ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #45 : Centang Dua


“Tumben nih senyum-senyum sendiri. Lagi semangat mau mudik ya?”

Dibandingkan pertanyaannya, suara kursi yang digeserlah yang membuatku menoleh. Entah karena tangannya lemah atau tak peduli dengan kesehatan lantai, Nadia memang selalu menarik kursi dengan cara digeser, bukan diangkat.

“Iya dong. Aku udah sengaja nabung cuti biar bisa mudik duluan.”

“Enak ya bisa senang-senang. Gara-gara kau cuti aku harus lembur.”

Aku cuma bisa garuk-garuk kepala sambil memasang senyum bersalah. Sudah dua tahun aku tidak pulang. Kali ini aku ingin lebih egois dan pulang lebih awal demi menghindari macet.

“Ngomong-ngomong berapa jarak dari sini ke kampungmu?” Nadia bertanya lagi.

“Dua hari naik bus. Jauh memang, tapi apalah artinya jarak dibandingkan keluarga tercinta?”

Aku tersenyum sembari menatap foto yang kupajang di meja kerjaku. Foto keluarga kami. Senyum si kecil Hana adalah satu hal yang membuatku bisa melupakan masalah apa pun.

“Anakmu dirawat sama kakek neneknya kan?” Nadia kembali bertanya. “Kenapa nggak ajak tinggal di sini aja?”

“Kami berdua sibuk. Lagian aku nggak mau Hana tinggal di kota kayak gini. Polusinya nggak bagus buat pertumbuhan.”

Bahkan melalui kaca kantor langit Jakarta terlihat begitu buram. Mungkin memang pengaruh musim mudik, tapi udara pedesaan jauh lebih baik untuk anak yang sedang masa pertumbuhan.

“Orangtuamu nggak keberatan kau nitipin anak?”

“Nggak tuh. Mereka malah senang main sama cucunya.”

Nadia bersandar ke kursinya dengan kedua mata menerawang atap. Tampaknya dia sedang berpikir keras. Atau mungkin cuma membayangkan makan apa untuk berbuka nanti.

“Kau sadar nggak kalau kebanyakan kakek nenek sayang banget ke cucunya. Padahal sama anak sendiri bersikap kejam.”

“Hmm … iya sih.” Aku mengangguk. “Kenapa gitu ya?”

“Mungkin karna mereka sadar nggak memperlakukan anak dengan baik jadi mereka coba memperbaiki kesalahan melalui cucu.”

“Masuk akal masuk akal.”

Orangtuaku cukup keras padaku, tapi mereka begitu lunak ke Hana. Kalau tidak salah nenekku dulu juga sangat memanjakanku. Kurasa yang namanya orangtua memang akan melunak seiring usia.

“Yaudahlah, aku mau pulang dulu. Mau kuantar nggak?”

Tawaran Nadia terlalu sayang untuk ditolak.

“Thank you. Sebentar, aku kirim chat dulu.”

Nadia mengangguk dan berjalan keluar lebih dulu sementara aku membuka aplikasi whatsapp dan mengirim pesan pada kontak yang memang sengaja ku-pin paling atas.

Quote:


Tanpa menunggu untuk melihat pesan terkirim atau tidak aku langsung memasukkan ponsel ka saku dan bergegas meninggalkan kantor.

***


Aku tak menyukai perjalanan mudik. Sebenarnya aku sama sekali tak menyukai perjalanan jauh. Berdesak-desakan dengan banyak orang tanpa bisa melakukan apa pun tak ubahnya seperti siksaan bagiku. Apalagi jika kebetulan duduk bersebelahan dengan orang yang menyebalkan. Niscaya perjalanan mudik akan terasa seperti neraka.

untungnya yang menduduki kursi disebelahku adalah orang tua yang tak terlalu banyak bicara. Sedikit bau, tapi setidaknya bukan masalah besar. Perjalanan dua hari dua malam itu dimulai dengan mulus meski panas mentari menusuk melalui jendela.

Quote:


Aku menutup aplikasi chat lalu membuka browser. Ada banyak musik dan podcast yang sudah kusiapkan untuk menemani dalam perjalanan. Di kursi depan aku bisa melihat seorang anak remaja mengeluarkan buku. Tampaknya dia tak tahu membaca di atas kendaraan yang melaju kencang itu membuat pusing.

Mudik memang fenomena tahunan yang pasti terjadi, tapi ketidaknyamanannya tak pernah menjadi lebih baik. Berdesak-desakan, bermacet-macetan, menahan panas dan debu selagi masih berpuasa, semua ditahan demi bisa merayakan hari raya bersama keluarga.

Quote:


Ketik dan kirim. Aku sudah bertekad untuk mengirim semua hal menarik yang kutemukan dalam perjalanan. Lumayan biar nggak ngantuk. Selalu ada banyak cerita menarik saat mudik, tapi kuharap tak ada cerita buruk yang terjadi.

“Istri ya, Mas?” tanya Pak tua di sebelahku. Kupikir dia tidur, ternyata dia melihatku mengirim pesan.

“Iya, Pak. Lagi nunggu di kampung.”

“Enak ya …. Istri saya udah nggak ada.”

Aku cuma memberi senyum sedih simpati. Mungkin aku harus menepuk pundaknya dan memberikan kata-kata semangat, tapi tampaknya dia tak menginginkan itu.

“Mudik itu paling enak bareng keluarga, Mas. Kalau stress tinggal peluk anak, kalau marah tinggal pegang istri, kalau lagi istirahat selalu ada teman cerita. Apa pun kalau bersama keluarga pasti rasanya indah.”

Aku terdiam. Kira-kira kenapa Pak Tua yang harusnya sudah punya cucu ini masih melakukan mudik? Bukankah seharusnya anak cucunya yang mengunjunginya?

“Anak cucu Bapak ….”

“Sibuk sama urusan mereka masing-masing,” jawab si Bapak cuek. “Ini saya mau ziarah ke makan istri saya. Dulu kami berdua sibuk kerja, akanya semua anak dirawat ibu saya. Mungkin gara-gara itu mereka nggak peduli sama saya.”

Aku langsung teringat Hana. Aku memang tak punya banyak waktu untuknya, tapi kami masih berhubungan dengan baik. Seminggu sekali aku melakukan video call untuk melihat wajah lucunya sekaligus agar dia tidak melupakan wajahku.

Namun sepertinya itu tidaklah cukup. mungkin aku memang harus membawanya ke Jakarta. Atau … mungkin aku yang harus cari kerjaan di dekat kampung.

“Makanya Mas, kalau masih punya keluarga jaga baik-baik. Jangan sampai di masa tua mudik sendirian.”

Dia menepuk pundakku penuh simpati. Pak Tua itu tak bicara lagi sampai dia turun keesokan paginya.

Mudik juga berkesan karena orang-orang yang kita temui dalam perjalanan mungkin tak akan pernah kita temui lagi seumur hidup. Pertemuan pertama dan terakhir. Jika melihat dari situ rasanya mudik sangat spesial.

Quote:


Kutunggu beberapa saat, masih centang satu. Kami memang sedang melewati area hutan. Sinyal tidak terlalu bagus di sini. Kalau diingat-ingat sinyal di kampung dulu juga tidak bagus. Hanya beberapa tahun belakangan sinyalnya mulai stabil. Dalam beberapa tahun ke depan area ini juga tak akan mengenal yang namanya susah sinyal.

Mudik memang spesial. Perjalanan ini membuat siapa saja melihat banyak tempat dan saling membandingkan satu sama lain. Setelah mengalaminya orang-orang akan membandingkannya dengan mudik tahun berikutnya dan tahun berikutnya lagi. Perubahan yang terjadi setiap tahun memberikan perasaan bertumbuh yang tak lazim.

Mudik memang menyebalkan, tapi ada daya tarik tersendiri dari itu. Namun yang paling indah tetaplah perasaan saat akhirnya tiba di rumah.

“Papaaaaaa!!”

Rasanya seluruh kelelahan lenyap saat melihat kedua kaki kecilnya berlari menyambutku di ambang pintu. Spontan aku merentangkan kedua tangan lebar-lebar memeluknya, mengangkatnya, dan menerbangkannya berputar-putar.

“Apa kabar bidadari kecilku? Kangen sama Papa? Atau kangen oleh-oleh?”

“Oleh-oleh!”

Tak tega rasanya aku memarahinya karena menjawab seperti itu. Anak kecil mana yang bisa menahan godaan cemilan manis? Jika tak peduli kesehatannya akan kuberikan semua manisan di dunia padanya.

“Udah, kamu mandi dulu. Kan mau solat ke masjid, masa kotor?”

“Iya Opa.”

Hana berlari ke kamar mandi tempat neneknya sudah menunggu. Aku menatap Ayah dengan segala terima kasih yang hendak kuluapkan. Meski demikian Ayah mengerti dan menepuk pundakku penuh pengertian.

“Yaudah sana,” ucapnya padaku.

“Terima kasih.”

Aku mengeluarkan ponselku dan mengirim beberapa pesan.

Quote:


Ketik dan kirim. Pesan itu cuma ditandai centang satu. Aku berjalan keluar dan memutari rumah menuju halaman belakang.
Quote:


Tekan dan kirim. Lagi-lagi, pesan itu cuma ditandai centang satu.

Quote:


Tekan dan kirim. Tekan dan kirim. Tekan dan kirim.

Quote:


Aku berhenti melangkah. Rasanya ada sakit sekaligus lega yang bercampur di dalam hati. Dua tahun lamanya aku menghindari, tapi hari ini aku tak boleh lari lagi.

Quote:


Aku meletakkan ponselku di atas makamnya. Entah apa yang kupikirkan, tapi aku mencoba melakukannya sebaik mungkin. Kata-kata yang terlalu sakit untuk diucap cuma bisa kucurahkan lewat chat. Meski kutahu tak ada lagi yang bisa mencapainya, aku mengirim pesan dan berharap itu diterima. Berharap pesan itu menampilkan tanda centang dua.

“Maafkan aku, Ma. Dua tahun aku pergi, tapi sekarang aku bisa mengantarkan semua pesan ini padamu. Ada banyak sekali hal yang ingin kuceritakan.”

Di hari kemenangan ini, di bawah tanah yang sunyi, aku berharap dia mendengar semuanya. Dua tahun penuh pesan yang tak pernah tersampaikan, kini kupanjatkan melalui doa.

Semoga, pesannya tersampaikan.

Semoga, dia membacanya.

***TAMAT***
thecrawler
brucebanner23
indrag057
indrag057 dan 7 lainnya memberi reputasi
8
669
12
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan