Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ladeedahAvatar border
TS
ladeedah
The Way You Are
Quote:




Friendship is not always about finishing each other's sentences or remind you to the lyrics you forget. Many times, friendship is about how fluent are both of you in speaking silence.

-- Maxwell.




Diubah oleh ladeedah 08-09-2019 00:30
someshitness
bukhorigan
evywahyuni
evywahyuni dan 11 lainnya memberi reputasi
12
24.3K
185
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
ladeedahAvatar border
TS
ladeedah
#88
Shit Happens
"It was magic." Lirih Hans. Entah sudah berapa lama kami diam, menyambung obrolan sesekali. Detak jantung kami yang beberapa jam lalu rush sudah kami tuntaskan dalam horizontal tango di pagi yang baru menaikkan matahari dari peraduannya. Rumah kami terletak di daerah perbukitan dengan Victorian Style berdinding batu. Jendela kamar kami menghadap ke timur. Perbukitan di kejauhan tampak seperti siluet hitam saat matahari mulai muncul di pagi hari. Saat matahari beranjak naik, seperti dunia Teletubbies di pembuka musim semi, rumput sudah mulai hijau di kejauhan dan matahari seperti piringan frisbee berwarna orange.

"What magic?"

"Semua perjalanan kita. Pertama ketemu Papa kamu, aku dibawa dia ke Melbourne, dan tau kamu. Too beautiful to be called coincidence, innit?"

"Yeah."

"Oi you Fuckers! Wanna grab some breakfast outside?" Max membuka pintu kamar dengan jaket dan sneaker. Vin, Lexi dan Gen sudah berdiri di kakinya dengan jaket plastik masing-masing dan tali di leher masing-masing yang berujung di tangan kanan Max.

"Lo mau pergi lama?" Tanya gue. Hari ini adalah jatah Max yang mengajak jalan-jalan. Biasanya dia akan membawa mobil dan mengajak The Boys keliling mencari taman bermain.

"Ga tau deh, pengen ngopi di Edna."

Edna adalah sebuah kafe kecil yang dibuka tak jauh dari rumah kami. Nama pemiliknya adalah Edna, seorang wanita paruh baya bertubuh gempal dan sangat ramah juga hangat. Edna bersama suaminya mengerjakan sendiri semua pekerjaan kafe yang kira-kira muat untuk 20 orang. Kadang gue dan Hans ikut membantu mereka saat kami sedang luang karena hobi Hans dalam membuat kopi dan teh dan gue membantu melayani pengunjung. Tempatnya sangat cozy dan memiliki halaman belakang untuk pengunjung yang membawa anjing atau kucing. Fasilitas yang tidak disediakan oleh kafe pada umumnya.

"We're good! Nanti kita susul ke Edna kalo males bikin sarapan!" Jawab Hans dan dijawab dengan acungan jempol oleh Max yang menutup pintu dan pergi.

"Max deket sama Olivia." Kata Hans setelah mendengar pintu utama tertutup.

"Olivia siapa?"

"Anak Interior Design."

"Max akan deketin semua perempuan di dunia ini." Timpal gue ringan.

"Kayaknya kali ini serius, Dee. Mereka beda soalnya dari yang sering aku liat."

"Setinggi harapanku buat Max nemuin cewek dan settle dengan hidupnya dia Hans, tapi aku selalu kecewa dengan harapanku juga. That is Max for us." Lirih gue sedih.

"I know." Hans menjawab dengan kecupannya di rambut gue.

"Kamu inget ga berantem kamu sama Max yang pertama dulu?"

"Hahaha! Dia ganas ya kalo udah berantem! Ga mau tau masalahnya apa, selama itu melibatkan kamu, dia akan hajar siapapun tanpa ragu." Hans menarik dagu gue untuk melihatnya. Gue mengangguk.

"Lucky you, Baby!" Tambahnya dengan kecupan di bibir gue.

========


"What the fuck!" Hansen belum sempat sadar akan apa yang terjadi saat Max melayangkan tinju ke wajahnya namun Max tidak menghentikan serangannya. Ia hajar Hans yang hanya melakukan pertahanan diri dengan kedua lengannya menahan pukulan Max yang tetap tak bisa ia hindari.

"YOU DARE TO TOUCH HER AGAIN, I WILL KILL YOU MOTHERFUCKER!!"

Oh....lets go back to what happened before that....far before me, Max and Hansen.

Kepindahan gue ke Jakarta adalah sesuatu yang tidak pernah gue bayangkan. Tidak pernah Max bayangkan. Itu sulit bagi kami berdua. Perpisahan di bandara adalah hal yang membuat nafas gue sesak dan benci orang tua gue. Mama benar dengan peringatannya: "something bad is going to happen if you tell this to Papa. A very bad thing."

Gue tidak menyangka something bad itu adalah perpisahan dengan Childhood Friend gue. Beberapa kali kami berlari untuk berpelukan sekali lagi, sekali lagi, dan akhirnya Papa menggendong gue dan Mama Max memeluk Max yang menyembunyikan wajahnya di perut Mamanya.

Gue stress berada di Jakarta. Gue tidak kenal tempat yang sangat macet, padat dan sendirian.

Eyang Kakung dan Eyang Putri sangat sayang ke gue. Gue adalah cucu pertama dari anak pertama. Bersama Eyang juga ada Om Jatra, adik Papa. Dua anak laki-laki yang dibesarkan oleh orang tua seluar biasa Eyang. Selain wajah dan tubuh yang bak doppelganger dan sifat yang tak jauh beda membuat keluarga mereka benar-benar terasa tenang.

Om Jatra sudah menikah saat itu, istrinya sedang kuliah di Norwegia karena orang tuanya juga bekerja disana sejak tante Nandira masih remaja. Om Jatra juga sudah memiliki seorang putri yang masih berusia empat tahun, tinggal bersama Mamanya di Norwegia. Om Jatra sendiri sedang menyelesaikan Masternya di Indonesia dan akan menyusul Sang Istri ke Norwegia.

Papa hanya menemani gue selama satu minggu. Tak banyak yang kami bicarakan, namun mereka selalu tidur larut malam, bicara dengan suara pelan, bahasa Jawa dan bahasan yang tak gue pahami. Nama Mama disebut beberapa kali oleh Papa. Hingga suatu malam gue paham saat mereka bicara dengan bahasa Indonesia. Sudah jam dua malam, mata gue terbuka lebar saat mendengar obrolan di ruang tamu yang terdengar jelas dari kamar.

Papa: "Gendis ga akan jenguk Diajeng Bu."

Eyang Putri: "Ada masalah apa sih sebenarnya? Dari kemarin bilang ada masalah-ada masalah!"

Papa: "Ada masalah sama Bram. Masalah yang serius, sudah kami sepakati bahwa dia tidak boleh ketemu Diajeng sampe Bram ijinkan ketemu. Dia sanggupi itu."

Eyang Kakung: "Masak toh Bram, kasian anaknya ga ketemu Ibune!"

Papa: "Kali ini mohon pemahamannya Pak, Bu. Ini demi Diajeng, Bram dan Gendis. Suatu hari kalo memang sudah mendingin, Bram akan bawa Ajeng ke Melbourne, biar ketemu disana sama Mamanya."

Om Jatra: "Mbak Gendis dimana sekarang Mas?"

Papa: "Kami pisah rumah Jat. Dia sewa apartemen sendiri."

Eyang Putri: Menangis."Ada masalah apa sih, Bram! Kalian kok ga ada yang kasian sama Diajeng! Masih kecil udah pontang-panting hidupnya! Jauh dari Papa Mamanya! Kamu jadi Bapak kok ga becus ngurusin anak Bram! Pernikahan baru seumur jagung sudah ga ada yang bisa mawas dan sabar!"

Eyang Kakung: "Yang sabar Bram, jadi laki-laki harus ngalah, bukan kalah tapi bukti kalau kepala kita bisa adem dan membahas masalah saat semuanya sudah dingin!"

Diam.

Om Jatra: "Yowes Mas, Diajeng akan aku urus disini. Aku masih ada setaunan lagi di Indonesia sebelum lanjut ke Norway! Jangan khawatir. Mas Bram selesaikan urusan dengan Mbak Gendis! Semoga semuanya baik-baik saja, terutama untuk Ajeng!"

Papa: "Makasih Jat!"

Papa masuk kamar dan melihat gue duduk di tempat tidur.

"Hey Sayang!" Dia tarik gue untuk tidur di pelukannya.

"Papa mau pulang ke Melbourne lagi?"

"Iya Sayang. Papa harus selesaikan kuliah Papa, sedikit lagi Ajeng."

"Papa akan sering kesini?"

"I will! Papa akan sering kesini atau Ajeng akan liburan disana!"

"Pa?"

"Hmm?"

"Jagain Max!"

"I will! I will, Baby!"

That's life for us. Gue sering bertelepon dengan Max. Berkirim surat dan hadiah-hadiah. Bahkan gue memiliki komputer sendiri dan internet untuk membunuh jarak. Tapi tetap berbeda kan?

Gue dan Mama benar-benar tidak berhubungan selama satu tahun gue di Indonesia. Rasa rindu pada Mama hanya mendarat di pelukan Eyang dan Om Jatra. Lalu amukan Eyang ke Papa.

Satu tahun pertama Papa juga tidak pulang sama sekali. Telepon yang ia buat juga tidak pernah lama karena kesibukannya sekaligus perbedaan waktu.

Kesalahan Mama bergulir seperti salju sebesar kelereng yang menggelinding dan membesar menjadi bola salju. Gue tidak tau sebuah peristiwa bisa membawa dampak ke peristiwa-peristiwa berikutnya meskipun gue sudah menjauh dari mereka. Tidak cukupkah dengan hukuman yang diberikan ke gue dengan mengambil kehidupan yang gue punya?

Gue tidak sekolah di sekolahan selevel JIS, Lab School, apalagi Wesley Institue! Gue sekolah di SMP Negeri yang gurunya tidak mengajarkan apa-apa selain menyalin catatan yang sama persis di buku! Gue sekolah di sekolahan yang gurunya memaksa hafalan rumus, tidak mengajar justru mendongeng! Gue sekolah di sekolahan yang tiga pelajaran berbeda berturut-turut diajar oleh satu guru karena tak ada guru lainnya! Gue sekolah di sekolah yang gurunya tidak datang hanya karena hujan!

Its far from what I was wishing for....

Rasa tidak betah, rasa bosan, ketidaktahuan, rasa marah dan rasa sendiri, membuat gue menjadi anak yang dijuluki Tukang Marah, a girl with no smile. Gue jadi objek buli. Lagi.

Gue sering berpindah bahasa ke Bahasa Inggris tanpa gue sadari. Gue besar di Australia sejak gue berumur satu tahun. Gue tidak pernah bertemu dengan orang Indonesia selain Papa, Mama dan guru Bahasa Indonesia yang hanya satu jam sekali (ada mata pelajaran Bahasa Indonesia di kurikulum Australia). Papa dan Mama tidak pernah bicara Bahasa Indonesia sejak gue SD. Gue sedikit paham Bahasa Indonesia tapi gue tidak bisa mengucapkannya dengan lancar dan itu dianggap dosa oleh guru dan teman-teman SMP gue! Gue orang Indonesia harusnya gue bisa Bahasa Indonesia!

Sekali gue laporkan itu ke guru, tidak digubris selain "dilarang mengejek teman!"

Sekali gue laporkan ke Eyang dan berujung Eyang Kakung datang ke sekolah, melabrak guru, namun membuat semuanya semakin rusuh: Dee tukang laporan.

Ada bahan bulian baru karena laporan gue.

Gue memilih diam. Gue tidak melaporkan apapun yang gue terima di sekolah. Gue tidak cerita bahwa gue tidak punya teman sama sekali di sekolah karena mereka melihat gue sebagai anak yang aneh, sering menangis dan sok-bule.

Bukan hanya oleh teman, gue juga dibuli oleh guru.

Ga usah sombong deh kamu, Dee!

Pernyataan yang keluar dari mulut seorang guru Bahasa Inggris. Why? Karena Bahasa Inggris gue lebih bagus? Atau karena alasan sesederhana: tidak bisa menerima perbedaan? Atau tidak paham sesuatu yang disebut adaptasi? Atau murni karena kampungan?

Satu-satunya yang membuat gue bahagia adalah hari Minggu (karena gue masih sekolah hari Sabtu). Gue tidak perlu sekolah dan Eyang atau Om Jatra akan mengajak gue jalan-jalan ke PIM atau Blok M.

Om Jatra berangkat ke Norwegia. Gue kehilangan sosok Papa di keluarga Eyang. Rasanya hidup gue semakin ambruk.

Kenaikan kelas, empat nilai gue di rapot MERAH! Matematika, Bahasa Indonesia, IPA dan IPS: Merah!

Tulisan TINGGAL KELAS tercetak hitam di bagian bawah buku bersampul biru itu.

Gue tidak naik ke kelas dua SMP.

Bad. Tapi setidaknya itu membuat Papa pulang.

"KOK BISA??"

adalah pertanyaan yang ia lontarkan tanpa menanyakan kabar gue, apalagi memeluk gue.

"WHERE WERE YOU, DAD!"

"PAPA KERJA BUAT KAMU! SEKARANG KAMU TUNJUKKAN INI KE PAPA??"

"WHERE WERE YOU?? WHERE THE FUCK IS MOM! SEKARANG INI SALAH DEE? SIAPA YANG BAWA DEE KE INDONESIA? KALO DEE DI ASUTRALIA DEE BISA BELAJAR SAMA MAX! MAX IS GOOD IN MATH!! PAPA DULU SELALU NGAJARIN DEE SAAT DEE GABISA! YOU KNOW I AM BAD AT MATH, DAD! YOU KNOW!!"

