Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

medievalistAvatar border
TS
medievalist
Negara Tolak Gugatan Suku Menentang Perkebunan, 39.000 Hektare Hutan Papua 'Dirampas'
Negara Tolak Gugatan Suku Awyu Menentang Perkebunan Sawit, 39.000 Hektare Hutan Papua 'Dirampas'

Jumat, 3 November 2023 13:37 WIB


SIDANG - Hendrikus Frangky Woro dari Suku Awyu Papua, memberikan kesaksian dalam sidang kasus pencabutan izin kawasan hutan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta. (GREENPEACE/MUHAMMAD ADIMAJA) 

TRIBUN-PAPUA.COM - Upaya masyarakat Woro dari suku Awyu mempertahankan hutan adatnya di Kabupaten Boven Digoel, papua Selatan, dimentahkan oleh negara.

Bagaimana tidak, gugatan yang diajukan masyarakat adat tersebut terhadap PT Indo Asiana Lestari yang dinilai merampas dan merusak hutan, ditolak Majelis Hakim PTUN Jayapura.

Jelas. Pemimpin warga Woro dari suku Awyu, Hendrikus Woro, kecewa atas uapaya perjuangan demi pencabutan izin perkebunan kelapa sawit di hutan adat mereka seluas 39.000 hektare.

Hakim dalam putusan yang diunggah PTUN Jayapura pada Kamis (2/11/2023), menyatakan "menolak gugatan penggugat, penggugat intervensi 1 dan penggugat intervensi 2."

Lalu, "menghukum penggugat, penggugat intervensi 1 dan penggugat intervensi 2 untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 451.000."

Pertimbangan majelis hakim

Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim yang dipimpin Merna Cinthia menyatakan dalil penggugat Hendrikus Woro bahwa SK Kepala Dinas PMPTSP Provinsi Papua tentang izin kelayakan perkebunan kelapa sawit oleh PT Indo Asiana Lestari bertentangan dengan asas kearifan lokal, kelestarian, kehati-hatian, dan keadilan "tidak relevan".

Karena menurut hakim, telah terdapat penilaian atau pengujian terhadap Amdal oleh Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup atau Kepala Dinas Kehutanan Lingkungan Hidup Provinsi Papua -selaku Ketua Komisi Penilai Amdal pada 1 November 2021.


Solomon Maywa (30), lelaki suku Kanume, subsuku Marind Anim Anim berburu kanguru yang biasa disebut "saham" di hutan ulayatnya di Dusun Yakyu, Kampung Rawa Biru, Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Papua, Kamis (12/3/2020). Perburuan kanguru di kawasan TN Wasur diperbolehkan asal menggunakan metode tradisional dengan panah atau tombak. Jumlah yang diburu pun terbatas, yakni hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Sebelum TN Wasur dibentuk pada 1997, perburuan tradisional sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari Suku Marind Anim selama ribuan tahun. Perburuan dengan pola itu menjamin keberlangsungan satwa karena hanya mengambil secukupnya untuk konsumsi sendiri. (KOMPAS/AGUS SUSANTO)

"Sehingga asas-asas tersebut telah diejawantahkan dalam Rekomendasi Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi hasil uji kelayakan," demikian bunyi pertimbangan hukum majelis hakim.

Kendati begitu apakah substansi dan pembuatan Amdal tersebut dilakukan sesuai prosedur atau tidak, hakim atau pengadilan menyatakan tidak mengujinya dengan alasan bukan menjadi obyek sengketa.

Pertimbangan hukum lainnya adalah hakim menyebut penerbitan SK Kepala Dinas PMPTSP Provinsi Papua tentang izin kelayakan perkebunan kelapa sawit oleh PT Indo Asiana Lestari "telah sesuai secara prosedur dan tidak bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik".

Dasarnya kata hakim karena SK tersebut terbit satu hari setelah keluarnya Rekomendasi Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua selaku Ketua Komisi Penilai Amdal.

Tanggapan kuasa hukum penggugat

Salah satu kuasa hukum penggugat Hendrikus Woro dari Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji, mengatakan pihaknya akan mengajukan banding atas putusan tersebut ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar.

Sekar menilai keputusan hakim Jayapura ini merupakan kemunduran terhadap penerapan hukum di Indonesia dalam perlindungan masyarakat adat dan lingkungan.

"Bayangkan hakim tidak bisa mempertimbangkan prosedur dan substansi Amdal karena disebut bukan obyek sengketa," ujar Sekar kepada BBC News Indonesia.

"Padahal obyek sengketa berupa surat keputusan Kepala Dinas PTSP Provinsi Papua tidak akan keluar tanpa isi Amdal," sambungnya.

"Kami kecewa dengan putusan hakim dan akan memperjuangkan kasus ini sampai menang, demi hijaunya hutan Papua, kehidupan masyarakat adat serta menahan laju krisis iklim," tegas Sekar.

Kuasa hukum, katanya, memiliki waktu 14 hari ke depan untuk menyampaikan argumentasi banding ke PT TUN Makassar.

Jika nantinya hakim pengadilan tinggi memutuskan menolak, maka mereka akan menempuh upaya kasasi ke Mahkamah Agung.

Yang jelas, menurut Sekar, keputusan majelis hakim PTUN Jayapura membuat hutan di Papua dalam kondisi terancam.

"Ini ancaman besar untuk hutan Papua dan ancaman bagi kita semua kehilangan hutan Papua sekaligus kehilangan benteng menghadapi krisis iklim. Sedihnya hakim tidak menyadari itu."

Awal mula kasus Kabar mengenai proyek perkebunan sawit di tanah ulayat milik suku Awyu di Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Papua, diketahui masyarakat setempat pada 2022 silam.

Tapi bagaimana izin proyek itu bisa diberikan Pemprov Papua dan perusahaan mana yang bakal mengelola tidak dibuka secara terang benderang?.

Karena itulah suku Awyu dari marga Woro mengajukan gugatan sengketa informasi ke Komisi Informasi Publik (KIP) Provinsi Papua pada Agustus 2022.

Tapi KIP menolak dengan alasan gugatan masyarakat ini sudah melebihi batas waktu.

Dari situlah warga suku Awyu dari marga Woro memutuskan melayangkan gugatan terkait izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) menyangkut rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahan kelapa sawit kepada PT Indo Asiana Lestari ke PTUN Jayapura pada Maret 2023.

Masyarakat adat suku Awyu dari marga Woro menggugat dokumen izin kelayakan lingkungan hidup atau analisis dampak lingkungan (Amdal) proyek perkebunan sawit tersebut.

Kuasa hukum dari Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji, menyebut dokuman Amdal yang dijadikan dasar untuk pembukaan perkebunan sawit di tanah ulayat sarat dengan rekayasa.

Mulai dari sejumlah warga yang dipaksa menyetujui proyek sawit oleh seseorang yang diduga aparatur pemda, hingga tidak dicantumkannya keberatan masyarakat.

"Dari cerita warga kepada kami, saat sosialisasi tidak semua marga dari Awyu diundang. Kemudian di sana ada satu aparat pemda sangat mendominasi pembicaraan," ujar Sekar Banjaran Aji kepada BBC News Indonesia.

"Kalau ada yang menolak dihampiri dan hampir terjadi baku pukul."

Di Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Papua, ada sekitar 12 marga yang memiliki tanah ulayat di area yang akan dijadikan perkebunan sawit.

Namun dalam proses sosialisasi tidak semua marga tahu.

Yang terjadi, ujar Sekar, marga Woro justru tidak dimasukkan dalam dokumen Amdal karena diduga menolak proyek ini.

"Di Amdal tidak ada marga Woro dan diganti dengan marga lain yang masyarakat bingung kok ada marga itu... jadi marga-marga yang menolak sosialisasi dikeluarkan dalam dokumen Amdal," kata Sekar.

Masih terkait Amdal, di dokumen tersebut juga tidak memasukkan lanskap lingkungan yang detail, menurut Sekar.

Padahal kalau hutan adat itu dibabat maka mengancam berbagai jenis flora endemik di sana.

Bahkan sungai bakal tercemar.

"Sungai-sungai di distrik Fofi sangat penting bagi suku Awyu karena airnya dikonsumsi langsung oleh mereka tanpa harus dimasak."

"Jadi koneksi antara masyarakat dengan hutan tidak tergambar dengan baik dalam dokumen Amdal."


PERAMBAHAN - Aktivitas perambahan hutan oleh PT SIS di wilayah hutan adat Kampung Zinage, Kabupaten Merauke. (Tribun-Papua.com/Istimewa)

Jalannya sidang

Sekar Banjaran Aji mengatakan selama proses persidangan di PTUN Jayapura berlangsung, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) Provinsi Papua disebut tidak serius menanggapi gugatan mereka.

Pemprov Papua malah menyerahkan sepenuhnya kepada PT Indo Asiana Lestari.

Sementara perusahaan asal Malaysia tersebut mengeklaim telah mengantongi bukti penyerahan lahan yang ditandatangi oleh Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Boven Digoel, kepala kampung, kepala adat, dan saksi dari perwakilan Distrik Fofi.

Hanya saja, menurut Sekar, bukti itu sangat aneh dan tidak kuat.

Sebab Lembaga Masyarakat Adat (LMA) tak punya kewenangan untuk meregistrasi tanah.

"Pengukuran tanahnya juga tidak jelas menggunakan metode apa, karena tanah ulayat ini sebetulnya belum ada sertifikatnya atau belum diakui negara sebagai tanah adat," jelas Sekar.

Tak cuma itu, sambungnya, pihak perusahaan pun tak bisa menghadirkan saksi yang menguatkan argumentasi mereka dan hanya mengandalkan dokumen-dokumen.

Itu mengapa Sekar optimistis majelis hakim PTUN Jayapura bakal memenangkan gugatan mereka.

Terlebih karena dalam persidangan kuasa hukum bisa mendatangkan tiga saksi ahli lingkungan hidup dan sejumlah masyarakat adat suku Awyu.

"Makanya kalau besok perusahaan menang akan jadi tanda tanya karena dokumen itu nggak valid," ungkapnya.

"Sangat konyol jika perusahaan menang karena saksi ahli kami semuanya memberikan kejelasan bahwa lahan ini penting untuk ekosistem dan keberlanjutan menghadapi krisis iklim."

Bantah tak sesuai prosedur

Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP), Solaiyen Tabuni, membantah proses pembuatan Amdal proyek perkebunan sawit di atas tanah adat suku Awyu tidak sesuai prosedur.

Ia berkata, memang ada sebagian masyarakat yang menolak, tapi ada sebagian yang setuju --itulah kenapa pihak perusahaan, klaimnya, terus melanjutkan proyek tersebut.

"Amdal itu sudah dilakukan melalui prosedur yang tepat, ada persetujuan dari masyarakat makanya surat izin kelayakan keluar," imbuh Solaiyen Tabuni kepada BBC News Indonesia.

Kendati demikian dia menyerahkan sepenuhnya nasib proyek ini ke majelis hakim PTUN Jayapura.

Jika pengadilan memutuskan agar Dinas PMPTSP menunda bahkan menghentikan perkebunan sawit, pihaknya akan melaksanakan.

Dalam gugatan dengan nomor perkara 6/G/LH/2023/PTUN.JPR tertanggal 13 Maret 2023, penggugat meminta majelis hakim memerintahkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu menunda pelaksanaan Surat Keputusan Kadis Penanaman Modal Nomor 82 Tahun 202 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit kepada PT IAL.

Penggugat juga meminta majelis hakim memerintahkan Dinas Penanaman Modal membatalkan surat keputusan tersebut dan memerintahkan tergugat menghormati hak-hak masyarakat adat sesuai dengan UU Otonomi Khusus Papua yakni tidak menerbitkan izin baru di kawasan obyek gugatan.


SIDANG - Hendrikus Frangky Woro dari Suku Awyu Papua, memberikan kesaksian dalam sidang kasus pencabutan izin kawasan hutan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta. (GREENPEACE/MUHAMMAD ADIMAJA) (Tribun-Papua.com/Istimewa)

Dampak pembabatan hutan adat

Pemimpin marga Woro dari suku Awyu di Papua, Hendrikus Woro, berkata tanah ulayat itu adalah identitas serta sejarah asal usul mereka.

Di tanah seluas 39.000 hektare tersebut ada belasan marga tinggal.

Khusus untuk marga Woro, jumlahnya mencapai 300-an orang yang terdiri dari 73 kepala keluarga.

Dari hutan itulah, kata Hendrikus, mereka mencukupi kebutuhan hidup dan mendapatkan sumber mata pencaharian yakni dengan mengambil pohon gaharu.

Maka kalau sampai hutan adat dibabat habis, hilanglah sumber pangan mereka.

"Tanah adalah sumber penghidupan kami masyarakat adat. Maka kami tidak mau lingkungan kami dirusak, kami tak mau tempat penting kami hilang..." ujarnya.

"Kami tak mau sumber mata pencaharian kami hilang, kami tak mau sungai rusak."

"Kami masyarakat adat suku Awyu bergantung pada alam, tempat kami tinggal sejak kakek nenek, leluhur kami..."

"Saya jaga hutan, hutan jaga saya."

Baca juga: Pemerintah dan PT PAL Harus Bertanggungbawab ke Masyarakat Adat Kiyura dan Iwaka di Mimika

Hendrikus menegaskan hutan adat ini akan diwariskan untuk generasi mereka yang akan datang.

"Betapa berdosanya kami jika jurang kehancuran itu kita persiapkan bagi generasi yang akan datang?" ucapnya.

Kuasa hukum mereka dari Greenpeace Indonesia sepakat.

Sekar mengatakan dengan membabat hutan seluas 39.000 hektare maka 23 juta ton karbon dioksida akan lepas.

"Dalam konteks narasi litigasi iklim, masyarakat adat Awyu ingin menyelamatkan hutan karena berkontribusi pada dunia. Menjaga dunia tetap stabil dan bisa layak dihuni manusia," jelas Sekar. (*)

https://papua.tribunnews.com/2023/11...ampas?page=all
Diubah oleh medievalist 03-11-2023 13:19
adolfsbasthian
muhamad.hanif.2
m.hanif.bashor
m.hanif.bashor dan 3 lainnya memberi reputasi
0
539
49
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan