m60e38Avatar border
TS
m60e38
Kembalilah (Tak Terungkap) | Ketulusan Cinta Para Bidadari | R-17

Quote:



Apa kau percaya dengan Hukum Kekekalan Energi?
Kalau aku percaya dengan Hukum Kekekalan Cinta.
Bahwa Cinta itu tidak dapat dibuat atau dimusnahkan.
Tetapi hanya berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya.
Itulah cinta yang kupercaya.


Ini adalah kisah nyata tentang mereka.
Tentang semua cinta yang tak terbalas.
Tentang semua rasa yang tak terungkap.
Yang terukir indah dalam 874 lembar buku harianku sejak SMA.
Ditambah 101 halaman dari kisahku yang hilang bersama seseorang.


Maka, saat kau bertanya, mengapa kau masih ingat?
Buku harianku yang mengingatkanku.
Disana tertulis nama lengkap mereka.
Disana tertulis semua perkataan antara aku dan mereka
Disana tertulis semua proses pendewasaanku.


Ini kisah nyata.
Buku harian 975 lembar letter size itu saksi sejarahnya.
Ditulis dengan font Times New Roman 10 Pt.
Dan akan kutulis ulang semuanya untuk kalian.
Bidadari yang pernah datang mengisi hariku.
Bidadari yang mendewasakanku.




Orang bilang, jatuh cinta itu menyenangkan.
Aku mengakui itu, sepanjang aku jatuh cinta, rasanya menyenangkan.


Tetapi orang juga bilang, jatuh cinta itu menyakitkan.
Entah, tetapi aku tidak pernah setuju dengan frasa bahwa cinta itu menyakitkan.


Cinta adalah saat kita menginginkan orang yang kita cintai bahagia.
Tidak peduli seberapa sakitnya kita dibuatnya.
Karena ketulusan yang akan mengobati semua sakit.
Di atas senyum bahagia, dia yang kita cintai.


Namum, apabila ada banyak hati yang saling mencinta.
Apakah akan berakhir bencana?
Ataukah ketulusan yang akan menyembukan mereka.
Ini kisah tentang mereka.


Bidadari sempurna yang hadir dalam hidupku.



Kembalilah (Tak Terungkap) | Ketulusan Cinta Para Bidadari





MAKLUMAT


Cerita ini berdasarkan kisah nyata, nama karakter disamarkan sesuai dengan kebutuhan untuk melindungi privasi dari tokoh yang ada di dalam cerita ini. Dan cerita ini sebisa mungkin menggunakan kaedah sastra secara teknis, sehingga akan dibutuhkan waktu yang lama untuk dicerna.

Rating dalam cerita ini adalah R-17, dengan kata lain, cerita ini mengandung bahasa yang kasar dan juga isi cerita yang hanya sesuai untuk usia 17 tahun atau di atasnya, dan atau usia di bawahnya dengan bimbingan orang yang lebih dewasa.

Perlu diingat, rating Restricted tidak serta merta hanya mengacu kepada konten cerita yang mengandung adegan dewasa, belajar dari cerita sebelumnya, saya selaku authorakan meminimalisir cerita dengan adegan dewasa di thread ini. Restricted di sini mengacu kepada kompleksitas cerita yang akan mempengaruhi ideologi pada pembaca, khususnya remaja yang memiliki usia di bawah 17 tahun.

Penggunaan bahasa yang tidak pantas, serta adegan yang penuh dengan konspirasi dan atau tindakan kejahatan juga menjadi pertimbangan saya untuk tetap mempertahankan rating Restricted di dalam cerita ini, jadi terlebih dahulu harus dipahami mengapa saya tetap menggunakan rating R-17 pada cerita ini, dan bukan serta merta karena adanya adegan yang kurang pantas di sini.

Mohon untuk pembaca memahami bahwa tidak semua adagan dalam cerita ini bisa dicontoh, ditiru, dan atau diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, terlebih untuk material yang hanya boleh dilakukan untuk pasangan pernikahan yang sah. Pembaca dimohon untuk mengambil hikmah dari cerita ini sebaik-baiknya.

Kritik dan saran dari pembaca sangatlah saya harapkan, dan mohon maaf apabila banyak tulisan dari karya saya yang masih jauh menyimpang dari Sastra Indonesia. Saya mohon koreksinya dari pembaca, karena saya ingin tetap mempertahankan kaedah menulis Sastra, bukan asal cerita.

Demikian maklumat dari saya, Terima Kasih.



Quote:


Quote:


Quote:


Quote:


Quote:


OVERTURE



     Selamat pagi rekan-rekan Kaskuser, khususnya di Sub-Forum Story from the Heart, perkenalkan, saya Faristama Aldirch, selaku Nubie SR di sini untuk berbagi kisah. Sebelumnya pasti rekan-rekan semua tahu apa alasan saya menggunakan User ID m60e38, tentunya ada hubungannya antara mesin BMW M60 dan sasis BMW E38.


     Tentu saja, cerita ini berawal dari saya yang jatuh cinta kepada Aerish Rivier, menyatakan cinta kepada gadis itu, dan membuat saya menanti akan sebuah balasan yang tak berujung. Menutup hati dari banyak hati yang berusaha mengisi hati saya dan berusaha tak acuh dengan apa yang saya alami sendiri. Hingga pada akhirnya banyak hal yang terlewatkan hingga semuanya menjadi satu.

     Tetapi, hal tersebut tidak pernah disadari oleh saya, Cauthelia Nandyadatang dengan membawa cinta dan keikhlasan yang begitu luar biasa, tertuang dalam diary-nya sejak tahun 2002. Nadine Helvelina datang dengan cinta dan ketulusan yang tidak pernah bisa diragukan. Shinta Adinda yang menjadi sahabat terbaik saya juga datang dengan ketulusan yang benar-benar membuat saya berpikir tidak akan meninggalkannya.

     Arteana Andrianti, seorang Guru penjaga UKS yang merasakan bahwa saya adalah laki-laki yang telah menyelamatkannya di satu peristiwa pada pertengahan 2006. Hingga Aluna Amelia, gadis berdarah Oriental yang begitu cantik, mempercayakan segala perasaannya kepada saya atas semua apa yang pernah saya lakukan kepadanya.

     Ketulusan mereka semua sudah tidak mungkin diragukan lagi, apapun mereka lakukan bukan serta merta menginginkan saya bahagia, tetapi ingin yang lainnya bahagia. Memang ini terlihat menyenangkan, dicintai banyak wanita sekaligus, dan mereka terlihat begitu akrab dan juga akur satu sama lainnya, padahal hal tersebut benar-benar menjadi sebuah beban yang begitu luar biasa untuk saya.

     Semenjak kedatangan Erik di kehidupan saya, semuanya mulai terasa begitu berat, dengan anak buahnya, ia berusaha untuk mendekati satu per satu bidadari untuk sekadar mengancam saya, atau mungkin melakukan hal yang buruk kepada mereka. Hal tersebut membuat saya benar-benar was-was, terlebih saat ini saya tidak bisa tenang karena Cauthelia tidak bisa dihubungi.

     Satu persatu masalah muncul dan semuanya bermuara ke satu nama, yaitu Markus, siapakah orang itu? Entahlah, hanya Sang Jabbar yang tahu siapakah Markus itu, yang pasti semenjak kedatangan Nancy malam itu, setidaknya selain hengkangnya Erik perlahan dari kehidupan saya, muncul aliansi baru yang akan membantu saya mengungkap siapa dan apa tujuan Markus sebenarnya.

     Semoga cerita ini bisa menjadi salah satu kawan di kala senggang untuk rekan-rekan Kaskuser yang senang membaca cerita dengan format baku seperti yang saya suguhkan. Tidak perlu banyak kata-kata dalam pembukaan ini, saya akan melanjutkannya pada kisah yang akan saya tulis dengan format yang sama seperti cerita saya sebelumnya. Atas perhatian dan kerjasama Anda, saya mengucapkan Terima Kasih.

Quote:


Polling
0 suara
Siapa Karakter Perempuan Favorit Reader dalam Cerita Ini?
Diubah oleh m60e38 04-02-2024 03:41
fajar1908
redalion101
jamalfirmans282
jamalfirmans282 dan 24 lainnya memberi reputasi
23
302.3K
2.4K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
m60e38Avatar border
TS
m60e38
#2037
Bandung, Oktober 2017 | Bagian 2
BANDUNG, OKTOBER 2017 (BAGIAN 2)


     Aku lalu memandang ke arah Teana, ia hanya tersenyum seraya menganggukkan pelan kepalanya, karena nama yang muncul di sana adalah nama orang yang seharusnya kutemui pagi ini. Dan aku tahu benar, bahwa apabila ia menelepon sebelum aku tiba di lokasi, berarti ia membatalkan pertemuan hari ini.

      Sungguh sebuah kebetulan yang tidak masuk dalam akal berpikirku.

      “Selamat pagi Mas Tama,” sapa Andi, klien yang harusnya kutemui jam sepuluh nanti.

      “Siap Pak Andi, kayaknya ada kabar enggak enak kalau Bapak telepon sepagi ini?” tanyaku, mengetahui ke mana arah pembicaraan ini.

      “Iya Pak, mohon maaf sebelumnya, anak saya sakit, dan saya harus ke rumah sakit. Begini aja, saya yang ke Jakarta pekan depan kalau memang Mas Tama berkenan.”

      “Gak masalah Pak, saya udah biasa bolak-balik Bandung soalnya,” ujarku santai.

      “Utamain keluarga dulu Pak. Nanti saya aja yang ke sini pekan depan, gak masalah,” ujarku, sungguh aku merasa tidak keberatan.

      “Makasih banget Mas, saya bener-bener minta maaf, soalnya ini mendadak banget.

      “Siap Pak, semoga anaknya cepet sembuh ya Pak, karena saya tahu gimana paniknya kalo anak lagi sakit.”

      Setelah salam terakhir, aku menutup telepon itu, bertepatan dengan Lampu Merah yang menghadang kami di bawah Jembatan Layang Pasupati, sebuah ikon yang cukup terkenal apabila singgah di Ibukota Jawa Barat yang sampai saat ini masih mengikatku dengan jutaan pesonanya.

      “Jadi mau ke mana?” tanyaku lalu menoleh ke arah Teana.

      Ia menggeleng, “ya terserah kamu Pap,” ujarnya pelan, “mau ajak Tama boleh, ato mau titipin ke Mama juga gak apa-apa.”

      Sejenak, aku lalu memandang ke arah Tama yang saat ini begitu antusias bermain dengan apa yang ia genggam. Kuhela napas seraya tersenyum, “yaudah kita jalan-jalan aja bertiga. Ke Lembang kan banyak tempat bagus, kenapa gak jalan aja buat nyenengin Tama.”

      “Tapi Pap, kamu emang gak kerepotan?” tanya Teana, wajahnya langsung memerah saat aku mengatakan itu.

      Aku menggeleng pasti, “dia akan jadi anak aku kan nanti, dan aku mau bikin dia seneng, dan aku juga seneng ngelakuin itu.”

      Teana terdiam. Tidak ada lisan yang terucap selain air mata yang mengalir perlahan di atas wajahnya yang begitu merah ketika memandangku. Entah apa yang ia rasakan, tetapi aku merasa tidak ada yang salah dengan ucapanku barusan. Apakah mungkin ia begitu bahagia dengan apa yang aku sampaikan barusan?

      Ia tidak mengatakan apapun ketika lampu lalu lintas sudah berubah hijau.

      Kuputar setir kendaraan ini ke arah Dago, melewati sebuah institut yang cukup ternama di daerah Bandung. Laju keempat roda Pirelli P Zero yang terpasang kokoh di atas lima bautnya pun selalu mengikuti kemana komando tangan dan kakiku menggerakkannya, hingga kami tiba di Ciumbuleuit dan meneruskan perjalanan ke arah Lembang melalui Jalan Pagemaneuh.

      Teana terus terdiam di kursinya, sementara Tama terus saja bersenandung, begitu gembira ketika kendaraan ini mulai terus naik, memperlihatkan kota Bandung yang terlihat begitu indah dari atas sini. Wajah wanita itu masih saja merah seraya senyum yang terus teruntai sesekali dihiasi dengan air mata yang mengalir perlahan.

      “Emang mau ke mana Pap?” tanyanya pelan, “kalo lewat sini kan berarti mau ke Vilanya Elya.”

      Aku mengangguk, “emang mau ke sana.”

      “Aku selalu bawa kunci cadangan kok Na, jadi kapanpun aku ke Bandung, aku bisa singgah sejam dua jam baru pulang. Terlalu banyak kenangan di sana yang bener-bener enggak bisa aku lupain Na.”

      “Tapi kan, bukannya kata Elya udah di jual?” tanya Teana tidak percaya.

      Aku menggeleng, “gak dijual Na, cuma digadai doang, dan sekarang udah selesai. Dan Elya yang punya hak buat rawat vila itu, berdasarkan wasiatnya Papa.”

      “Jadi, kita mau ke Vilanya Elya?”

      Aku mengangguk, “aku mau mampir sebentar, terus kita jalan. Terserah mau ke mana, di Lembang kan banyak tempat wisata buat anak-anak.”

      “Makasih Pap,” ujarnya pelan, “baru kali ini aku ngerasa kalo Tama ada yang merhatiin selain aku.”

      “Soalnya Tobi,” ujarnya ragu.

      “Jangan ungkit lagi Tobi,” potongku langsung, “gimanapun dia adalah Ayah biologis sah dari Tama, dan aku gak mau kamu bandingin aku sama dia Na.”

      “Kalaupun aku nikahin kamu pada akhirnya, itu enggak akan ngubah status Tobi sebagai Ayah kandung Tama. Dan aku enggak mau Tama lupa, siapa Ayahnya yang sebenernya.”

      “Bukan itu Pap,” sanggahnya lagi, “aku bahagia karena ada yang bener-bener peduli sama Tama, dan lucunya itu adalah mantan aku pas aku masih galau dulu.”

      “Emang sekarang galaunya udah ilang Na?” tanyaku, tertawa kecil seraya memutar setir mengikuti arah jalan yang berliku.

      “Masih belom ilang Pap. Dan galau aku bisa ilang kalo aku nyelesaiin satu lagi,” ujarnya pelan, “dan aku yakin dalam sebulan ato dua bulan aku bisa penuhin syarat dari kamu, Pap.”

      Aku tersenyum, tidak menoleh ke arahnya sama sekali. Hanya sesekali menoleh ke arah spion tengah, dan saat itu kulihat Tama tengah terlelap. Mungkin karena begitu sunyi dan juga tenangnya suspensi kendaraan besutan Bavaria tahun 2009 ini, membuatnya seolah dininabobokan oleh kenyamanan self-leveling-suspension yang ditawarkan oleh keempat sistemnya.

      Niatanku untuk langsung mencari tempat rekreasi di waktu yang belum genap jam sembilan-pagi-ini pun sirna. Kuturunkan tensi akselerasi dengan tidak menekan pedal gas dalam-dalam, membiarkan suplai bahan bakar yang tersembur langsung menuju mesin dengan delapan-silinder-empat-ribu-empat-ratus-centimeter-kubik itu tertahan seraya medan yang terus menanjak juga ikut melambatkan lajunya.

      Dua pasang roda 245/45 R19 dan 275/40 R19 yang terpasang di keempat sisinya seolah tidak pernah lelah untuk melahap aspal yang mulus namun sempit di Jalan Pagermaneuh ini. Kubiarkan kendaraan dengan enam-percepatan ini terus mendesah di tiga-ribu-lima-ratus-putaran-per-menit. Suara mesin delapan-silinder-square ini benar-benar merasuk melewati kompartemen mesin, tidak berisik namun menggairahkan.

      Sejenak kuperhatikan jarum penunjuk suhu mesin, masih berada di tengah, itu berarti masih seratus-centigrade, dan masih sangat aman untuk memaksakan momen puntir maksimum untuk tersalurkan melalui limited-slip-differential yang gagah mengunci sepasang roda di belakangnya. Seraya mengalirkan seluruh momen puntir sebesar enam-ratus-Newton-meter untuk terus menanjak, meninggalkan sisa pembarakan bahan bakar beroktan sembilan-puluh-lima yang menyesaki lebih dari setengah kapasitas tangki kendaraan ini.

      Perjalanan terasa begitu cepat, dan tibalah kami di vila yang seolah menjadi sebuah tempat yang begitu kukenal sejak sepuluh tahun yang lalu, bersama seluruh bidadari yang pernah mengisi hatiku. Dan saat ini, aku sudah berada di sini bersama Teana.

      Sejenak, aku turun terlebih dahulu, membuka pintu pagar lalu melajukan kendaraan ini di atas kerikil yang masih saja halus, sama seperti dulu, dan berakhir dengan menghentikan laju kendaraan ini tepat di depan teras luas yang masih terlihat sama seperti dahulu.

      “Kamu tunggu dulu Na,” ujarku pelan, “aku siapin kamar dulu buat Tama.”

      Kubiarkan mesin tersebut menyala agar dapat terus mengkompresi difluoromonochloromethane yang diputar oleh momen puntir yang dihasilkan mesin, untuk terus mendinginkan kabin. Sejenak, aku membuka pintu depan, dan menyalakan penyejuk udara di kamar utama.

      Tanpa komando, aku langsung menarik kursi anak yang terpasang di kursi belakang dan membawanya hingga ke dalam kamar. Setelah kulepas sepatu dan menyiapkan selimut, dengan hati-hati kupindahkan Tama ke atas ranjang, seraya menutup tubuhnya dengan selimut.

      Kulihat ada helaan napas yang menyiratkan ketenangan, begitu membuatku terlena akan perasaan damai yang tercipta dari suara khas itu.

      Aku tersenyum sendiri, membayangkan bahwa aku akan menjadi Ayahnya suatu saat nanti.

      Kuusap pelan kepalanya, dan kucium pelan keningnya. Sungguh, ada niatan yang begitu dalam di hatiku untuk membahagiakan Tama, karena aku tidak ingin ia hidup tanpa kasih sayang seorang Ayah yang seharusnya mengiringi setiap langkah hidupnya hingga ia dewasa.

      Saat aku kembali ke mobil, Teana bahkan masih berada di dalamnya, ia tidak menggerakkan tubuhnya dari sana. Entah apa yang ia pikirkan saat ini, tetapi saat aku masuk dan hendak mengambil kunci yang selalu kuletakkan di center console, aku melihat ia sedang menyeka air matanya.

      “Na?” panggilku pelan.

      Ia tersenyum, “entah gimana mau ngomong sama kamu Pap.”

      “Aku bener-bener enggak bisa move on dari apa yang udah kamu lakuin ke aku.”

      “Tobi aja,” ujarnya lagi, dan saat itu aku menggelengkan kepalaku.

      “Kita udah sepakat gak bahas Tobi, Na. Gimana pun dia itu Ayahnya Tama,” ujarku pelan, seraya duduk di sebelahnya.

      “Aku tahu Pap, aku tahu.”

      Ia menghela napas pelan, “tapi aku enggak bisa ngomong apa-apa, pas kamu dengan begitu pedulinya langsung mikirin Tama.”

      “Hal yang enggak pernah aku dapetin dari seorang Tobi, seenggaknya sampe saat ini Pap.”

      Aku lalu tersenyum, “suatu saat aku akan jadi Ayah buat Tama. Dan aku pasti akan terbiasa ngelakuin itu semua kan?”

      Ia mengangguk, “makasih Pap. Entah berapa kali kamu bisa bahagiain aku dengan segala hal kecil itu, tapi ada satu hal yang sampe sekarang bikin aku bertanya-tanya tentang kamu,” ujarnya ragu.

      “Aku mau tanya,” ujarnya, memandangku dengan begitu serius.

Ravecioly
Ravecioly memberi reputasi
1