Biodiesel B35 adalah bahan bakar yang terdiri dari 35% minyak nabati dan 65% solar. Minyak nabati dapat berasal dari berbagai sumber, seperti kelapa, jagung, dan canola. Biodiesel B35 memiliki beberapa keunggulan dibandingkan bahan bakar fossil seperti solar atau minyak diesel. Pertama, biodiesel B35 memiliki emisi yang lebih rendah dibandingkan bahan bakar fossil. Ini karena biodiesel B35 mengandung oksigen yang membantu mengurangi emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida. Kedua, biodiesel B35 juga lebih ramah lingkungan karena tidak mengeluarkan sulfur atau zat pencemar lainnya saat dibakar.

Selain itu, biodiesel B35 juga merupakan sumber energi yang terbarukan dan mudah diperoleh. Bahan bakar ini dapat diproduksi dengan menggunakan metode transesterifikasi, yang mengubah minyak nabati menjadi biodiesel dengan menambahkan alkohol dan katalis. Proses ini relatif sederhana dan dapat dilakukan di berbagai skala, mulai dari rumah tangga hingga industri.

Namun, ada beberapa hambatan yang harus dihadapi dalam implementasi biodiesel B35 secara luas. Pertama, produksi biodiesel B35 masih terbatas dan harganya lebih tinggi dibandingkan bahan bakar fossil. Kedua, biodiesel B35 juga memiliki titik nyala yang lebih rendah dibandingkan bahan bakar fossil, sehingga perlu dipelajari cara penyimpanan yang tepat agar tidak mudah terbakar.

Meskipun demikian, biodiesel B35 merupakan salah satu alternatif bahan bakar yang layak dipertimbangkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fossil dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Dengan perkembangan teknologi yang terus berkembang, diharapkan produksi dan distribusi biodiesel B35 dapat semakin teroptimalkan di masa depan.

Dampak dari penerapan B35 pada lingkungan

Implementasi biodiesel B35 dapat menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fossil yang merupakan penyebab utama perubahan iklim. Selain itu, biodiesel B35 juga merupakan sumber energi yang terbarukan dan mudah diperoleh. Bahan bakar ini dapat diproduksi dengan menggunakan metode transesterifikasi, yang mengubah minyak nabati menjadi biodiesel dengan menambahkan alkohol dan katalis.

program mandatori biodiesel di Indonesia pertama kali diimplementasikan pada tahun 2008 dengan kadar campuran biodiesel sebesar 2,5 persen (B2,5). Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan penggunaan biodiesel di Indonesia sebagai salah satu upaya mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fossil dan mengurangi emisi gas rumah kaca.

Selain itu, program mandatori biodiesel juga diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah bagi sektor pertanian di Indonesia, karena biodiesel diproduksi dari minyak nabati yang banyak dihasilkan di Indonesia, seperti kelapa, jagung, dan canola.

Program mandatori biodiesel ini kemudian berkembang dan pada tahun 2015, kadar campuran biodiesel dinaikkan menjadi 5 persen (B5). Pada tahun 2018, kadar campuran biodiesel dinaikkan lagi menjadi 10 persen (B10). Pada tahun 2021, kadar campuran biodiesel diperkenalkan lagi dengan nama B30, yang terdiri dari 30% biodiesel dan 70% solar.

Implementasi program mandatori biodiesel ini telah memberikan dampak positif terhadap peningkatan penggunaan biodiesel di Indonesia. Namun, masih terdapat beberapa hambatan yang harus dihadapi dalam implementasi biodiesel secara luas, seperti masih terbatasnya produksi biodiesel dan harga yang lebih tinggi dibandingkan bahan bakar fossil. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang terus menerus untuk meningkatkan produksi dan distribusi biodiesel di Indonesia agar dapat semakin teroptimalkan.


Referensi tulisan: goodnewsfromindonesia.id