GELUD: Beranak vs Tidak Beranak, Perspektif TS Soal Isu Childfree Yang Viral.

Geludnya masih belum kelar? Yaudah lanjutin aja dulu. Di sini saya hanya ingin membagikan pov soal perdebatan seru para "pakar bukan-bukan" alias netijin yang budimen soal childfree-nya Gita Savitri.

Aku nggak mau ikut-ikutan gelud dan berdiri di salah satu kubu serta menyebut yang mana yang paling benar. Semuanya punya alasannya masing-masing. Setiap orang tentu saja punya pertimbangan sendiri-sendiri dengan alasan masing-masing untuk menerapkan praktek berumah tangga sesuai dengan impiannya.

Cuma mau bilang kenapa ada gaduh-gaduh masalah childfree ya karena konsep ini nggak populer, lebih tepatnya bisa dikatakan orang-orang kita kebanyakan menolak prinsip ini, karena beberapa hal diantaranya :
1. Ada prinsip banyak anak banyak rejeki.
2. Anak adalah perpanjangan legacy.
3. Menikah tujuannya adalah beranak.
4. Menikah tanpa anak adalah aib, makanya jika nggak beranak bolehlah cerai atau tambah bini.
5. Childfree dianggap dosa dan sesat.
6. Masih didominasi orang-orang beragama (poin nomor 3, 4 dan 5).
7. Ada istilah, anak adalah pelipur lara.
8. Anak adalah investasi masa depan.
9. Nanti dikatain ikut-ikutan karena lagi trend, ada yang bilang konspirasi juga.

Padahal, punya anak atau tidak bukan urusan siapa-siapa. Nggak ingin punya anak dengan alasan masing-masing juga sebenarnya bukan urusan siapa-siapa, walaupun alasannya klise atau nggak masuk akal. Setiap orang dalam memandang anak juga berbeda-beda. Masuk akal atau tidaknya itu kan perspektif orang lain terhadapa pendapat seseorang. Tidak bisa dikatakan benar pun juga tidak salah. Semua adalah tentang pilihan dan bebas saja.

Hanya karena seseorang nggak menginginkan anak, bukan berarti mereka orang jahat. Sebaliknya, dengan seseorang memutuskan untuk memiliki anak juga buka berarti mereka udah menjadi orang paling benar.

Lah kenapa gelud? Ya karena yang menganut ingin punya anak dan childfree sering saling mencolek bahkan menyubit, ingin membuktikan siapa yang paling benar dan paling bahagia dengan pilihannya. Sementara prinsip paling benar sebenarnya nggak ada dan tentunya ukuran bahagia setiap orang juga berbeda-beda. Pun setiap pilihan punya konsekuensi sendiri-sendiri.

Masalahnya kan manusia nggak ada yang puas sebelum mencela atau menghakimi pilihan orang yang berbeda dengannya. Nggak plong kalo egonya belum belum tervalidasi dan dengan cara war dengan orang yang beda pilihan itu adalah jalan untuk mengenyangkan egonya. Pokoknya baku hantam adalah jalan ninja kita!

Tidak mengherankan juga sih jika melihat berbagai survey yang menempatkan orang Indonesia sebagai orang yang memiliki tingkat ke-kepo-an yang tinggi. Tidak puas rasanya jika tidak ikut mencampuri, atau paling tidak membicarakan urusan orang lain.

Tidak sampai di sana, bahkan banyak orang yang tidak segan-segan ikut membully seseorang hanya karena tidak searah dengan jalan pikirannya atau jalan hidup yang dia tempuh. Faktor lainnya, rasa iri dan dengki terhadap apa yang dicapai orang lain juga jadi hal yang ikut mempengaruhi karakter masyarakat Indonesia. Disamping itu, orang Indonesia masih menganggap "casing" adalah hal yang sangat penting. Jika "casing" itu rusak, maka rusaklah keseluruhan dari orang tersebut.

Bagaimanapun juga, pilihan beranak ataupun tidak beranak adalah pilihan yang bebas saja. Tidak ada urusannya dengan benar-salah apalagi baik-jahat dari seseorang. Semua pilihan punya konsekuensi yang bakal dijalani dan kita tidak perlu repot-repot menghakiminya.

Bagaimana nih Agan dan Sista? Apakah kalian sependapat atau punya pandangan lain mengenai hal ini? Silahkan berkomentar di bawah yaa. Terima kasih sudah membaca. See you on the next thread.

Narasi : Ulasan Pribadi (dikembangkan dari postingan Ananda Clarista Witjaksono)

Sumber Referensi :

https://www.google.com/amp/s/www.ins...af-disorot/amp

©copyright @albyabby912023