Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Mendaki Everest Membawa 3 Dosa


Putih, putih, dan hitam. Untuk sejenak aku mengira mataku sudah buta warna, tetapi kemudian aku sadar bahwa di atas sini memang hanya ada putih dan bayang-bayang malam. Rasanya sangat dingin dan menyakitkan. Aku masih bisa mendengar suara-suara lemah meminta pertolongan.

Sudah berapa lama kami terjebak di sini? Meski rencana sudah disusun begitu matang dan persiapan sudah sempurna, ternyata alam masih jauh lebih berkuasa dalam menentukan nasib penantangnya. Keahlian dan pengalaman kami sama sekali tak ada apa-apanya bila dibandingkan gunung es yang mendapat julukan titik tertinggi di dunia.

Aku, Sebastian, Benhabel, Aguero, dan Mori. Kami berlima terpilih untuk menaklukkan gunung ini, tetapi gunung inilah yang akhirnya menaklukkan kami. Sekarang kami terjebak di ketinggian 7500 meter dan menunggu pagi datang untuk bisa menuruni gunung. Tak ada harapan untuk naik lebih tinggi. Yang bisa kami lakukan hanyalah turun secepat mungkin dan mengantarkan jenazah Aguero pada keluarganya.

Namun ternyata gunung ini tak ingin kami pergi begitu saja. Badai salju yang lebat tiba-tiba muncul dan membuat pergerakan lebih lanjut jadi mustahil. Awalnya kami mencoba untuk terus berjalan, tetapi jarak pandang yang terbatas dan salju yang begitu tebal membuat Sebastian yang berjalan paling depan terjatuh ke celah tebing.



Kami yang terikat tambang dengannya di belakang tertarik dan ikut terjatuh. Apa yang menyambut kami adalah celah es yang begitu dingin dan sempit. Kakiku terjepit, tak bisa bergerak, dan akhrnya mati rasa. Nasib yang lain tak jauh berbeda.

Ahh … inilah akhirnya, aku membatin. Padahal aku belum menikah, tapi di sinilah akhir hidupku.

Semua orang yang memilih mendaki Everest pasti sudah siap dengan resikonya. Meski banyak penyesalan, tapi inilah pilihan yang kami ambil. Aku tak bisa mengeluh, tapi jauh di sudut hati aku sangat berharap bisa selamat. Ada banyak hal yang ingin kulakukan di bawah sana. Aku tak ingin mati di gunung ini.

“Ahh … ini karma. Ini karma.”

Mori, yang terjebak paling dekat denganku, bergumam di tengah napasnya yang menggigil. Walau tangan dan kaki sudah lumpuh, kami masih bisa berbicara. Setidaknya kematian kami tak akan terlalu sepi. Kami akan bersama sampai mati.

“Karma apa? kau pernah berbuat dosa?” tanyaku.

“Dia tidak mau pergi. Kenapa dia terus mengejarku?”

Aku tak mengerti apa yang dia katakan. Mungkin dia sudah mulai berhalusinasi. Hawa dingin yang berlebihan bisa menyebabkan hipotermia dan itu mempengaruhi kemampuan untuk berpikir. Selain itu, orang yang berada di ambang kematian sering kali melihat sesuatu sebelum mati.

Mori terus bicara melantur tentang kutukan dan karma. Aku membiarkannya terus bicara karena tak ada apa pun yang bisa menghentikannya. Setelah beberapa puluh menit gumamannya menjadi lebih tenang dan lemah.

“Aku seorang dokter,” ucapnya dengan jelas dan pelan. “Aku pernah mengurus suatu kelahiran sungsang, kaki bayi keluar lebih dulu dari dalam rahim. Gara-gara itu kepala bayi terjepit di pintu rahim, aliran darah ke otak pun jadi terhambat. Aku mencoba mengeluarkannya, tetapi aku terlalu lambat. Saat aku berhasil, sel-sel otaknya sudah banyak yang rusak. Sampai saat ini anak itu masih hidup, tapi aku merasa dia seharusnya lebih baik mati saat persalinan.”

Aku tak bisa menoleh untuk melihatnya, tapi jelas Mori sedang menangis. Anak itu lahir, tapi apa harga yang harus dibayar? Mungkin anak itu membutuhkan perawatan khusus seumur hidupnya. Mungkin juga anak itu bahkan tak tahu kalau dia hidup. Jika melihat keadaan anak itu, Mori pasti menyesali pilihannya untuk membiarkan anak itu hidup.

Dan kini dia harus membawa penyesalan itu mati bersamanya.

“Kalau aku … aku dulu pelatih sepakbola.”

Sebastian yang agak jauh ikut berbicara. Jujur saja kematian yang perlahan ini amat menyiksa. Setidaknya pembicaraan ini bisa meringankannya.

“Aku pernah melatih sebuah tim dan mereka sungguh bersemangat. Kami mendaftar ke sebuah turnamen dan berhasil masuk sampai ke final. Namun di final aku mendapat tawaran dari tim lawan untuk mengalah. Aku tak bisa menolak, tawarannya sangat besar, akhirnya aku pun membuat strategi yang buruk sampai akhirnya kami kalah. Sejak saat itu jalan untuk menuju lapangan yang lebih besar tak pernah datang. Akhirnya tim itu bubar. Aku sudah merusak kesempatan anak-anak itu. mereka punya potensi, tapi aku membunuhnya.”

Perkiraanku salah. Apa yang mereka ceritakan malah membuatku merasa semakin buruk. Sebentar lagi kami akan mati dan mereka memilih mengungkapkan dosa-dosa yang telah lama mereka simpan.
Mendaki gunung memang pekerjaan yang bagi banyak orang tidak berguna. Malah berbahaya. Namun, ada suatu sensasi yang hanya bisa kurasakan saat menaiki gunung. Rasanya setiap langkah seolah mendekatkan jiwaku ke surga. Hanya saat menaiki gunung aku bisa melupakan masalah-masalah di dataran rendah. Mungkin mereka juga sama. Mungkin mereka menaiki gunung karena ingin kabur dari sesuatu.

“Aku … seorang polisi.”

Benhabel ikut bercerita. Suaranya pelan sekali, mungkin karena posisinya paling jauh dariku.

“Saat itu aku masih baru, aku masih senang memamerkan pistolku. Suatu hari aku tak sengaja melihat seseorang mencuri di supermarket dan lari begitu cepat. Tanpa pikir panjang aku langsung menarik pistolku dan menembaknya. Peluru itu melubangi kepalanya begitu saja. Dia mati, aku dimutasi, tapi hantunya terus mengikutiku sampai ke sini. Dia di sini. Dia sudah menungguku.”

Suara guntur menutup cerita Benhabel. Angin berderu kencang, salju dan es bertabrakan, dan langkah malaikat maut sudah terdengar di telinga. Sudah banyak pendaki yang melepas nyawa di gunung ini. Kami hanya lima orang yang akan menambah daftar panjang itu.

Mori, Sebastian, Benhabel. Mereka bertiga lari dari dosa yang mereka perbuat dan akhirnya mendapat bayarannya di sini. Tapi, bagaimana denganku? Apa aku punya dosa seperti itu? Kurasa tidak. Namun aku tetap akan mati di sini. Mati kedinginan dan akhirnya terkubur oleh salju. Kira-kira berapa lama sampai seseorang menemukan mayat kami?

“Maaf.”

Maaf, maaf, dan maaf. Mereka bertiga mulai mengoceh, bergumam, berteriak, dan memohon. Aku yang nyaris kehilangan kesadaran terus terbangun dan mendengarkan mereka. Mori terus meminta maaf pada anak yang dia bantu lahirkan. Sebastian terus meminta maaf pada anak-anak yang dia renggut masa depannya. Dan Benhabel terus memohon ampun pada orang yang telah dia bunuh.

Tak lama lagi kami akan mati. Inilah kesempatan terakhir memohon ampun. Sayangnya orang-orang yang seharusnya memaafkan mereka tak ada di sini. Meski gunung ini begitu tinggi sampai terasa dekat dengan surga, tetapi dosa-dosa ini akan menarik kami ke neraka.

Tak ada jalan untuk kabur. Tak peduli setinggi apa manusia mencoba meraih surga, yang namanya dosa akan selalu berakhir di neraka.



***


Seminggu setelah kejadian itu, aku akhirnya bisa berjalan kembali dengan kedua kakiku. Untungnya seluruh tubuhku berhasil selamat tanpa ada organ yang perlu diamputasi. Aku memang beruntung, sangat-sangat beruntung.

Saat pendaki lain menemukan kami, hanya aku dan Mori yang masih bernapas. Beberapa pendaki langsung membawa kami turun, tetapi Mori sudah tidak bergerak lagi saat kami mencapai dasar gunung. Kami mendaki berlima, tapi hanya aku seorang yang selamat dan bisa menceritakan apa yang terjadi.

Aku tak mengerti mengapa hanya aku yang selamat. Dokter bilang pikiranku yang tetap terjaga menghambat rusaknya organ-organ dalam tubuhku. Celoteh-celoteh mereka bertiga yang kukira akan menjadi hal terakhir yang kudengar ternyata sudah menyelamatkan nyawaku.

Namun, apa benar cuma itu?

Mereka bertiga memiliki dosa dan gunung membuat mereka membayarnya. Aku … aku tak punya dosa. Mungkin itu alasan aku masih hidup sampai sekarang. Tapi apa cuma itu? Apa cuma itu alasan aku tetap hidup sedangkan mereka tidak?

Mungkin alasan aku hidup dan alasan aku mendengar pengakuan dosa mereka adalah agar aku bisa menggantikan mereka meminta maaf. Ini cuma dugaan, tapi aku akan melakukannya tanpa ragu. Rasanya seperti sebagian diriku tertinggal di puncak gunung.

Suatu hari, setelah aku selesai meminta maaf, aku akan menaiki gunung Everest lagi. Kali ini aku akan mendaki tanpa dosa dan kali ini aku akan mencapai puncak.

-END-
Diubah oleh ih.sul 19-11-2023 05:02
YohanChan~
epsilonxxxbr093
xacuy
xacuy dan 8 lainnya memberi reputasi
9
1.3K
16
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan