tyasnitinegoroAvatar border
TS
tyasnitinegoro
PENGANTIN KEMUKUS



TRAGEDI PENGANTIN KEMUKUS

MENUNTUT GANTI NYAWA
PART 1

 
Quote:

“Setiap Perjanjian, Selalu Ada Harga Yang Harus di Bayar!”

Krieet... krieet... krieet....

Dipan kayu itu terus bergoyang, dua anak manusia berlainan jenis, sedang bertelanjang, bergoyang maju mundur mereguk kenikmatan. Melakukan ritual yg akan membuat mereka kaya tanpa harus lelah bekerja.

Peluh sudah membanjiri kedua tubuh lengket yang melekat layaknya laba-laba di atas jaringnya. Nafasnya terengah-engah. Nafsu memburu. Seperti ada kekuatan gaib yang mendorong mereka untuk terus bergerak di atas pasangannya. Memacu hasrat untuk mencapai tujuan.

Sang Wanita mengerang, sang lelaki menggerung. Berhimpitan. Melakukan hubungan suami istri dengan cara yang brutal. Mirip binatang buas yang saling memangsa. Seakan hidup mereka bergantung dalam keberlangsungan ritual yang sedang mereka lakukan ini.

Di sana, di dalam sebuah kamar, di atas dipan kayu, mereka terus melakukan ritual hubungan badan. Sampai terdengar suara teriakan mengerikan. Menjeritkan sebuah permintaan.

 

"Tolong, tolong saya!”

 

Mati, lelaki itu mati! Ia mati menjadi tumbal pesugihan gunung Kemukus!

 

***

Suara langkah kaki bolak balik, ragu-ragu terdengar di telinga mbah Jiwo. Lelaki 60an yang paling dituakan di wilayah itu. Tak banyak orang yang tahu kalau ritual yang paling bisa cepat kaya itu ke mbah Jiwo.

Sekali lagi mbah Jiwo mendengar suara langkah kaki dan bisik-bisik kecil dari dua orang lelaki di depan rumahnya. Ia pun akhirnya membuka pintu rumah dan mendapati dua lelaki hendak mengetuk pintu.

"Permisi mbah, benar, rumah ini rumahnya mbah Jiwo kuncen makam pangeran Samudro?" tanya lelaki itu.

 

Mbah Jiwo diam saja. Membuat lelaki itu melanjutkan bicaranya.

 

"Maaf mbah, kami dtng ke sini tanpa janjian. Saya denger dari teman kalo mbah bisa bantu kami ritual biar kaya!"

Mbah Jiwo masih diam saja. Ia lalu menatap kedua pria itu bergantian sambil menggelengkan kepalanya. Kemudian meraih kenop pintu berniat menutup kembali pintunya. Namun salah satu lelaki itu menahan pintu agar tetap terbuka dengan mengganjal kakinya di celah pintu.

Mata mbah Jiwo melotot, kesal dengan perilaku tamunya yang tidak sopan. Ia pun menghardik keras lelaki itu.

 

“Wes, lungo kowe! Saya nggak gitu-gitu lagi!”

Tanpa di sangka, lelaki yang di panggil Surya oleh kawannya itu berlutut dan sungkem di kaki Mbah Jiwo.

“Tolong saya, mbah. Saya jauh-jauh ke sini habisin semua uang saya buat jadi kaya. Hutang saya banyak. Banyak rentenir yang ngejar saya. Bisa mampus kalau saya pulang nggak bawa hasil!”

 

Mbah Jiwo melotot ke arah Surya yang masih memeluk kakinya erat.

“Bukan urusanku!” hardiknya lagi.

 

“Bantu saya mbah! Tolong saya! Saya akan lakuin semua yang mbah minta!” Surya mengiba di bawah kaki mbah Jiwo yang masih terlihat sigap di usianya yang tidak muda lagi.

Beberapa saat Mbah Jiwo terdiam, ia terpaku di tempatnya. Pandangannya lurus ke depan dengan raut wajah yang mengisyaratkan ketakutan yang luar biasa. Entah apa yang ia lihat, karena setelahnya, tangan mbah Jiwo mengatup sambil kepalanya mengangguk hormat. Bersamaan dengan itu, ia lalu meraih lengan Surya dan menyuruhnya untuk duduk di kursi berlengan.

 

“Duduk, diam dan dengar!” katanya juga memberi isyarat pada teman Surya, Aris.

“Sesuk, jumat pon sasi ngarep, teko rene meneh! Gowo wong wadon sik udu pasangan resmi. Gowo duit mangatus ewu dinggo tuku kembang karo mahar. Ngerti!”

(Besok, jumat pon bulan depan, ke sini lagi! Bawa wanita yang bukan pasangan resmi kalian. Bawa uang 500 ribu buat beli kembang dan mahar. Ngerti!) ujar Mbah Jiwo yang buru-buru di sanggupi oleh Surya dan Aris.

“Siji meneh! Seminggu sak durunge ndene, ojo berhubungan karo bojo resmimu sik. Iso?”