Tapi Bram tetap cerdas. Dia marah namun dia segera dingin dan memeluk gue erat.

"I am sorry, Baby! I am sorry!"

Papa mended the mistakes. Gue tidak naik kelas adalah pukulan telak baginya. Dia daftarkan gue ke les, memilih guru les sendiri untuk gue. Kak Izul namanya. Dia langsung Papa pilih sebagai tutor private untuk gue dan digaji dengan sangat memuaskan sehingga mengajar gue sangat enteng bagi Kak Izul. Papa selalu telepon Kak Izul setiap minggu untuk memastikan gue tidak off grid.

Shit happenned. Another shit happened. Another one. Another one. Life is full of shits.

Nilai bisa dipantau oleh Bram. Pergaulan tidak.

Gue berhasil berteman dengan salah satu buli hanya karena gue punya uang untuk membelikan dia rokok. lalu gue belikan lagi. Lalu gue belikan lagi.

Tentu gue punya uang saat SMP! Eyang adalah tipe old school yang berpikir memberi uang adalah bentuk rasa sayang! Semakin banyak, semakin sayang! Dan gue bukan anak yang akan belanja apalagi jajan mengingat gue mudah sakit saat jajan sembarangan. Gue simpan uang pemberian Eyang.

Gue menjadi supplier rokok dan membayari rental PS teman-teman yang bejat demi diterimanya gue di pergaulan mereka.

Gue juga mulai belajar merokok. Rasa takut masih mendominasi sehingga sesekali OKE, belum mau setiap hari.

At least gue punya temen.

Another shit happened:

Eyang Kakung meninggal dunia.

Serangan jantung setelah ngopi seperti biasa di pagi hari. Eyang Putri sedang rewang ke rumah tetangga yang hajatan. Gue yang duduk di sebelah Eyang Kakung panik dan takut, tidak bisa bergerak dan kebingungan harus apa. Gue berlari memanggil Eyang Putri namun Eyang Kakung sudah tidak tertolong lagi.

Papa datang. Mama tidak.

Enam bukan setelah kepergian eyang Kakung, gue berkunjung ke Melbourne untuk pertama kalinya sejak di Indonesia. Terasa menyenangkan di perjalanan. Papa dan Max menjemput gue di bandara. Max sudah jauh lebih tinggi dibanding gue. Rambut coklatnya terpotong rapi, irisnya yang biru semakin terang dan tajam. Tubuhnya juga tegap dan berotot.

"Hi Dee!" adalah sapaan yang terdengar canggung. Maxwell memang jarang mengangkat telepon. Saat gue telepon, dia sedang sibuk ekskul. Saat dia yang telepon, gue sedang nongkrong dengan geng baru gue. Hubungan persahabatan yang dulu tak terpisahkan kemudian drifted away secara otomatis.

"Hi!"

Kami salaman. SALAMAN! Dua anak yang dulu tidak mau terlepas pelukannya, kini hanya bisa salaman!

"Apa kabar?" Tanyanya saat kami duduk di mobil. Bukan Skoda Fabia, tapi sedan Mercedes Benz berwarna hitam. Jauh lebih mewah dari mobil Mama yang gue ingat.

"Good. How are you?"

"Not bad! I am happy you are here, Dee!"

Diam.

Gue tiba di depan rumah tingkat yang sangat besar. Bukan rumah yang gue tinggalkan dulu.

"Rumah siapa ini, Pa?"

"Your house, Baby!" Papa menunjuk nama Dahasrarya Wengka yang terukir indah di dinding pagar.

Gue bertemu dengan Mama untuk pertama kalinya setelah full dua tahun tidak melihat wajahnya, tidak mendengar suaranya.

Pertemuan yang awkward.

Tidak seperti Ibu pada umumnya yang akan berlari memeluk anaknya yang sudah lama tidak ia lihat, Mama sedang bersender di grand piano Yamaha C3X berwarna hitam yang terletak di tengah ruangan. Mama dengan gaun merah dan heels stiletto. Di tangannya ada segelas Rose Wine.

"Hi Baby Dee!"

Dia tidak menangis. Dia tidak panik. Dia tidak--breakdown.

Gue tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Tapi untuk apa? Gue tau emosi itu, meskipun gue tidak paham, tapi gue tau saat pelukan Mama bukan pelukan yang seakan ingin menyatukan tubuhnya dan tubuh anaknya. Bukan pelukan yang ingin menghapus penderitaan anaknya. Gue tau pelukan Mama bukan pelukan seperti itu. Hanya pelukan yang terasa formalitas dan mengambang.

Papa dan mama saling berciuman di bibir.

Saat itulah gue mengerti, mereka menjadi dua orang yang tidak gue kenal lagi....

"Hows your life Dee?"

"Hows your life Max?"

"Semuanya baik-baik aja. Sekolah, football, gymnastic, renang. Lo?"

Gue hanya menggelengkan kepala. Cerita kehidupan gue tidak akan ada bandingannya dengan cerita hidup Maxwell.

Bolos sekolah, ngerokok, main game, nongkrong sama begundal cem temen si Bobby!

"Nice Max. Gue juga sibuk dengan kegiatan gue."

Max hanya mengangguk.

"I miss you, Dee."

"Thank you."

Ada pucat di wajah Max. Mungkin dia berharap mendengar balasan I miss you too dari gue atau mungkin pelukan dan kembali ber-rendevouz, tapi tidak.

"Lo tambah kurus Dee."

Gue hanya mengangguk.

"Gue kan ikut kelas gymnastic Dee! gurunya guru gymnastic kita waktu SD, Mister Myer! Lo inget?" Max berusaha membakar percakapan kami yang canggung.

Gue hanya mengangguk.

"Tell me about your life Dee!"

"Lo sering belajar sama Papa disini?"

Max mengangguk.

"Nilai lo bagus-bagus?"

Max mengangguk.

"Cool!" Tutup gue.

Tak banyak yang kami bicarakan di pertemuan pertama kami. Max harus sekolah dan sibuk. Bagi gue itu lebih baik. Gue berada dalam keadaan yang membuat gue cemburu dan sangat marah. Max punya kamar di rumah baru gue. Kamar yang sangat besar dan penuh dengan barang-barang bernuansa BOY: komik, poster Superman, selimut Star Wars. Dia tidak tinggal disini tetapi gue yakin dia sering menginap disini.

Kamar gue di rumah Eyang biasa saja. Dua rak memenuhi dinding dengan buku-buku. Kasur dengan sprei bermotif bunga yang dipilihkan Eyang di arisannya, meja belajar dengan komputer. Beberapa poster Westlife dan Amigos. Sudah.

"Hi, Sweetheart!" Mama berdiri di pintu kamar Max. Dia hampiri gue yang sedang membuka-buka majalah Max.

"Kamu tambah cantik!" Mama mengelus rambut gue hingga ke pipi.

"Mama tinggal disini?"

"I hope so. Mama pengen tinggal bareng kamu dan Papa lagi."

Hal positif dari membaca adalah lo bisa memahami bahasa-bahasa tersembunyi, makna lain dari sebuah pernyataan, dan mencerna sebuah kalimat. Hal negatifnya: you feel too much. Cerita dari setiap buku seperti tinggal dan membentuk koloninya di dalam hati lo, di dalam ingatan lo. Setiap emosinya mengalir di darah lo dan membuat lo kesepian karena lo selalu berharap kehidupan seperti di buku. Because real life sucks!

Gue paham Mama masih belum tinggal bersama Papa.

"Mama tidak bisa berhenti menyalahkan diri Mama atas pecahnya keluarga kita, Dee."

"You should, Ma!"

Mama mengangguk.

"Maafin Mama yang membuat kamu mengalami banyak kesulitan."

"I hate you, I hate Papa too. But mostly, I hate you!"

Mama menangis dan mengangguk.

"I have a gift for you. Dont tell your Father, but here is for you."

Papa tetap menjadi protagonis. Dia selalu bisa menenangkan gue dengan wejangan-wejangannya. Gue masih harus di Indonesia karena Eyang tidak ada lagi yang menemani dan saat itu gue memang lebih memilih di Indonesia, jauh dari semua hal yang membuat marah. Gue merasa asing di rumah itu, dengan Papa yang sibuk bekerja dan lebih terlihat sebagai businessman dibanding Bram yang hanya pake kaos dan kemeja yang tidak dikancingkan. Hari-harinya di rumah sibuk dengan telepon sana-sini ketimbang ngobrol dengan gue seperti dulu.

Everything changes and I hate it.

Gue kembali ke Indonesia.

Shit keeps rolling, make a bigger shitball, keep rolling and become a humongous shit ball...

dan dengan I have a gift for you. Dont tell your Father, but here is for you dari Mama....

the humungous shit ball berubah menjadi: an avalanche of shit.

Mama memberi gue ATM.

Kartu ATM yang membawa gue ke dunia narkoba saat gue menginjak bangku SMA...

Diubah oleh ladeedah 01-09-2019 06:58
0
Tutup