Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

uliyatisAvatar border
TS
uliyatis
Tumbal


Sebuah senyuman misterius muncul di
wajah cantiknya, membuat seluruh bulu kudukku berdiri. Meniupkan perasaan takut di hati. Malam sudah tiba ketika aku mencoba menghindar dari pandangan tajam pemilik wajah cantik itu.

Senyum penuh misteri itu masih bertengger, menghias bibir ranumnya. Entah apa yang membawa perempuan berdarah indo itu ke tempat tinggal kami.

Tubuh semampai, kulit putih, hidung mancung dengan rambut setengah ikal, membuat ia menjadi primadona di kampung kami. Dipuja dan dikejar-kejar banyak pemuda. Bukan hanya yang berasal dari sekitar tempat tinggal kami saja. Tapi, juga berasal dari tempat lain.

Bulu romaku semakin merinding, tidak tahan melawan hawa dingin yang mengalir dari raganya. Meski cahaya lampu tepat berada di atas kepala, hawa dingin itu masih tetap memancar dari tubuhnya.

"Ris, boleh aku masuk?"

Walau rasa takut itu masih ada, aku berusaha menepisnya. Tidak enak dengan Mbak Lastri, nama wanita misterius itu. Aku pun mengangguk
dan mempersilahkan dia untuk masuk.

"Sendirian?"

Seketika aku terkesiap mendengar pertanyaannya. Ada debaran aneh mengganggu irama jantungku. Cukup lama, aku memandangi wajah cantiknya, mencoba menerka apa arti senyuman di balik pertanyaannya tadi.

"Ada Mas Endro, lagi di belakang."

Senyumannya seketika menghilang saat aku mengucapkan nama Mas Endro. Aneh. Wajah Mbak Lastri pun tidak terlihat secantik tadi. Ada apa ini? Berkali-kali aku mengucap istighfar dalam hati.

Wajah Mbak Lastri juga berubah semakin pias. Tangannya gemetaran, tidak mampu menjangkau perutku yang sedang membuncit. Aku sedang mengandung anak pertama. Sepertinya ia bermaksud mengusap perutku.

"Ada apa, Mbak?"

Dia menggeleng. Ada kecemasan terpancar dari sorot matanya. Buru-buru Mbak Lastri pamit. Seperti ada sesuatu yang membuatnya ketakutan. Aku bisa melihat keringat sebesar biji jagung membasahi dahinya yang mulus.

Tanpa berbasa-basi dia meninggalkanku sendiri. Bingung akan tindak-tindaknya yang aneh. Tidak seperti biasanya, ujarku lirih.

Meski diliputi misteri, aku membiarkan saja Mbak Lastri pergi. Usai kepergian dia, udara tidak lagi sedingin tadi. Suasana pun tidak begitu mencekam lagi. Semua kembali seperti biasa.

Aku lantas menggeleng, tidak mengerti fenomena apa yang terjadi. Sementara bayangan Mbak Lastri telah menghilang.

Tepukan Mas Endro di pundak, membuatku tersadar dari lamunan. Entah sudah berlama aku berdiri sambil menatap ke arah jalan.

"Ada apa, Ris? Tidak baik malam-malam termenung. Nanti bisa kesambat lho," tegur Mas Endro. Aku mengangguk saja. Tertunduk-tidak berani mengatakan yang sebenarnya.

"Ayo, tutup pintunya. Kamu harus lebih berhati-hati mulai sekarang. Banyak hal-hal misterius yang terjadi akhir-akhir ini." Kembali Mas Endro menasehatiku.

Memang benar kata Mas Endro tadi. Beberapa hari lalu, Surti tetangga di ujung kampung, tiba-tiba ditemukan dalam keadaan meninggal. Bayi dalam kandungannya pun raib.

Entah apa penyebabnya. Tidak ada yang berani mereka-reka. Apalagi, menuding siapa pelakunya. Beberapa tetangga terdengar kasak-kusuk, menceritakan peristiwa ganjil itu.

Bukan hanya sekali itu saja. Warga kampung sebelah pun ada yang mengalami hal yang serupa. Menurut sesepuh kampung, ada orang yang sedang menuntut ilmu. Jadi membutuhkan banyak tumbal untuk menyempurnakan ilmu yang sedang dipelajarinya itu.

Bulu kudukku terus merinding, teringat perkataan mereka. Siapa yang tega menjadikan nyawa manusia sebagai tumbal atas ilmu-ilmu tersebut?

Aku menarik napas panjang. Menahannya sebentar dan mengeluarkannya perlahan dari mulut. Di kejauhan, terlihat Mbak Lastri mondar-mondar di salah satu tetanggaku yang juga sedang hamil tua.
Untuk apa ya Mbak Lastri mondar-mondir di sana? Kan Mbak Lastri tidak terlalu mengenal mereka. Jangan-jangan ada sesuatu dengan Mbak Lastri?

Kecurigaan sontak kuarahkan kepada perempuan cantik itu. Tidak biasanya dia berada di sana. Aku terus saja memperhatikan tingkah Mbak Lastri. Khawatir terjadi sesuatu pada penghuni rumah yang tengah dikunjungi secara diam-diam.

Rasa penasaranku pun membuncah. Membuat tidak ingin beranjak, meski sudah lumayan lama memperhatikan ia. Tapi, entah mengapa tiba-tiba saja diserang kantuk yang luar biasa. Aku sendiri bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba ingin merebahkan diri.

Akhirnya aku tertidur di atas sofa. Tidak sanggup lagi mengawasi gerak-gerik Mbak Lastri. Tidak mampu lagi memperhatikan setiap tingkahnya yang mencurigakan.

Suara adzan ashar membangunkanku dari tidur. Astagfrullah ...! Ternyata lumayan lama juga tertidur tadi. Beruntung Mas Endro belum pulang dari bengkel. Kalau tidak, pasti tidak enak rasanya.

Sesaat, aku memandang ke arah rumah tetangga tadi. Mbak Lastri sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Pasti dia sudah minggat dari tempat itu.

Suara adzan telah usai, aku segera berjalan menuju kamar mandi. Mandi, mengambil air wudhu dan bersiap menunaikan sholat ashar.

Belum lama menyelesaikan rakaat terakhir, suara jeritan terdengar dari arah sana. Isak tangis bercampur kemarahan terdengar jelas. Suara makian pun terdengar dari salah satu mulut mereka.

Rumah yang memiliki jarak kurang lebih 100 meter itu kini mulai ramai dikunjungi tetangga lain. Ibu-ibu, bapak-bapak, tua , muda berlomba menuju ke situ.

Semua penasaran ingin menyaksikan apa yang sesungguhnya terjadi. Aku juga ingin pergi ke sana. Tapi , berkali-kali Mas Endro sudah wanti-wanti untuk tidak sembarangan keluar rumah. Bau tubuhmu sekarang sedang wangi-wangina di penciuman mereka, Ris. Itu kata Mas Endro kemarin.

Antara percaya dan tidak, aku menanggapi perkataan Mas Endro kemarin. Namun, kejadian barusan mau tidak mau membuatku percaya pada akhirnya. Bahwa memang ada orang yang bersekutu dengan makhluk penghuni alam kegelapan.

Suara ketukan terdengar bertubi-tubi. Mas Endro yang melakukannya. Mukanya terlihat pucat saat menatapku. Dia benar-benar sangat cemas. Aku diperhatikan dari ujung ramput sampai ujung kaki, memeriksa apakah aku baik- baik saja atau tidak.


'Aku ndak apa-apa, Mas. Jangan terlalu cemas!'

Mas Endro sepertinya benar-benar khawatir dengan teror yang menimpa perempuan hamil di kampung kami. Wajahnya terlihat memucat, memendam kegelisahan. Segera kugenggam sepasang tangan kekar Mas Endro. Sekedar mengurangi kegelisahan yang terpendam.

"Mulai sekarang kamu harus lebih berhati-hati ya,Ris. Jangan terlalu percaya dengan orang asing!"

"Iya, Mas," ujarku lemah.

"Oh ya, Mas. Tadi siang aku melihat Mbak Lastri berdiri cukup lama di rumah tetangga kita itu. Entah apa yang dilakukan Mbak Lastri? Padahal dia kan tidak terlalu mengenal mereka."

Mas Endro terbelalak mendengar perkataanku barusan. Keningnya terlihat berkerut dengan alis terangkat. Apa sebenarnya yang dilakukan perempuan itu? Terdengar olehku desisan lirih Mas Endro.

Cukup lama dia terlihat seperti orang yang berpikir keras, jemari tangannya sesekali ditekuk dan ditautkan satu demi satu.


'Dari sekarang, jangan dekati Mbak Lastri lagi,Ris. Kalau tidak ada Mas, jangan pernah mau membuka pintu buat siapa pun.'

Aku tidak ingin terlalu banyak berkomentar dan mengiyakan saja perkataan mas Endro.Mungkin memang ada baiknya kalau lebih berhati-hati.

Tidak terasa waktu berlalu, sudah menginjak 2 minggu sejak peristiwa. mengerikan itu. Berkali-kali Mbak Lastri mencoba mendekatiku. Namun, aku selalu menemukan alasan untuk menghindarinya.

Di setiap sudut rumah pun, Mas Endro menempel rajah berisi beberapa ayat suci Al-Quran seperti ayat kursi, untuk melidungi dari sesuatu yang berasal dari alam gaib.

Aku menjadi lebih tenang saat ditinggal Mas Endro bekerja di bengkel. Memang jarak antara tempat tinggal kami dengan bengkel tidak terlalu jauh. Paling hanya sekitar 500 meter saja.

Hampir setiap saat , Mas Endro meluangkan waktu memeriksa keadaanku. Untuk berjaga-jaga saja, karena usia kandunganku sudah melebihi 9 bulan. Beberapa hari lagi, saat kelahiran bayi kami akan tiba.

Pagi ini, Mas Endro juga tidak ingin berangkat kerja. Kurang enak badan, katanya. Bisa saja, karena terkadang Mas Endro harus lembur menyelesaikan pekerjaan dari beberapa pelanggan yang minta agar kendaraan mereka segera bisa dipakai.

'Mas, udara pagi ini, dingin sekali, ya?'

Mas Endro tersenyum kecil menanggapi ucapanku. Laki-laki sederhana, berpenampilan apa adanya itu memberikan segelas air putih yang telah didoakan olehnya usai sholat subuh tadi.

"Minumlah, Ris! Semoga Gusti Allah melindungimu dari godaan makhlus astral," ucapnya seraya menyodorkan segelas air putih.

Aku pun segera menyeruput air putih itu. Rasa segar segera merasuk ke seluruh tubuhku. Pikiran pun kembali jernih, tidak lagi dikejar-kejar ketakutan.

"Apa sebaiknya Mas istirahat di rumah dulu hari ini."

"Sepertinya begitu, Ris. Badan Mas pegal-pegal semua."

Aku mengangguk-bahagia karena hari ini ada Mas Endro di rumah. Bisa mengurangi sedikit ketakutan akibat teror yag melanda akhir-akhir ini.


Sebuah seruan, menghentikanku yang sedang asyik mendengar beberapa potong ayat suci Al-Quran dari ponsel milik Mas Endro. Suara yang tidak asing lagi-Mbak Lastri yang mencoba untuk terus memanggil.

"Jangan hiraukan,Ris! Terus saja fokus pada Murotal itu." Suara Mas Endro, mengalahkan suara Mbak Lastri yang terus menggoda.

Aku menguatkan diri untuk tidak membalas panggilan perempuan cantik itu. Sementara langkah Mas Endro sudah tiba di depan pintu. Dari balik tirai jendela aku mengintip percakapan antara mereka berdua.

Mbak Lastri menatap Mas Endro dengan geram. Ada kemarahan terpancar dari netranya. Lututku tiba-tiba gemetar, melihat pemandangan di luar. Aku bisa merasakan ada juga kekesalan dari raut wajah Mas Endro.

Setelah menemui Mbak Lastri, Mas Endro bergegas masuk rumah. Sementara perempuan itu memandang nyalang ke dalam rumah, seolah tahu aku sedang bersembunyi di balik jendela.

"Ris, sepertinya benar dugaan Mas, kalau ada sesuatu yang janggal dengan sikap Mbak Lastri akhir-akhir ini."

Ucapan Mas Endro membuat lututku semakin gemetaran. Perasaan takut pun kian kuat menghantui. Kutelan air ludah yang terasa seperti menelan jamu pahit.

"Tidak apa-apa. Tidak usah ketakutan seperti itu. Nanti kita cari solusi secepatnyanya." Perkataan Mas Endro barusan membuatku dapat bernapas lega. Semoga saja kami bisa melewati teror dari Mbak Lastri ini.

Hari persalinan tinggal dua hari lagi. Mbak Lastri semakin sering saja lalu-lalang di depan rumah. Beberapa kali aku mendengar teguran dari tetangga sebelah dari dalam rumah, tapi Mbak Lastri begitu lihai berkilah. Berbagai macam alasan bisa ia utarakan.

Malam hari pun, entah mengapa aku menjadi sering mengigau. Mbak Lastri benar-benar bagai mimpi buruk buatku. Entah apa yang dilakukannya hingga tega meneror warga yang sedang hamil tua. Anehnya, kenapa warga sekitar tidak ada yang curiga. Apa karena wajahnya yang cantik dengan tutur bahasa lemah lembut. Sehingga tidak ada seorang pun yang percaya, kalau Mbak Lastrilah penyebab banyak kematian wanita hamil di tempat ini.

Seperti yang aku alami malam ini. Mas Endro sudah lama tertidur, saat sebuah lemparan cukup keras menghantam pintu. Membuat Jantungku berdetak sangat kencang. Untuk sepersekian detik aku hanya bisa mematung, tidak tahu apa yang harus diperbuat.

Perlahan sekali, aku mengguncang-guncang tubuh Mas Endro agar ia segera bangun. Suamiku itu kaget dengan guncangan yang ternyata cukup keras itu.

"Ada apa sih, Ris! Ini masih jam 2 malam, lho. Mas, masih mengantuk."

"Tadi ada yang melempar pintu, Mas. Keras sekali!"

Sambil mengucek mata, Mas Endro turun dari tempat tidur. Sepertinya hendak memeriksa pintu depan. Aku beringsut membuntuti seraya memegang ujung kaos Mas Endro,


"Mas, hati-hati!" aku mengingatkan suamiku.

Dia hanya tersenyum sambil terus berjalan menuju jendela. Lampu di ruang tamu masih tetap mati. Sengaja tidak dihidupkan agar tidak terlihat dari luar.

Di depan jendela, kami berusaha mengintip siapa yang iseng malam-malam mengedor pintu rumah kami. Kakiku seketika gemetar saat melihat siapa yang tengah berdiri di depan pagar. Mbak Lastri! Tapi penampilannya benar-benar berubah. Rambut berantakan, wajahnya pun penuh bopeng, tidak cantik seperti yang kukenal.

"Mas ...," desisku lirih. Takut kedengaran perempuan itu.

"Tidak apa-apa. Tidak usah takut. Dia tidak akan berani masuk!"

Penjelasan Mas Endro sedikit mengurangi rasa takutku. Bagaimana pun, ini pengalaman yang mengerikan bagiku.

Aku tidak pernah menyangka, perempuan seperti Mbak Lastri bisa berpenampilan mengerikan seperti itu.

"Mas, apa yang terjadi dengan Mbak Lastri?" tanyaku ingin tahu.

"Sepertinya dia sedang menuntut ilmu hitam, yang membuatnya untuk tetap cantik dan muda."

Aku tertegun mendengar penuturan Mas Endro. Benarkah itu? Tidak pernah terbayang olehku.

"Apa Mbak Lastri bukan penduduk asli kampung kita, Mas?"tanyaku lagi. Benar-benar penasaran.

Mas Endro terdiam sejenak. Kemudian ia menceritakan seluruh kisah hidup Mbak Lastri. Di mana dulu dia dan keluarganya disingkirkan warga karena dianggap keluarga dukun yang berbahaya. Bisa menyantet dan menyebabkan banyak orang celaka.

Beruntung akhirnya Mbak Lastri bisa selamat dari amukan warga, meski kondisi tubuhnya dalam keadaan luka parah. Dia ditampung di salah satu warga yang merasa kasihan. Setelah beberapa waktu, Mbak Lastri ikut warga itu ke kota dan baru kembali kurang lebih 2 atau 3 tahun yang lalu.

Saat pulang kondisi fisiknya sudah berubah menjadi lebih cantik. Penampilannya pun tidak mencerminkan kalau dia adalah anak seorang dukun yang pernah diamuk massa.

Warga juga sudah melupakan peristiwa itu dan menerima kedatangan Mbak Lastri kembali. Tapi anehnya, setelah kepulangan Mbak Lastri, banyak perempuan hamil di sekitar kampung tewas dengan keadaan mengenaskan. Bayi yang dikandung pun ikut raib.

Aku tidak mampu bergerak, usai mendengar penjelasan Mas Endro. Sementara di luar Mbak Lastri seperti menggila, bolak-balik. Wajahnya menjadi semakin beringas. Tangannya mencoba pintu pagar. Tapi segera ditarik kembali.

Keputusasaan melanda dirinya kini. Kulit wajah mulus itu kini semakin menjijikkan. Penuh bekas luka. Membuat perutku tiba-tiba terasa mual.

Mas Endro memejamkan mata, seperti membaca sesuatu. Mataku tak berkedip memandang kejadian di luar. Tampak Mbak Lastri kian gencar membuka pintu pagar. Matanya semakin memerah, seperti biji saga. Kuku tajam mulai tersembul, membuat ia tampak seperti makhluk yang bersekutu dengan iblis.

Dadaku berdegup kencang. Ternyata ilmu Mbak Lastri lumayan tinggi. Dia berhasil melewati pintu pagar. Beruntung bunyi lantunan ayat suci Al-Quran dari musholla segera menghentikan langkahnya.

Tidak terasa subuh sudah menjelang. Hampir 2 jam lamanya Mbak Lastri bergumul, mencoba masuk. Sambil berteriak histeris, perempuan itu berlari menerjam rinai yang baru turun.

Perempuan yang dilanda dendam kesumat, menjadikan dirinya alat pemuas iblis. Memanfaatkan rasa sakit hatinya, sehingga rela mencari tumbal untuk sebuah keserakahan. Itu yang kudengar dari Mas Endro.

Aku semakin tercenung, menyaksikan peristiwa itu. Sementara semakin banyak warga mulai lewat menuju musholla. Sebentar lagi waktu subuh akan tiba, aku dan Mas Endro juga bersiap-siap melaksanakan sholat.

Pagi harinya banyak tetangga tidak menyadari drama yang terjadi tengah malam tadi. Semua seperti tersihir, terlelap dalam tidur. Bahkan teriakan histeris Mbak Lastri pun tidak terdengar. Mereka hanya sibuk kasak-kusuk mempertanyakan kebenaran cerita pada Mas Endro. Sementara keberadaan Mbak Lastri tidak ada yang tahu. Ia seperti lenyap di telan bumi.


Beberapa hari kemudian dari beberapa kerabat jauhnya diperoleh informasi kalau Mbak Lastri telah ditemukan tewas dalam keadaan mengerikan. Tubuhnya penuh luka cabikan, seperti terkena goresan benda-benda tajam. Akhirnya ia menjadi tumbal atas persekutuannya dengan iblis, akibat tidak bisa menyediakan tumbal berupa perempuan hamil.

Penuh rasa syukur, aku memandang langit yang mulai terang. Matahari telah lama berada di singgasananya. Panas teriknya telah menyusup ke seluruh penjuru, bersama ketenangan yang kini mengalir.

Aku tidak lagi diteror peristiwa misterius itu. Bahkan proses persalinan pun berjalan lancar. Satu hal yang membuatku bertambah yakin adalah bahwa Allah akan menjaga seluruh hamba-hamba-Nya yang tetap percaya dan berlindung pada-Nya.

Udara pagi menerpa lembut kulit tubuhku. Membuat buah cinta kami tergolek pulas. Kelahiran yang telah lama ditunggu akhirnya tiba jua. Meski pernah dilanda teror menakutkan. Aku bisa melewatinya dan berhasil lolos dari tumbal Mbak Lastri.


Curup, 12 Oktober 2019

Sumber foto: pixabay.com
https://pixabay.com/id/photos/fantas...gurun-2925212/
Diubah oleh uliyatis 05-02-2020 09:35
jenggalasunyi
cheria021
bejo.gathel
bejo.gathel dan 95 lainnya memberi reputasi
96
28.4K
382
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
uliyatisAvatar border
TS
uliyatis
#258
Tanda Kematian di Dinding POV Andra


Foto :pinterest


Andra memandang resah ke arah jam bundar di dinding. Sudah hampir pukul empat petang, tapi ibunya belum pulang juga. Padahal tadi ia sudah berpesan agar tidak pulang terlalu sore. Tidak tahan menahan gelisah, akhirnya Andra keluar rumah menuju rumah paman Andra yang letaknya sekitar tiga ratus meter dari rumah mereka.

Paman Andra, bernama Sanusi, adalah satu-satunya saudara yang dimiliki Sukma. Melihat keponakannya yang terges-gesa menemuinya, Sanusi keheranan.

“Ada apa, Andra? Kenapa buru-buru? Ibumu nggak sakit kan?”

Andra terdiam sebentar, mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Maklum, dia setengah berlari menuju rumah pamannya.

“Ibu …, Paman. Ibu, belum pulang dari tadi. Padahal hari ini, cuma panen kol saja, seharusnya udah pulang dari tadi.”

Wajah Sanusi seketika memucat. Memang betul ucapan Andra tadi. Proses pemanenan kol yang dilakukan juragan Tohir bersama anak buahnya, tidak akan sampai sore hari. Tengah hari, menjelang salat lohor, biasanya sudah selesai.

“Kita cari saja ibumu ke ladang, Ndra. Siapa tahu, ibumu tidak langsung pulang, malah langsung membersihkan ladang.”

Andra menangkap perasaan cemas di wajah pamannya. Dia juga merasakan hal yang sama. Detak jantung Andra berbunyi sangat keras, wajahnya juga kian pias. Tanpa menunggu pamannya yang hendak pamit , Andra sudah berlari terlebih dahulu menuju ladang.

Perasaan Andra benar-benar tidak enak. Wajah Sukma terbayang terus dalam benaknya. Juga makhluk bertubuh tinggi hitam itu yang tiba-tiba saja membayang, tersenyum mengejek, puas, penuh kemenangan. Peristiwa saat di mana saat sang ibu mengalami peristiwa tragis itu terus membayang. Entah kenapa, selalu ingatan itu-itu saja yang mampir dan mengisi otaknya.

Sampai di ladang, Andra mencoba mencari dan memanggil Sukma. “Ibu …. Ibu ….” Meski sudah berkali-kali memanggil, tapi sosok ibunya tak juga muncul. Sanusi, paman Andra pun terlihat semakin cemas. Seperti ada yang menggerakkan, Andra menuju sebuah tempat yang letaknya agak tersembunyi, masih di areal ladang milik ibunya.

Perasaan cemas semakin menyelimuti Andra, apalagi tepat tersembunyi itu, ditutupi semak belukar yang masih rapat. Ada sebuah batu besar yang selama ini tidak diketahui oleh Andra selama ini. Dan, yang membuat Andra tercekat, di balik batu besar itu, ada mayat, dengan tubuh tercabik-cabik, seperti diserang binatang buas.

Tiba-tiba Andra menjerit keras, setelah mengenali mayat itu. Ya, itu adalah mayat Sukma, hanya saja tubuhnya tidak utuh lagi. Andra bisa mengenali dari sobekan pakaian yang dikenakan ibunya. Tangis bocah itu bertambah keras, menyesali kejadian ini. Kalau saja, ibunya mau menuruti permintaan Andra, kejadian ini, bisa dielakkan. Namun, itulah namanya takdir. Tak seorang pun bisa menolaknya.

Andra sangat terpukul menerima kematian ibunya. Air mata terus menetes, membasahi kedua pipinya. Ternyata pesan yang yang berulang kali disampaikan tidak digubris sang ibu. Itu mungkin juga disebabkan kekuatan magis dari ilmu pesugihan yang diamalkan mbah Sami, membuat Sukma, ibunya tidak mampu menampik keinginan untuk memakan habis bekal yang diberikan si Mbah tadi. Andra mengetahuinya dari indera keenam miliknya.

Pusara Sukma masih penuh dengan taburan bunga. Dari malam tadi, Andra tidak berhenti menangis, dan akan bertekat menguak misteri kematian ibunya. Atas inisiatif pamannya, Andra lalu dipindahkan ke sebuah kampung, di mana terdapat sebuah padepokan di sana. Kebetulan yang memiliki padepokan itu adalah masih kerabat jauh mereka.

Awalnya, Andra menolak, karena belum bisa menerima kematian ibunya. Apalagi saat melihat sorot mat Mbah Sami, amarahnya berkobar. Dia langsung murka, karena mbah Sami telah mengorbankan ibunya sebagai tumbal.

“Ndra, rumahi dan ladangmu untuk sementara waktu biar dikontrakkan dulu pada orang lain. Kamu tinggal bersama Akik Jaelani dulu!” Andra hanya menunduk mendengar ucapan pamannya. Tidak rela harus meninggalkan kampung halaman dan pusara ibunya. Namun, jika ia tinggal di padepokan, paling tidak bisa belajar dan mengasah indera keenamnya. Sehingga suatu hari bisa membuka kedok mbsh Sumi.

Air mata meleleh di sudut netra Andra saat meninggalkan rumah di mana ia dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh ibunya. Tidak mengapa, dia pergi saat ini, dan pasti akan kembali pada saat yang tepat.

Selama tinggal dan belajar di padepokan, Andra diajari banyak hal oleh Akiknya. Indera keenam yang dimilikinya juga semakin peka, bisa mendeteksi jehadiran makhluk-mahluk astral yang berasal dari dimensi lain. Tidak jarang, Andra harus berpuasa. Membersihkan hati dan pikiran.

Banyak bacaan surat dari Al-Quran yang harus dihapalkan beserta doa-doa yang bisa digunakan ketika berhadapan dengan makhluk-makhluk gaib yang mencoba mengganggu. Bahkan pernah, Andra dibawa ke satu tempat yang penuh makhluk halusnya seperti jin, dedemit, kuntilanak dan makhluk gaib sejenisnya. Meski awalnya andra takut, tapi, karena dorongan semangat dari akik Jaelani, akhirnya dia bisa juga menguasai dan mengusir makhluk tak kasat mata itu.

Tidak terasa waktu terus berlalu, Andra sudah hampir 7 tahun tinggal bersama akik Jaelani di padepokan. Sepertinya sudah saatnya Andra harus kembali. Lagi pula, ladang dan rumah yang ditinggalkan andra dulu, tak ada lagi yang menyewa. Teror tanda kematian di dinding itu sepertinya sudah membuat orang-orang trauma untuk berusaha di desanya.

Setelah berpamitan dengan akik Jaelani, Andra menuju mobil travel yang akan membawanya pulang. Dalam mobil, penumpang cukup banyak, dan Andra memilih untuk duduk di samping, dekat jendela. Tidak banyak percakapan yang ia lakukan, termasuk pada penumpang di sebelahnya.

Ingatan tentang ibunya terus bergulir, membuat beragam kenangan mulai bermunculan. Perjalanan yang memakan waktu kurang lebih setengah hari itu, awalnya berjalan lancar. Namun, setelah setengah perjalanan, entah kenapa mobil yang ditumpangi Andra, mendadak mogok.

Supir mobil, terus berusaha menghidupkan mesin mobil. Setelah berusaha beberapa lama, tapi mesin mobil belum juga menyala, akhirnya pak supir meminta maaf atas kejadian yang kurang nyaman ini.

“Maaf, Bapak, Ibu, Adik, perjalanan terpaksa terunda sebentar. Entah kenapa, kok mesin mobil tiba-tiba mati. Padahal tadi baru diservis, sebelum berangkat.”

Andra memejamkan mata, menajamkan indera keenamnya. Ternyata benar dugaannya, beberapa makluk bertubuh tinggi, berkulit gelap ampak berdiri di depan mobil, menahan agar mobil tidak berjalan. Juga sesosok anak kecil tampak memainkan mesin mobil, sehingga ketika distater tidak bisa hidup.

Hm, kenapa mereka menghalangi mobil ini, apa memang ada yang menyuruh mereka? Bathin Andra. Bocah itu telah berubah menjadi seorang pemuda gagah dan memiliki ilmu yang lumayan tinggi. Setelah mengetahui siapa yang mengganggu, Andra lalu mencoba berkomunikasi dan mencoba mengusir mereka.

“Hm, anak kemarin sore, jangan coba-coba mengusir kami!” ujar salah satu sosok bertubuh tinggi besar itu.

Merasa direndahkan, Andra langsung membaca beberapa amalan yang terdiri dari doa dan surah yang diambil dari Al-Quran. Makhluk-makhluk astral itu melompat, kaget, bahkan ada yang kabur, mendapat perlawanan dari Andra. Tinggal sesosok yang masih berdiri, di depan mobil, menantang Andra dengan sorot matanya yang begitu tajam dan berwarna kemerahan. Desis kemarahan terdengar jelas di bibirnya. Sepertinya dia pemimpin sekelompok makhluk astral tadi.

“Sudahlah! Pergi saja. Katakan pada tuanmu, sudah tiba saatnya mengakhiri semua pesugihan yang selama ini dikerjakan!” Andra tetap teguh dan mengusir makhluk tadi sembari menitipkan pesan.

Benar saja, makluk bertubuh tinggi besar itu pun akhirnya tidak sanggup menerima pukulan dari Andra. Berlari, menghindar dari serangan selanjutnya dari pada hancur menjadi abu. Sambil mengucap syukur, Andra berkata pada supir, agar mencoba menghidupkan mesin. Dan, memang setelah kepergian makhluk-makhluk gaib tersebit, mesin mobil, mulai menyala kembali. Supir dan penumpang lain, berteriak kegirangan, mengucapkan syukur karena bisa melanjutkan perjalanan lagi.

Di sepanjang sisa perjalanan. Andra meningkatkan kewaspadaannya. Sudah pasti akan lebih banyak lagi makhluk-makhluk astral yang akan dikerahkan untuk menghadang jalannya. Ya, tujuan kepulangan Andra kali ini selain mengurus rumah dan ladang peninggalan ibunya, dia juga akan menghentikan praktek pesugihan yang terus dilakukan mbah Sami.

Semilir angin membuat Andra mengantuk dan tertidur. Dalam tidur, Andra bermimpi dibawa ke satu tempat yang dia tidak tahu. Di sana berkumpul banyak sekali makhluk-makhluk yang tidak dikenalnya. Rata-rata mereka memiiliki tubuh yang tidak utuh lagi. Dari sekian banyak makhluk itu, Andra melihat satu sosok menyerupai ibunya. Dia bisa mengetahui dari pakaian yang masih melekat di beberapa anggota tubuh ibunya yang masih tersisa.

Wajahnya begitu memilukan dan rusak di hampir seluruh bagian. Walau menahan rasa miris dan ngeri, Andra tetap mendekati ibunya. Bulir-bulir air mata, tampak jatuh di salah satu netra Sukma. Bibirnya bergerak, meminta tolong agar dibebaskan dari penderitaan ini. Andra menangis, tatkala melihat kaki ibunya dan yang lain dirantai dengan besi.

Sebuah ucapan, seperti meminta tolong, keluar dari bibir Sukma. Dia tampak tersiksa di sana, menjadi budak makhluk-makhluk pemilik pesugihan mbah Sami. Ketika akan meraih tubuh ibunya, tiba-tiba Andra terbangun. Keringat membanjiri dahi dan tubuhnya. Ada apa ini? tanya Andra dalam hati. Pertanyaan itu masih terus mengisi benaknya sampai Andra tiba di rumah pamannya.

“Andrakan ?” seru Sanusi, paman Andra saat melihat bocah yang dulu masih lugu itu kini telah menjadi pemuda tampan.

“Iya, Paman….” Andra turut menangis saat dipeluk oleh pamannya.

“Alhamdlillah, kamu sudah besar, sekarang. Khabar Akik gimana, Ndra?”

“Alhamdulillah, Paman. Beliau sehat dan bugar. Beliau menyampaikan salam untuk Paman.” Laki-laki itu pun enangguk, mendengar ucapan Andra. Setelah itu, mereka segera terlibat pembicaraan serius, termasuk, pengelolaan rumah dan ladang yang akan dikembalikan pada Andra lagi.

Tidak terasa hari telah sore, Andra pamit dan ditemani sang paman menuju rumahnya. Rasa rindu itu sudah semakin memuncak, ingin melihat tempat di mana ia dilahirkan dan dibesarkan.

“Nah, beginilah rumahmu sekarang, Ndra. Beruntung orang yang mengontraknya cukup telaten, jadi keadaannya tetap terpelihara. Barang-barang kalian pun masih ada, hanya saja dikumplkan di kamar belakang.”

Andra hanya tersenyum saja mendengar penjelasan demi penjelasan. Memang benar, keadaan rumah masih seperti dulu. Bergegas, mereka menuju kamar belakang, membereskan beberapa barang dan meletakkan semuanya kembali ke tempat semula.

Air mata tidak terasa menetes di pipi Andra saat menatap foto dirinya bersama Sukma. Namun, yang membuat dia tercekat adalah, dari foto Sukma terlihat air mata berupa darah. Andra segera memejamkan mata, membaca doa, meminta agar arwah ibunya tenang.

“Sekarang, Paman pulang dulu. Besok pagi, kita ziarah dulu ke makam ibumu baru ke ladang. Kebetulan ladang sudah dicangkul. Tinggal ditanami sja.”

“Iya, Paman. Terima kasih.” Pembnicaraan mereka pun terputus. Andra menatap kepergian pamannya dengan pandangan penuh terima kasih. Menurut cerita pamannya, teror coretab itu masih terus terjadi. Bahkan korbannya pun bertambah banyak. Hal itu lah yang membuat tekat Andra semakin bulat untuk menghentikannya.

Setelah salat magrib dan isya, Andra mencoba memejamkan mata. Perjalanan tadi cukup melelahkah. Antara sadar dan tidur, tiba-tiba dia melihat beberapa bayangan hitam seperti mengintai dari luar. Bahkan sosok terbesar telah berdiri di depan kamar. Andra seperti tercekik, terkena pengaruh makhluk itu.

Namun, Andra berusaha tidak panik. Segera dia membaca amalan yang telah dipelajari di padepokan. Makhluk itu, segera mundur beberapa langkah, melepaskan cekikannya. Ada erangan kemarahan terdengar dari bibirnya. Andra terus berkonsentrasi, menahan serangan makhluk itu.

“Kalian siapa? Kenapa mengganggu manusia?” Andra mencoba membuka komunikasi.

“Kami adalah makhluk sekutu si Sami itu. Tidak usah ikut cmpur dengan urusan kami!” Dengan suara berat sosok itu menjawab pertanyaan Andra. Setelah mengucapkan kalimat itu, kembali sosok itu mencoba mencekik Andra. Andra pun kembali memberi perlawanan. Kali ini, dia tidak boleh lengah, karena makhluk-makhluk ini sangat berbahaya.

Akhirnya, Andra bisa bernapas lega. Setelah berjuang beberapa saat, dia bisa juga lepas dari pukulan makhluk itu. Dan smpai pagi hari, Andra tetap waspada, kalau-kalau makhluk itu kembali.

“Bagaimana, Nda, nyaman istirahatmmu?” Sebenarnya Andra ingin bercerita tentang kejadian stadi malam, tapi, karena takut membuat pamannya khawatir, dia pun memutuskan untuk dia saja. Mereka terus mengobrol hingga lewat rumah mbah Sami, yang sekarang bangunannya sudah berubah drastis. Megah dan mewah. Sambil lewat, Andra melihat wajah mbah Sami mengintip dari balik jendela. Sosok yang menyerangnya malam tadi pun terlihat di sana.

Andra lalu meningkatkan kewaspadaan, sepertinya ada makhluk lain yang akan menjadikan mereka korban berikutnya. Apalagi keinginan Andra untuk melenyapkan pesugihan itu, sudah bisa dirasakan makhluk tersebut.

Sebelum menuju ladang, mereka menuju makam ibu Andra trlebih dahulu. Setelah ,mencari ke mana-mana, tapi Andra tidak menemukan kuburan ibunya. Dengn heran Andra bertanya. "Paman. makam ibu di mana? Dari tadi Andra cari tapi tidak ketemu.
a
“Masa. Ndra. Itu, di depanmu itu, pusara ibumu!” Andra memandang rah telunjuk Sanusi, pamannya. Hm, berarti, selama ini, penglihatan paman sudah dikelabuhi, karena yang berada di hadapannya, bukan makam, tapi semak-semak lebat.

Tidak mau berdebat, Andra segera meninggalkan tempat ini, menuju kebun yang selama ini dikelola orang lain. Sepertinya ada yang menginginkan mereka menjadi korban berikutnya. Dari insting yang selama ini mengganggunya, Andra mendatangi lokasi tempat di mana mayat ibunya dulu ditemukan. Sementara, tiba-tiba saja sang paman seperti orang linglung, berputar-putar saja di sekitar kebun.

Melihat hal itu, Andra segera menghampiri pamannya, memegang tangan dan meniupkan doa ke ubun-ubunnya. Sang paman segera terjatuh, lemas. Andra segera membopong tubuh pamnanya ke pondok yang biasa dipergunakan untuk beristirahat. Setelah membaringkan sang paman, Andra seperti membuat pagar gaib di sekitar pondok. Kemampuan yang dipelajarinya selama di padepokan.

Setelah itu, Andra terus berjalan ke tempat, di mana ia menemukan tubuh ibunya dulu. Benar dugaannya, di balik batu besar itu, terdapat jalan yang hanya bisa dilihat secara gaib. Seperti tangga yang menuju suatu tempat.

Andra mempersiapkan diri dan menuruni tangga yang julahnya lumayan banyak. Udara di sekitar sangat pengap. Setelah berjalan beberapa saat, akhirnya andta tiba di sebuah ruangan, dengan sebuah batau besar, menyerupai altar di tengahnya. Ternyata, ini tempat pemujaan. Pantas saja tidak ada yang tahu, karena tak kasat mata.

“Selamat datang, anak muda. Tak seharusnya kau mencampuri urusan kami!” Tiba-tiba saja rungan itu dipenuhi banyak makhluk bertubuh tinggi dan berwarna gelap. Di sela gigi mereka terdapat taring tajam. Mungkin, mereka inilah yang telah menewskan ibunya kemarin.

“Seharusnya, kalian yang harus pergi dari sini. Sudah cukup tumbal yang telah kalian ambil!” Andra bukannya takut, malah membalas.

Terdengar suara gemuruh seperti teriakan, ejekan dan tawa menyambut ucapan Andra. Tidak ada yang percaya kalau Andra memiliki kemampuan untuk menghancurkan kekuatan milik mereka.

“Hm, berani juga, kau! Tapi, sekarang, sudah terlambat. Nayawamu adalah tumbal berikutnya yang dipersembahkan si Sami itu.”

Andra tidak menanggapi lagi ucapan makhluk itu, dan segera menyiapkan serangan. Coretan itu tidak lagi sebgai alasan untuk mendapatkan tumbal. Karena sekarang makhlluk-makhluk itu bisa dengan bebas mengambil tumbal sesuai perjanjian.

Sebuah serangan tiba-tiba menusuk dadanya, entah dari mana datangnya. Dengan menahan geram, Andra lalu membalas serangan itu. Lalu terjadilah pertempuran yang tidak seimbang dalam hal jumlah. Mungkin, karena didikan di padepokan, Andra bisa meladeni serangan mereka, bahkan bisa melumpuhkannya satu persatu.

Andra tinggal menghadapi pemimpin makhluk itu saja. Terjadi pertarungan cukup alot, dan berkali-kali Andra terpaksa harus mundur menerima pukulannya. Namun, berkat didikan dan gemblengan selama di padepokan, akhirnya Andra mampu mengalahkan pemimpinnya juga. Terdengar gerutuan, sumpah serapah yang mereka tujukan pada mbah Sami. Dan menuding kalau si mbah harus bertanggung - untuk semua ini.

Andra pun bisa bernapas lega. Roh-roh yang terbelenggu oleh makhluk-makhluk itu, satu persatu mulai terlepas, termasuk ibunya yang tidak akan tersiksa lagi. Bersama sang paman, Andra pulang kembali ke rumah. Ketika melewati rumah mbah Sami, terjadi kehebohan luar biasa. Rumah mewah itu sekarang rata dengan tanah, terbakar, dan jasad mbah sami juga ikut terbakar.

Ternyata memang luar biasa pengaruh pesugihan itu. Bisa membuat seseorang menjadi kaya raya secara cepat, tapi bisa juga melenyapkannya dalam sekejab. Termasuk orang yang mengamalkannya. Semoga saja sekarang tidak ada lagi korban-korban pesugihan yang berjatuhan, dijadikan tumbal.
Diubah oleh uliyatis 19-06-2020 05:11
aan1984
banditos69
redbaron
redbaron dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Tutup