CC206 13 95 itu berdiri gagah di samping Peron 1 Stasiun Bekasi, deru General Electric V8 7FDL-8 yang saat ini sedang langsam terdengar begitu merdu, terharmonisasi dengan suara static brake yang terus menerus mengeluarkan desingan angin. KA20, ujarku dalam hati saat kakiku melangkah pasti menuju rangkaian K1 yang sudah terparkir rapi di depan Semboyan 7 yang menyala di sebelah kanannya.

Eksekutif 4, itu yang tertulis di tiket Kereta Api yang telah kubeli sejak dua hari yang lalu itu, seperti biasa pekerjaan di Bandung seakan tidak pernah selesai. Bandung bagaikan tempat kerjaku selama beberapa bulan ini, dan sudah lumrah bagiku untuk bepergian Bekasi ke Bandung dalam waktu dekat. Pagi ini, aku memutuskan untuk menggunakan layanan PT. KAI untuk menuju Bandung.

Beberapa menit berselang, nada keberangkatan Kereta Api sudah menggema di Stasiun Bekasi, seraya Semboyan 5 sudah terlihat menyala dengan galaknya di sana. Sesaat kemudian kulihat PPKA sudah mengangakat Semboyan 40, disambut langsung oleh bisingnya peluit Semboyan 41 dari kondektur, dan diakhiri dengan dengung Semboyan 35 yang mecumikkan telinga siapapun yang berada di depannya.

Keenam Traction Motor lokomotif besutan General Electric itu langsung merespon putaran mesin 1,050 RPM yang memiliki tenaga continuous 2,250 HP, kereta ini bergerak perlahan dan meninggalkan Bekasi. Segelas susu panas masih kupegang saat ini, Cauthelia yang membuatkannya untukku, seperti biasa. Sesekali aku memandang ke arah luar jendela pada pagi ini, dimana Sol masih belum membuka penuh matanya.

Terlambat 15 menit dari jadwal, aku tiba di Stasiun Bandung pada pukul 0852, dan saat kereta ini sudah benar-benar full stop, barulah kulangkahkan kakiku dengan pasti untuk segera menuju ke client di daerah Soekarno Hatta. Hari ini, ada yang berjanji menjemputku, dan sepertinya ia sudah menungguku sejak jam 0800 tadi, ada beberapa missed call dari dirinya sejak jam 0800.

Ia di sana, masih menggerai rambut indahnya yang panjang dan bergelombang, tetap dengan polesan tipis di atas wajahnya yang masih sama cantiknya seperti dahulu. Pakaian yang begitu modis berwarna salem membalut tubuhnya yang tidak terlalu kurus itu, yang pasti ia sedikit lebih gemuk sejak pertama aku bertemu dengannya. Saat itu ia melambaikan tangannya kepadaku dan tersenyum dengan manisnya, sementara aku hanya memandangnya dan tersenyum simpul, cukup mengambang.



Ia mengikutiku di belakang, dan saat itu aku langsung menuju ke Honda RM3 yang terparkir tidak jauh dari pintu utara Stasiun Bandung, kali ini ia yang menyetir. Aku duduk di kursi penumpang depan, dan saat itu agak lama ia memandangku sebelum mesinnya dinyalakan. Aku hanya memandang wanita itu dengan tatapan datar dan ia pun segera melajukan Crossover itu keluar dari Stasiun Bandung.



Kami menyusuri jalanan Kota Bandung yang sudah padat saat itu, lalu lalang kendaraan, dan setelah berjibaku dengan banyaknya persimpangan di sana, tibalah kami di sebuah rumah. Ada sebuah BMW E38 terparkir di sana, 735iL, pre-facelift terlihat jelas dari lampu belakangnya yang masih bergaris, pasti tahun 1998 ke bawah, gumamku. Rumahnya cukup besar, garasinya mampu menampung dua buah mobil, salah satunya Honda RM3 yang ia gunakan saat ini.

Aku diajaknya masuk ke dalam rumah dua tingkat tersebut, di dalamnya tertata barang-barang yang bisa dikatakan tidak murah. Dan saat Teana melangkahkan kakinya masuk, ada seorang anak laki-laki berumur dua tahun langsung berlari dan tertawa menghampiri Teana, ia pasti Faristama, ujarku dalam hati. Anak laki-laki itu sangatlah lucu, wajahnya yang sangat lugu benar-benar mencerminkan seorang Teana yang begitu lembut dan tegar.