(Satu lagi! seminggu sebelum ke sini, jangan berhubungan intim dengan istri sahmu. Bisa?)

 

“Bisa mbah, bisa!” jawab Surya yang langsung disetujui juga oleh Aris.

“Wes, saiki mulih kabeh!” (Sudah, sekarang pulang semua)

“Baik mbah... baik mbah....”

 

keduanya berduyun-duyun segera pamit dan pergi meninggalkan rumah mbah Jiwo. Pulang untuk mempersiapkan apa yang diminta oleh mbah Jiwo untuk ritual mereka nanti.

 

***

“Sudah balik ta, Pak? Mau mandi apa makan dulu? Biar ibuk siapin.” Risma, istri Surya salim, menyambut dan membawa tasnya ke dalam.

“Aku tak mandi dulu baru makan, Buk. Anak-anak mana, Bu?” tanya Surya sembari melihat ke sekeliling. Tak mendapati Kirana dan Nakula, anak kembarnya yang biasanya jam segini masih nonton Tv di ruang keluarga.

“Di kamar, Pak. Lagi banyak PR katanya.”

“Bisnisnya gimanaa, Pak? Lancar?” lanjut Risma sambil membongkar tas suaminya, mengambil baju kotor dan memisahkan dari beberapa baju yang masih bersih.

“O-oh bisnis. Iya bisnisnya lancar kok, Buk. Ya sudah, bapak tak mandi dulu. Gerah.” Buru2 Surya masuk ke dalam kamar mandi.

 

Risma yg tak merasa curiga pun bergegas menyusul, menyiapkan baju untuk suaminya dan menghangatkan lauk dan sayur untuk mereka makan malam bersama nanti.

Malam sudah larut. Risma sudah terlelap. Surya keluar kamar, diam2 dia menelepon Aris. Meminta Aris untuk mencarikan pasangan ritual di Gunung Kemukus.

Ia berpesan untuk mencarikan pasangan yang benar2 setujuan untuk menjadi kaya bersama. Dan tak akan berhenti sebelum menyelesaikan 7 kali ritual yang akan dilakukan.

 

***

Quote:

Quote:

Waktu yang di nanti pun tiba. Tepat di malam jumat pon, Surya dan Aris kembali ke Gunung Kemukus. Mereka sudah membawa uang dan kembang seperti yang di syaratkan oleh mbah Jiwo.

Sementara perempuan yang di minta untuk menjalani ritual mereka juga sudah di carikan. Mereka berempat janjian bertemu di sebuah warung tak jauh dari Gunung Kemukus.

 

“Neng endi wong e Ris, wes jam piro iki!” (Di mana orangnya, Ris. Sudah jam berapa ini) tanya Surya tak sabar.

“Wes tenang, coba tak bel sek wonge!” (Sudah tenang, coba tak telfon dulu ) jawab Aris. Namun blm sempat Aris menekan tombol telfon, seorang perempuan menepuk bahunya.

 

“Mas Aris, yo? Aku Erni, mas...” Ucapnya. Lalu menunjuk perempuan di sebelahnya. “Dan ini temenku, Winda.”

“Pun dangu nopo, mas?” (Sudah lama ya nunggunya, mas?) lanjut Erni balik bertanya.

 

Aris tersenyum sambil melihat Erni dan Winda bergantian. Mencoba menilai mana yang lebih molek di antara kedua perempuan ini.

“Lihatin apa to, mas Aris? Dari tadi kok lihatin ke sini aja!” Erni menunjuk ke dadanya. “Wajahku tuh di sini loh!” ia lalu menunjuk ke wajahnya.

 

“Eh iya mbak Erni, ndak lihat apa-apa kok!” kata Aris menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Sur, aku boleh ya sama Erni, kamu sama temannya?” bisik Aris memutuskan akan memilih Erni sebagai pasangan ritualnya.

 

Surya melirik sebentar ke arah Winda, perempuan yang ia taksir berusia 30an itu, berambut hitam panjang dan berkulit sawo matang.

Jika dibandingkan istrinya di rumah jelas kalah tanding. Risma berkulit putih dan bertubuh molek. Beda dengan Winda yang bertubuh kurus dan memiliki dada yang hampir rata.

 

“Sampean yakin? Sampean sanggup?” tanya Surya memastikan.

Winda mengangguk mantap tanpa keraguan sedikit pun. Ia malahan balik menantang kata-kata Surya. “Lha sampean gimanaa, mas? Aku ndak mau loh dapet pasangan ritual yang ndak sungguh-sungguh. Aku pengen cepet sugih!”

Surya menatap Winda kurang senang, ia merasa perempuan ini selain kurang sedap dipandang tapi juga kurang enak didengar kata-katanya. Tapi dalam hati kecilnya, Surya malah lebih yakin berpasangan dengan Winda yg tegas dengan tujuannya daripada Erni yang molek tapi klemer-klemer.

Malahan, nanti membuat dirinya repot mengurusi pasangan yang nggak memiliki visi yang sama dengannya.

 

“Ya wis kalo gitu. Sebelum malem, kita langsung ke rumahnya Mbah Jiwo aja.” Ajak Surya.

 

Dengan membawa barang bawaannya, mereka pun bertolak pergi ke kediaman mbah Jiwo.

“Mbah... kami siap menjalankan ritualnya mbah!” ucap Surya tanpa basa-basi sesaat setelah tiba di rumah mbah Jiwo.

 

Mbah Jiwo mengangguk. Surya lalu mengenalkan Winda sebagai calon pasangan ritualnya, dan mengeluarkan syarat-syarat yang diminta mbah Jiwo tempo hari.

“Ya sudah kalau gitu kita bisa mulai sekarang.” Mbah Jiwo hendak beranjak dari kursinya saat Aris lebih dulu berdiri dan menahannya pergi.

 

“Saya juga mbah! Ini pasangan saya, Erni. Kami juga sudah siap.”

Mbah Jiwo menggeleng keras, “Ndak bisa dua-duanya malam ini. Satu pasangan saja. Siapa yang mau duluan silahkan pilih.”

 

“Saya duluan mbah! Saya Surya dan Winda pasangan saya.” Surya dengan cepat menyela ucapan Aris. Dan memajukan namanya dengan Winda.

“Sepurane Ris, aku sik, yo. Koe reti dewe to, kepie kahananku saiki.”

 (Maaf Ris, aku dulu, ya. Kamu tahu sendiri to, gimanaa keadaanku sekarang)

 

Surya menatap Aris dengan memohon. Meski jengkel, tapi Aris yang tahu tentang kesulitan Surya pun akhirnya bersedia mengalah.

Toh awalnya ia hanya ingin mengantar Surya saja, sekalian coba-coba pesugihan untuk kaya tanpa tumbal dan hanya memakai seks saja sebagai syarat utamanya.

 

Mbah Jiwo pun masuk ke dalam rumahnya. Ia mengambil lampu minyak lalu mengajak Surya dan Winda pergi ke suatu tempat.

“Lalu kami bagaimana mbah?” tanya Aris pada mbah Jiwo.

 

“Balik ae, mas. Yo opo sampean arep nunggoni wong ritual!” (Pulang saja, nanti balik lagi. Untuk apa juga nungguin orang ritual!” sahut mbah Jiwo sebelum mereka berlalu ditelan kegelapan malam.

Dengan misuh-misuh Aris dan Erni akhirnya memutuskan untuk turun dan kembali ke penginapan murah mereka.

Sementara mbah Jiwo terus memandu mereka masuk ke dalam hutan. Hutan itu menyelimuti mereka dengan aura yang menakutkan namun memikat. Daun-daun kering terinjak-injak mengeluarkan suara gemerisik, sementara dedaunan yang rimbun menyerap hampir seluruh cahaya bulan.

Udara terasa lembab, dan kegelapan mulai menyelinap di antara pepohonan yang tinggi.

 

Mbah Jiwo memimpin mereka melalui jalan setapak sempit, di mana suara hewan malam seperti serangga dan burung hantu menciptakan latar belakang yang menegangkan.

Cahaya redup dari sinar bulan hanya sebagian kecil yang berhasil menembus kanopi hutan, menciptakan bayangan-bayangan hitam yang menggerakkan pepohonan.

Mereka merasakan adanya aura magis di sekitar mereka, seolah hutan itu sendiri memiliki kehadiran yang lebih dalam dari yang terlihat. Kabut tipis mulai muncul, mengubah pemandangan menjadi semakin misterius dan membuat jalan mereka semakin tidak terlihat.

Bunyi riak air sungai kecil terdengar samar di kejauhan, menambah suasana tambah mencekam. Tidak ada yang berani berbicara, suasana hutan telah membius mereka dalam ketegangan yang tak terucapkan. Dan di tengah keheningan, langkah-langkah mereka semakin dalam menguji batas-batas keberanian mereka.

Mbah Jiwo berdiri di tepi sumur tua, diiringi oleh tatapan tajamnya yang penuh keyakinan. Ia meraih penutup sumur dengan hati-hati, mengangkatnya dengan gerakan lambat.

Ketika penutup itu terangkat, aroma tanah basah dan kelembapan menguar dari dalam sumur. Entah seberapa dalam sumur itu, yang jelas hanya kegelapan yang menyelubungi lubang itu begitu dalam.

Mbah Jiwo kemudian membuka sebuah kotak kecil yang dibawanya, mengeluarkan beberapa benda yang tampaknya memiliki makna khusus. Dalam keheningan hutan, suara perlahan mantra-mantra kuno terdengar, meskipun hanya bisikan lembut yang hampir terlupakan di antara hiruk-pikuk alam.


Diubah oleh tyasnitinegoro 08-12-2023 14:54
nderek.langkung
bukhorigan
MFriza85
MFriza85 dan 15 lainnya memberi reputasi
16
2.2K
15
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan