Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

cangkeman.netAvatar border
TS
cangkeman.net
Tut Wuri Handayani di Era Kurikulum Merdeka


Cangkeman.net - Dalam sebuah pelatihan kepemimpinan bertajuk educational administration and leadership (EDAL) yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya tempo hari, saya memaparkan beberapa inspirasi dari tokoh pendidikan nasional. Di antaranya adalah patuladhan dari Panembahan Senopati yang termuat dalam kitab Wedhatama pupuh sinom pada 15. Dan tentu saja tiga semboyan dari Soewardi Soerjaningrat yang termahsyur: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, serta tut wuri handayani.

Kala itu ada seorang mahasiswa yang melayangkan pertanyaan kritis kepada saya: dari tiga slogan pendidikan Ki Hajar Dewantara, mengapa hanya Tut Wuri Handayani yang digunakan sebagai motto Departemen Pendidikan? Kenapa bukan yang lain? atau ketiga-tiganya sekaligus?

Jawaban dari pertanyaan tersebut bisa cukup panjang untuk dijabarkan. Kita mulai saja dari makna filosofisnya.

Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani
Ki Hajar Dewantara meninggalkan warisan bagi dunia pendidikan Indonesia berupa tiga kalimat pitutur luhur. Kalimat pertama, ing ngarsa sung tuladha mengandung makna harfiah ‘memberi contoh ketika berada di depan’. Artinya seorang pendidik harus bisa memberi teladan yang baik bagi para siswa. Ia dituntut untuk tidak hanya pandai berucap, namun harus mempraktikkan terlebih dahulu apa yang ia ucapkan kepada siswanya. Terdengar seperti perilaku politisi Negara Nusacanda, kan?

Ing madya mangun karsa berarti memberi support ketika berada di tengah. Maknanya seorang guru harus bisa menjadi ‘pemain tim’ di antara peserta didiknya. Laiknya seorang team player, Ia harus bisa merangsang anggota timnya untuk mengeluarkan segala potensi, alih-alih menonjolkan kemampuan pribadinya sendiri. Idealnya, seorang guru akan merasa bangga jika para siswa bisa lebih pandai darinya.

Sedangkan tut wuri handayani berarti memberikan dorongan dari belakang. Praktiknya guru lebih berperan sebagai fasilitator ketimbang menjadi sumber utama keilmuan. Dengan semboyan ini corak pembelajaran bukan lagi teacher centered, melainkan student centered. Pengejawantahan yang paling umum bisa jadi berupa positive encouragement a.k.a. dorongan moral agar siswa berani mengeksplorasi segala potensi dalam dirinya, tanpa terbebani perasaan takut salah.

Mengapa harus Tut Wuri Handayani?
Kembali ke pertanyaan awal, mengapa harus tut wuri handayani, alih-alih menggunakan ketiga kalimat semboyan tersebut secara utuh?

Bagi saya, penetapan kalimat tut wuri handayani sebagai semboyan pendidikan Indonesia melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 0398/M-1977 menunjukkan bahwa Prof. Dr. Syarif Thayeb memiliki visi yang jauh melampaui masanya.

Bagaimana tidak, di tahun 70an tersebut dunia pendidikan Indonesia belum sepenuhnya lepas dari pengaruh feodalisme warisan kraton dan pemerintah kolonial Belanda. Pendidikan feodal di masa tersebut masih kental dengan aroma ing ngarsa sung tuladha di mana guru menjadi center of universe bagi siswa. Ia menjadi ‘sumber utama’ pengetahuan dan keilmuan. Di tengah corak pendidikan yang seperti itu, Pak Syarif Thayeb seolah melawan arus dengan menetapkan tut wuri handayani sebagai motto.

Meskipun pada praktiknya corak pembelajaran di sekolah-sekolah formal pasca Keputusan Menteri tersebut masih juga berkutat di kubangan feodalisme, namun paling tidak visi telah dicanangkan. Sebut saja Kurikulum 1984 yang lebih populer dengan sebutan kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Kurikulum ini mendorong siswa agar bisa mengikis dominasi guru dengan cara terlibat aktif dalam pembelajaran.

Kemudian ada kurikulum 2006 atau yang lebih dikenal dengan nama KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Di kurikulum ini guru diberi keleluasaan untuk menyusun kurikulum di tingkat satuan pendidikan (sekolah) secara mandiri. Harapannya agar kurikulum yang digunakan bisa disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing sekolah. Namun pada praktiknya, baik kurikulum 1984 maupun 2006 belum mampu mendobrak corak pembelajaran yang berpusat pada guru.

Gebrakan yang lebih terasa gaungnya adalah penggunaan Kurikulum 2013 (K-13). Dalam kurikulum dengan pembelajaran berbasis tema ini peran guru lambat laun mulai bergeser mendekati peran sebagai fasilitator. Penerapan K-13 terutama dalam masa pandemi Covid-19 membuka peluang yang sangat lebar bagi siswa untuk berperan aktif dalam pembelajaran. Hal ini juga dimudahkan oleh keberadaan internet yang menyediakan sumber informasi dan keilmuan yang melimpah ruah. Pada akhirnya guru tidak lagi menjadi sumber utama pengetahuan.

Tut Wuri Handayani dalam Implementasi Kurikulum Merdeka
Masih dalam situasi pandemi Covid-19, Mendikbudristek Nadiem Makariem meluncurkan Kurikulum Merdeka pada Februari 2022. Kurikulum ini bisa jadi semacam ‘gong’ bagi kurikulum-kurikulum yang pernah digunakan sebelumnya. Ia menegaskan corak pendidikan nasional menuju ke arah yang lebih student centered.

Implementasi dari pembelajaran yang berpusat pada siswa tersebut dilakukan melalui pembelajaran berbasis projek. Mau tidak mau, para siswa akan didorong untuk terlibat secara aktif dalam pembelajaran berbasis projek. Para siswa harus menjadi subyek yang ‘mengalami’ (tidak sekedar mengetahui dan memahami) pengetahuan. Di sini guru hanya akan mengarahkan, memberikan semacam roadmap dari suatu projek. Sedangkan eksekusinya sepenuhnya ada di tangan siswa.

Dalam cara belajar semacam itu menjadi cetha wela-wela, terlihat jelas bahwa peran guru adalah tut wuri handayani, menyediakan support dari belakang. Ibaratnya kita hanya perlu memasang baterai dalam sebuah remote control toys, kemudian biarkan ia berjalan sendiri dengan daya baterei tersebut. Dengan corak pembelajaran semacam ini saya menaruh harapan yang sangat besar agar siswa bisa mengembangkan semua potensi dirinya, tidak hanya sekedar mengcopy gurunya.

Eventually saya berharap penerapan Kurikulum Merdeka ini kelak bisa melahirkan generasi yang memiliki kemampuan sesuai dengan jamannya. Terdengar seperti harapan yang klise ya? Harapan khususnya sih, paling tidak 10 atau 15 tahun lagi kita bisa mempunya Kadiv Propam dan Kadiv Humas yang lebih pintar dan empatik, eh…


Tulisan ini ditulis oleh Rois Pakne Sekar di Cangkeman pada tanggal 6 November 2022.
iblast867583
iblast867583 memberi reputasi
1
1K
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan