum, si sosok gadis itu juga ikut terkekeh. "Mas Prapto ngapain kesini? Mau makan juga? Arum ambilin ya?"
"Ah, enggak Rum. Nggak usah. Aku sudah makan tadi di depan."
"Terus, mau ngapain kesini?"
"Nggak ngapa ngapain kok. Cuma mau ngelihatin kamu makan saja."
"Aneh Mas Prapto ini. Orang makan saja kok dilihatin."
"Rum..."
"Hmmmm..."
"Kamu kelihatan cantik banget hari ini."
"Apa Mas?"
"Kamu cantik banget hari ini."
"Alah alah! Gombal mukiyo! Jadi Mas Prapto kesini cuma mau..."
"Kamu mau nggak jadi pacarku Rum?"
"......????"
******
Beberapa bulan kemudian.
Desa Margopuro, kini bukanlah desa Margopuro yang dulu lagi. Galih yang sudah berkeluarga dan benar benar menetap di desa itu, melanjutkan kembali semua rencananya. Cita citanya untuk memajukan desa kelahirannya itu, sepertinya mendapatkan jalan yang tak disangka sangka.
Bayan Mardi, yang sepertinya sudah benar benar insyaf dan merasa tak mampu lagi menjalankan tugasnya, menyerahkan jabatannya itu kepada Galih. Awalnya Galih menolak, karena selain merasa bahwa ia masih terlalu muda, bayan Mardi sendiri juga masih memiliki anak laki laki yang sudah cukup dewasa. Dan dimasa itu, jabatan sekelas bayan, kepala dusun, bahkan kepala desa, masih diemban secara turun temurun. Semisal seorang bayan sudah tak mampu melanjutkan tugasnya, maka tugas itu akan dilanjutkan oleh anak laki laki atau menantu laki lakinya kalau tak memiliki anak laki laki.
Namun anak dari Bayan Mardi sendiri menolak jabatan itu, karena menyadari bahwa selama ini sang ayah sudah cukup gagal dalam menjalankan tugasnya. Dan Galih dianggap lebih cocok untuk melaksanakan tugas sebagai bayan. Apalagi semua warga juga kompak mendukung Galih. Alhasil, mau tak mau Galihpun menerima tanggung jawab besar yang diberikan oleh warga itu.
Dan dibawah kepemimpinan Galihlah desa Margopuro akhirnya benar benar bisa mencapai puncak kejayaannya. Pemuda itu benar benar mencurahkan seluruh tenaga dan pikirannya untuk kemajuan desanya. Sistem pertanian lama dirombak total, hingga sawah dan ladang milik warga bisa menghasilkan panen yang lebih maksimal lagi.
Di masa kepemimpinan Galih juga akhirnya desa Margopuro berhasil membangun bendungan irigasi, hingga sawah sawah warga yang sebelumnya hanya bisa panen sekali dalam setahun, kini bisa panen dua kali, bahkan tiga kali dalam setahun. Selain itu, di masa kepemimpinan Galih juga akhirnya listrik bisa masuk ke desa Margopuro.
Galih, benar benar menjadi pahlawan bagi desa itu. Hingga tak heran, hingga sampai masa tuanya nanti, ia masih dipercaya untuk memimpin desa itu. Kecerdasan dan kebijaksanaannya, memang sudah tak perlu diragukan lagi. Kerja keras dan sifat pantang menyerahnya, menjadi teladan bagi semua warga desa.
Sementara Anjar, gadis itu mengikuti jejak sang nenek. Seperti sudah digariskan oleh takdir, sampai akhir hayatnya, Mbah Pariyem tetap setia menjadi penjaga atau juru kunci tak resmi dari Gunung Kambengan dan kedua makam tua yang ada di puncaknya. Dibilang tak resmi, karena beliau menjadi juru kunci itu atas kamauannya sendiri, tak ada yang menyuruh, tidak juga diangkat oleh pejabat setempat, dan tidak ada yang memberinya gaji. Beliau melakukannya secara sukarela.
