Aku menyapa manja buah hatiku yang hanya bisa menyadari presensiku di sini. Ia sudah bisa bergerak lebih aktif daripada sebelumnya, matanya kadang melihat ke arahku, mulutnya yang mungil merah merona terkadang bergerak seperti mau mengucapkan sesuatu. Kubelai lembut tangan gadis mungil itu, ia meraihnya dan menggenggam telunjukku dengan sangat lembut.

Hangat, ya hangat sekali genggaman jemari mungil itu, aku tersenyum sendiri melihat wajahnya yang selalu bersinar, matanya yang cokelat bahkan seakan menyapaku dengan segala kasih sayangnya. Ia adalah Anandya, buah cintaku bersama Cauthelia, buah cintaku dari tiga tahun pernikahanku bersamanya, dalam tiga belas tahun cintanya kepadaku.

Teana nampaknya ingin beristirahat sejenak setelah beberapa jam dalam perjalanan dari Tegal menuju Bekasi, saat itulah Cauthelia lalu masuk ke kamarku. Ia masih sama seperti masa SMA, wajahnya selalu menggodaku untuk menyentuhnya lebih jauh. Ia daratkan Labia orisnya di Labia orisku dengan begitu hangat dan berhasrat.

Kata-kata cinta dan rindu berulang kali terucap dari bibir merah muda milik Cauthelia yang sudah basah kini. Tanpa banyak kata, ia berlutut, dan ia masih saja suka melakukan itu, memberikanku impuls dengan Mamma, Labia oris, dan Lingua. Ia semakin menggodaku dengan belaian yang benar-benar membuatku terlena, masih sama seperti dahulu, bahkan lebih dahsyat.

Ia pun menganggalkan apa yang ia kenakan, líon isteach mo broinn ocras le do seamhan te, a chomhlíonadh mo mhian, kata-kata itu selalu terucap dengan desahan khas Cauthelia yang tidak pernah berubah. Ia merentangkan kedua femurnya dan memandangku dengan tatapan yang menggoda saat mengatakan hal itu, dan ia mendapatkan apa yang ia inginkan, sembilan kali impuls.



Sesaat kemudian ia tersenyum manis kepadaku, tetapi tidak ada satu alasanpun yang membuatku tertarik kepadanya lagi. Saat itu pula Cauthelia keluar dari kamar sambil membawa Anandya dalam gendongannya, Teana sejurus meraih tubuh mungil itu untuk di dekapnya pelan, ia terus menerus memandang Cauthelia dan Anandya.



Mereka berdua tertawa, obrolan ringan terus mengalir, semuanya terasa sangat hangat di cuaca yang dingin di sore ini. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 1730, saat itu ia memutuskan untuk pamit. Setelah berpamitan denganku dan Cauthelia ia naik ke dalam RM3 miliknya dan meninggalkan rumah ini, tidak lupa ia meninggalkan nomor telepon dan alamat rumah.

Teana ya Teana, wanita itu masih saja tegar atas semua cobaan dalam hidupnya, ia tidak gentar atas apa yang ia alami. Bahkan, ia tanpa malu-malu memintaku untuk menjadikannya bagian dari keluarga kecil ini, jelas aku menolaknya, aku tidak mau membuat hatiku pecah lagi, hanya ada Cauthelia dan Anandya yang sekarang mengisi hatiku yang sangat rapuh ini.

Semoga kau selalu bahagia Teana, dengan Tama kecil yang pasti akan tumbuh dewasa dan pasti menjagamu dengan sangat baik, ya aku yakin itu. Pertemuanku dengan Teana jelas membuka kisah baru hingga hari ini, bahkan ia berjanji untuk datang kembali ke rumahku. Aku benar-benar bersyukur telah memiliki dua bidadari yang setia menemaniku kini, Cauthelia dan Anandya, merekalah surgaku kini.