Mungkin terdengar sedikit berlebihan. Tapi untuk Mbah Pariyem khususnya, dan warga desa Margopuro umumnya, gunung Kambengan merupakan nyawa kedua mereka. Gunung itu, sudah banyak memberi kehidupan pada mereka. Jadi wajar, kalau mereka juga akan menjaga gunung itu dengan sepenuh jiwa raga mereka. Bahkan belakangan, saat ada investor yang melirik gunung itu untuk dijadikan lahan tambang batu kapur, seluruh warga sepakat untuk menolak.
Dan saat Mbah Pariyem sudah wafat, tugas itu dilanjutkan oleh Anjar. Turun temurun, hingga saat kisah ini TS tulis, tugas menjadi juru kunci Gunung Kambengan beserta makam tua yang ada di puncaknya itu telah diemban oleh generasi ketiga, yang tak lain dan tak bukan adalah anak sulung dari Galih dan Anjar.
Ajeng, tak mau ketinggalan dengan sang kakak. Gadis itu, dengan kecerdasan yang dimilikinya berusaha keras untuk memajukan pendidikan anak anak Margopuro. Berawal dari mengajar mengaji di musholla bersama Arum, di masa selanjutnya gadis itu berhasil membangun sebuah sekolah taman kanak kanak, yang sampai sekarang masih berdiri kokoh di desa itu.
Prapto, si Gagu, serta Kang Marno dan Yudi anaknya, Galih tak pernah melupakan orang orang yang telah banyak berjasa kepadanya itu. Mereka diberikan pekerjaan yang layak dan mendapatkan upah yang setimpal. Bagi Galih, mereka sudah bukan orang lain lagi, melainkan sudah seperti keluarganya sendiri.
Orang orang desa tersembunyi, Karyadi dan antek anteknya, seperti yang sudah TS ceritakan sebelumnya, setelah tragedi yang mereka alami diatas Gunung Kambengan itu, mereka ditemukan dalam kondisi yang tidak baik baik saja. Mereka benar benar telah kehilangan kewarasan mereka alias menjadi gila. Meski begitu, Galih masih menerima mereka di desa itu dan memperlakukan mereka dengan sangat baik.
Bagaimana dengan Yu Warsih? Perempuan itu bernasib sedikit lebih baik. Sempat terlunta lunta di kota kecamatan di lereng selatan Kambengan, akhirnya Yu Warsih bertemu dengan Babah Liong, seorang cina baik hati pemilik toko kelontong di pasar kota kecamatan itu yang memberinya pekerjaan. Sempat sekali berkunjung ke Margopuro, bertepatan dengan saat Anjar melahirkan anak pertamanya, Yu Warsih menceritakan kisahnya, bahwa kini ia telah menikah lagi dengan seorang duda sesama karyawan Babah Liong.
Begitulah, kisah perjuangan yang penuh liku ini, diceritakan oleh Mbah Ajeng yang kini sudah sangat sepuh melalui cucunya kepada TS, yang akhirnya TS bagikan di forum kesayangan kita ini, dengan harapan, ada sedikit hikmah atau pelajaran yang bisa sama sama kita petik, bahwa setiap usaha yang mengarah ke kebaikan, asal dilakukan dengan sungguh sungguh pasti akan membuahkan hasil yang tidak hanya bermanfaat untuk diri kita sendiri, tapi juga untuk orang orang disekeliling kita.
Akhir kata, TS cukupkan kisah ini sampai disini, mohon maaf karena pasti banyak kekurangan dalam TS menyampaikan kisah sederhana ini, dan terimakasih banyak untuk para reader yang telah ikut meramaikan thread sederhana ini. Mohon maaf juga kalau ada salah salah kata dan canda dalam TS membalas komen komen reader semua, juga kalau ada komen yang belum atau tak sempat TS balas. Dan, sampai bertemu kembali di thread selanjutnya.
Wassalam.
--=TAMAT=--